// Posted by :darakyu706
// On :Tuesday, September 14, 2010
“Aku menyukaimu..”
“Maaf aku... tidak bisa.”
“….”
“Kalau begitu jangan salahkan aku kalau aku sudah tidak ada lagi di dunia ini.”
Chapter one: The Loneliness, Kaito
Kriiing kriiing. Jam beker membangunkanku. Ahh, mimpi itu lagi. Kenangan di masa lalu yang membuatku tumbuh menjadi wanita yang lemah. Jam menunjukan waktu pukul 5 dini hari. Sudah kebiasaanku untuk selalu bangun di awal pagi karena kesukaanku akan udara di pagi hari. Kebiasaanku yang selalu menghirup udara pagi yang belum terpolusi oleh asap-asap kendaraan bermotor.
“Miyu? Kau sudah bangun, kan? Bisa tolong ibu?”, Ibu memanggilku disertai dengan suara ketukan.
“Baik, bu.. tunggu sebentar.” Aku pun bersiap untuk segera membantunya, sudah menjadi kewajibanku di setiap pagi untuk membantu ibuku menyiapkan sarapan untuk adikku. Kami tinggal bertiga di sebuah apartemen. Ibuku sudah lama bercerai dengan ayahku. Aku masih ingat masa-masa ketika kami semua pernah menjadi 1 keluarga, yahh tapi itu hanya menjadi masa lalu. Aku dan adikku pun memutuskan untuk tinggal bersama ibuku, karena kami tidak bisa membiarkannya. Bagaimanapun, ibuku lah yang paling merasa terluka, aku tahu itu.
“Kau tidak gugup kan, Miyu?” Tanya ibuku.
“Hmm.. tidak kok, bu”, sahutku sambil membantunya menyiapkan roti dan telur untuk bekal adikku.
“Baguslah, aku pikir kau akan gugup di hari pertama sekolah barumu”.
Aku terdiam. Wajar bagi seorang ibu mengkhawatirkan anaknya. Ya, paling tidak aku tidak bisa membohongi ibuku. Tapi aku tidak mau kelihatan lemah di mata siapapun.
“Ini, bekal Ryuu. Aku berangkat”
“Kau tidak ingin sarapan dulu?” Ibu mencemaskanku.
“Tidak, tidak usah, bu.” Sambil menalikan sepatuku, “Aku berangkat”.
Jalanan di pagi hari yang sangat kusukai. Udara terasa begitu segar. Walau sedikit kedinginan tapi aku selalu menyukai berangkat sekolah di pagi hari, lebih pagi dari siapapun. Hari ini, adalah hari pertamaku di SMU Rainen gakuen, atau mereka menyebutnya Raigaku. Sekolah yang bisa dibilang merupakan kumpulan orang-orang pintar dan juga kaya. Otak dan harta. Kuharap aku bisa memiliki keduanya.
Brukk. Tanpa sadar aku menabrak seseorang.
“Ah, maaf”, ujarku sambil membungkukkan badan.
“Kau tidak apa-apa?”, Tanya seorang pemuda dengan rambut spike-nya.
“I..iya”, Aku terpana. Pemuda itu terlihat sangat tampan dengan blazer SMU Raigaku. Untuk sesaat aku merasa terhipnotis oleh sorot matanya yang tajam.
Pemuda itu tersenyum dan pergi. Beruntungnya aku, pikirku.
“Baiklah anak-anak, tolong diam! Bapak akan memperkenalkan murid baru hari ini, jadi tolong semuanya perhatikan”, ucap seorang guru dengan kepala sedikit botak. “Silahkan masuk.”
Aku gugup. Kakiku gemetar. Aku tidak boleh lemah, pikirku. Dengan sekuat tenaga aku menyeruak masuk tapi naas aku terpeleset. Seisi kelas menertawakanku, ahh aku malu sekali, rasanya ingin membenamkan mukaku di kolam air dingin.
“Semuanya tolong diam!”, Pak guru botak itu pun menahan tawanya.
Dengan susah payah aku berdiri.
“Ha-halo. Namaku Miyuki Sasakura. Cukup panggil aku Miyu. Mulai hari ini akan belajar disini bersama kalian jadi.. mohon bantuannya”. Membungkukkan kepala untuk menyembunyikan wajahku.
“Baiklah kau boleh duduk”, ucap sang guru botak.
Aku melangkah ke kursi yang kosong. Duduk.
“Hai, aku Miyu”, ucapku pada teman sebangkuku.
Dia tidak menjawab. Sepertinya dia asik memandang keluar jendela. Entah apa yang dia pikirkan. Cowo aneh, pikirku.
“Kau ini sedikit ceroboh ya Miyu, bisa sampai terpeleset di hari pertamamu, oh iya perkenalkan namaku Hana” ucap gadis berambut coklat. Dia seperti boneka, matanya lembut berwarna coklat.
Mukaku memerah.
“Namaku Sakura”, gadis yang berkuncir kuda itu terkikik.
Kantin di sekolah ini penuh dengan manusia-manusia yang kelaparan di jam makan siang. Harga makanannya pun terlalu mahal untuk ukuran orang yang sepertiku, karena itu aku hanya sanggup membeli sebuah roti melon dan sekaleng soda. Cukup enak, pikirku.
“Apa kau kenyang hanya makan roti melon?”, tanya Hana.
“Yaah, aku tidak sanggup membeli makanan disini”, ucapku.
“Sepertinya kau harus membawa bekal lain kali,” Sakura memperlihatkan kotak makanannya,”Aku juga selalu membawa bekal karena menurutku makanan disini tidak enak”.
Aku dan Hana tertawa.
“Oh ya, Kau harus lebih berhati-hati, Miyu”,
“Eh? Kenapa?”, tanyaku pada Hana
“Kau kan duduk bersebelahan dengan Kaito. Dia itu berandalan, dia selalu berkelahi dengan murid SMU lain. Para guru sudah sering kali menghukum dia tapi kelihatannya kata menyerah tidak ada dalam kamusnya”. Ucap Hana disertai anggukan Sakura.
“Hmm”. Ucapku sambil menghabiskan roti melonku.
Kuperhatikan, Kaito sering melihat keluar jendela saat pelajaran tengah berlangsung. Entah apa yang dipikirkannya tapi aku merasa sorot matanya kosong.
“Miyu, Please answer the question”, Pelajaran bahasa Inggris, guru yang mengajar rupanya favorit di sekolah ini. Dia cantik dan masih muda.
Sial. Aku tidak memperhatikan, batinku. Aku gelagapan, oh Tuhan bagaimana ini.
Tiba-tiba Kaito menyorongkan bukunya padaku. Heran. Tapi tetap kubaca, tidak ada pilihan.
“It is almost dark but the tourist still amazed for the fogs around the mountain”
“Excellent”, ucapnya.
Phew. Aku bernapas lega. “Terima kasih”, ucapku pada Kaito.
Tapi seperti biasa, dia tak acuh padaku. sepertinya keadaan diluar lebih menarik baginya daripada pelajaran Bahasa Inggris, atau yah.. guru yang mengajarnya.
“Ah, maaf Miyu, aku tidak bisa pulang denganmu hari ini, aku piket”, kata Hana
“Aku ada kegiatan klub, maaf”, Sakura membungkukkan badannya.
“Tidak apa-apa kok, kan masih ada lain kali”, ucapku sambil tersenyum. “Sudah ya”
Ya, aku terbiasa sendirian dan bagiku itu tak masalah karna aku pun sudah nyaman dengan itu.
BRUAKKK. Aku mendengar suara orang jatuh. DUG DUAKK. Kali ini orang berkelahi.
Aku bersembunyi di balik dinding dan melihat seseorang disana, seseorang berkelahi, Kaito!
Aku harus menghentikannya, pikirku. Tapi apa yang bisa kulakukan, pikirku panik.
“Maju kalian semua”, Kaito menatap dengan tatapan yang tajam.
“Kau! Jangan berlagak! Kau pikir kau ini siapa HAH!!” Orang yang besar itu melayangkan sebuah tinju.
DUAKKK. Bibir Kaito berdarah.
“Tidak bisa berkelahi masih bisa berlagak jagoan!”, Cowok yang lebih kurus mencoba menendang.
Ditangkis. Kali ini Kaito benar-benar berkelahi.
“Khh.. awas kau! Lain kali kau akan mati!”, Kata cowok yang lebih pendek yang sepertinya ketua genk tersebut. Dan mereka lari.
Kaito terduduk, seperti menahan sakit. Aku memberanikan diri menghampirinya.
“Kau.. Kau tidak apa-apa?”, ucapku sambil melihatnya.
“Sejak kapan kau disini? Pergilah! Ini bukan urusanmu”, katanya dingin.
“Kau bisa bilang begitu tapi aku tidak bisa membiarkanmu!”, aku mengambil sapu tanganku. Mengelap darah di bibirnya.
“Sudahlah, lebih baik kau pergi”, Kaito mulai berdiri dan berjalan.
“Tunggu!”
“Kau ini mengganggu saja! Pergi sana!”
“Sudahlah, Nurut aja kenapa sih! Aku hanya ingin mengobati lukamu!”, Aku memaksanya duduk.
Kaito mengalah. Dia membiarkanku mengobati lukanya. Tatapannya tetap kosong.
“Kenapa kau berkelahi?”, sambil mengobati lukanya.
“Bukan urusanmu”.
“Baiklah baiklah, aku tidak akan bicara apapun lagi”.
Aku menaruh plester di lukanya, Kaito sedikit mengernyit, menahan sakit. Dia lumayan tampan menurutku kalau saja perilakunya juga baik, mungkin dia bisa jadi idola di Raigaku.
“Selesai”, ucapku.
Kaito berdiri, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya lalu pergi.
Huh? Tidak ada terima kasih? Pikirku.
Esoknya, Aku berangkat pagi seperti biasa. Kelas masih kosong. Aku duduk dan melihat keluar jendela. Aku penasaran dengan apa yang selalu Kaito lihat. Sangkar burung? Batinku. Di sana, ada sangkar burung yang bertengger di sebuah pohon, rupanya Kaito sering memperhatikan kehidupan keluarga sang burung. Tapi kenapa? Pikirku bertanya-tanya. Seseorang masuk ke kelas. Orang yang pernah kutabrak! Batinku.
“Hai, Kau yang waktu itu menabrakku kan?”, katanya terkekeh
“Namaku Miyu”, aku tersenyum malu.
“Aku Daichi”, katanya ramah,”Jadi disini kelasmu ya”
“Ada perlu apa?”
“Kau tahu Kaito? Kudengar kemarin dia berkelahi lagi. Aku ketua OSIS disini”.
Cocok sekali, pikirku. Dia tampan dan tinggi, pastilah semua murid perempuan di sekolah ini memberi suara untuknya. Tapi, bagaimana orang ini bisa tahu? Pikirku.
”Uhm.. itu tidak benar. Kemarin aku pulang bersamanya.” Daichi mengernyitkan dahi.
“Maksudku aku berjalan pulang dibelakangnya, hahaha”, aku berbohong.
“Ohh begitu”, katanya. Aku tidak menduga, dia percaya?
Aku tersenyum terpaksa, bermaksud mengiyakan. Daichi memperhatikanku dengan tajam. Oh Tuhan jangan sampai dia tahu aku berbohong.
“Baiklah”, katanya seakan membaca pikiranku, ”lain kali kalau ada apa-apa beritahu aku ya”, dia tersenyum.
Ohh. Pantaslah dia jadi idola di sekolah ini, seriously! Senyumannya bisa bikin perempuan meleleh.
Satu persatu murid berdatangan.
“Pagi Miyu!” ucap Hana bersemangat seperti biasanya.
“Pagi”, aku tersenyum dan menganggukan kepala. Sudah hampir masuk tapi Kaito belum juga datang. Apa dia bolos? Pikirku, atau dia berkelahi lagi? Ah tidak jangan berpikiran negatif.
“Dorr! Lagi-lagi kau bengong Miyu”, Sakura mengagetkanku.
“Duh kau ini, mengagetkan saja”
“Memang maksudku begitu”, Sakura tertawa, “Kenapa pagi-pagi kok sudah bengong? Kesambet baru tau rasa”.
Sakura selalu bisa membuatku tertawa. Sakura dan Hana duduk di depanku. Mereka menjadi temanku yang pertama di sekolah ini. Mereka lain daripada orang-orang di Raigaku yang kebanyakan diisi oleh para maniak-maniak komputer atau cewek-cewek yang gemar berdandan.
“Hm.. Kaito kok belum datang ya?”.
“Ciee ada yang kangen nih?”, Sakura menggoda, kulempar tempat pensilku tapi dia bisa menangkapnya. Sial.
“Kudengar dia demam”, kata Hana, “Rumahku hampir dekat dengan dia dan ibuku mendengar desas-desusnya dan yah aku mendengarnya”.
“Dasar, ibu dan anak sama-sama tukang gossip”, kata Sakura yang langsung dijitak oleh Hana, tapi lagi-lagi dia bisa menangkisnya. Hebat.
“Apa tidak ada yang menjenguknya?”.
Sakura dan Hana saling berpandangan.
“Well, Miyu. Kau tau kan, Kaito itu anak berandalan, menurutmu siapa yang mau menjenguknya?” Kata Sakura.
Hening.
“Kita”, Hana menunjuk dirinya dan Sakura, “selama ini duduk di depannya saja tidak pernah berani menegurnya walau kadang dia suka menegur kami untuk sekedar meminta isi pensil. Kami sekalipun belum pernah ngobrol panjang dengan dia. Jujur saja kami takut”.
Jadi begitu, pikirku. Itu kenapa dia selalu memandang keluar. Kesepian.
“Sepertinya aku akan menjenguknya”.
“Kau gila ya?”, Hana cemas.
“Cuma menjenguk kan? Apa salahnya?”.
“Hmph, baiklah Miyu, kalau itu maumu lakukan saja”. Sakura menatap sedikit cemas.
“Disini rumahku”, ucap Hana.
Rumah yang bergaya Eropa klasik terlihat sedikit mewah ditambah dengan taman dan gerbang yang tinggi.
“Disana rumah Kaito”, ujarnya menunjuk ke rumah bergaya Korea dengan pagar merah.
“Uhm.. apa tak apa-apa aku menjenguknya?”, ucapku sedikit gugup
“Loh? Tadi kau yakin sekali ingin menjenguknya, Miyu, apa kau berubah pikiran?”.
“Tidak tidak. Aku hanya.. gugup.”
“hahaha, kau ini cute deh Miyu!”. Hana mencubit pipiku. Aku menahan keinginanku untuk menjitaknya.
“Baiklah, wish me luck!”, aku berjalan ke rumah Kaito
“Kalau terjadi apa-apa, lari saja ke rumahku ya!!”, Hana berteriak.
Orang-orang memandangku. Hana.. kali ini benar-benar akan kujitak.
Rumah yang cukup luas. Pikirku.
Aku menekan tombol intercom disana.
“Permisi, selamat siang. Aku teman Kaito ingin datang menjenguk”.
Pagarnya otomatis terbuka. Dan aku masuk.
Lagi-lagi ada intercom di pintu, kali ini dengan kamera. Dasar penggila Korea.
“Selamat siang”, ucapku. Aku melihat seorang wanita muda di kamera. Ibunya? Tapi aku rasa terlalu muda. Pacarnya?
“Siang”, wanita itu tersenyum,”kau teman Kaito ya? Wah jarang sekali teman Kaito berkunjung apalagi seorang perempuan”. Katanya terkekeh. “Masuklah”.
Klek. Terdengar suara kunci pintu yang terbuka otomatis. Akupun masuk.
“wah wah kau imut sekali”, katanya.
“te-terima kasih”, wajahku memerah. Malu.
“oh ya aku ini kakak Kaito, namaku Azuki. Kau temen sekelasnya ya? Atau.. kau menyukainya ya?”, ucapnya menggodaku.
Oh Tuhan.
“Aku hanya teman sebangkunya kok, kak”. Aku berusaha menjauhkan topik itu. Kenapa sih orang-orang ini?
“Biasanya hanya Kaze yang sering kemari, aku sempat takut karena mereka berdua sangat dekat, hahaha, silahkan duduk”, katanya sambil tertawa. “kuambilkan minuman dulu ya”.
Kaito yang pendiam dan kakaknya yang sangat riang. Sempurna.
Aku memandangi foto yang terpajang di ruang tamu itu. Foto keluarga. Ayah, ibu dan 2 anak. Berdebu. Seseorang tiba-tiba keluar dari kamar di ujung dekat tangga. Seseorang berambut hitam dan sedikit pendek untuk seorang pria. Sontak aku berdiri.
Dia mengernyitkan dahinya seakan bertanya kepadaku, siapa kau?.
“Hoo.. dia yang namanya Kaze, yang kuceritakan tadi”. Azuki datang sambil membawa minuman. “Heh Kaze kau ini apa tidak ada kerjaan lain selain “berpacaran” dengan Kaito?’, Azuki terkekeh
“Enak saja kalau ngomong!” Kaze menghardik.
“Oh iya, kenalkan ini Miyu, katanya teman sebangkunya Kaito”.
“Halo”, ucapku sambil membungkukkan kepala.
“Kau manis ya, sayang sekali kalau si Kaito itu yang me--- aduh!“ Azuki menjitak Kaze.
“Eh? Apa kaubilang?”, aku mengernyitkan dahi.
“Tidak. Tidak jadi hahaha”, ucap Kaze.
“Miyu, kau kesini untuk menjenguk Kaito kan? Ini”, Azuki menyerahkan baskom berisi air dan handuk kecil kepadaku. “tolong rawat dia sementara ya, aku ada urusan hehe”, Azuki tersenyum. Licik. Batinku.
“Ah iya, aku juga mau tidur, tolong rawat dia ya aku capek”, Kaze menguap. Dan dia tertidur di sofa.
Apa-apaan ini?
Great. Meninggalkan rumah kepada orang asing. Ceroboh benar. Aku melangkah ke kamar Kaito. Kubuka pintunya dengan sangat pelan. Tertidur. Aku melihatnya. Kuambil kursi kecil dan duduk di samping tempat tidurnya. Kucelupkan handuk itu kedalam baskom yang berisi air, memerasnya, dan menaruhnya dengan hati-hati di dahi Kaito.
Ahh. Melihatnya seperti itu entah kenapa perasaanku menjadi aneh. Wajahnya terlihat seperti anak kecil. Aku menghapus keringatnya. Mencelupkan lagi handuknya dan menaruh di dahinya dengan sangat pelan. Dia sungguh tidak berdaya. Entah kenapa aku menjadi merasa.. kasihan. Kutempelkan tanganku di lehernya, panas sekali. Pikirku. Melihat wajahnya yang damai kalau saja dia bisa lebih baik. Kalau saja.
Aku mengelus kepalanya dan memperhatikan wajahnya. Tanpa sadar Kaito pun terbangun.
“Miyu?”, ucapnya lemah.
“Eh?”, aku kaget. Sontak menarik tanganku. “Ma-maaf”. Tanpa sadar aku mengucapkan itu.
“Bagaimana kau bisa ada disini?”, katanya, melihatku tajam sambil berusaha duduk.
“A-aku cemas karena kau tidak masuk sekolah, karena kupikir kau berkelahi lagi. Lalu Hana bilang kau sakit. Dan.. dan aku menjengukmu”, menggaruk kepalaku walau tidak gatal. Oh Tuhan, kenapa aku berdebar?
“Hana yang memberitahumu rumahku?”.
Aku mengangguk seperti orang bodoh.
Hening.
“Ma-maaf, karena kupikir kau pasti butuh teman jadi…”
“Keluar”, ucapnya
“Apa?”
“Kau tidak mendengarku? Aku bilang Keluar!”, ucapnya seperti memerintah.
Aku takut. Aku bergegas keluar. Kututup pintu kamarnya. Entah mengapa aku ingin menangis.
Kaze melihatku. Rupanya dia terbangun mendengar suara teriakan Kaito.
“Miyu”, dia memberiku tanda dengan tangannya supaya aku mendekat.
Aku menurutinya. Aku duduk di sampingnya.
“Kau sudah bangun? Karena suara Kaito ya?”, ucapku gemetar.
“Tidak usah ditahan”, Katanya.
“Eh?”
Kaze memandang mataku. Dia menjentikkan jarinya di dahiku.
“Kau ingin menangis kan? Menangislah”.
Kaze menatap mataku dengan tajam. Entah kenapa aku menjadi luluh. Aku tidak bisa menahannya lagi. Kututup wajahku dengan kedua tanganku dan aku menangis.
“Kaito”, dia mulai bercerita, “Dia menjadi dingin setelah berkelahi dengan orang tuanya. Dia memutuskan kabur dari rumah setelah bertengkar hebat dengan ayahnya. Azuki melihatnya dan dia memutuskan untuk kabur bersama Kaito. Walau bagaimanapun Kaito sebenarnya baik. Dia hanya menutup dirinya kepada orang-orang yang baru di kenalnya karena dia muak dengan pengkhianatan. Aku teman sejak kecilnya jadi aku tau dia.”
Kaze menepuk kepalaku dan aku terisak.
“Dia sebenarnya baik kok, Cuma dia tidak mau terlalu dekat dengan orang yang baru dikenalnya. Yahh, hatinya susah untuk dicairkan, tapi lama kelamaan aku yakin kau bisa berteman baik dengannya”. Kaze tersenyum sambil mengelus rambutku.
Aku sudah sedikit tenang.
“Dia cukup kesepian sebenarnya”, Kaze tersenyum padaku,”Dekati saja dia pelan-pelan, okay?”, dia menarik tanganku dan melakukan pinky promise.
Dan aku makin merasa aku tidak bisa membiarkannya begitu saja.
Post a Comment