Chapter 13. Door to the Past
“Apa?!”, Aku tersedak roti melonku. Sakura memberiku Lemon sodanya. Aku meneguknya, mengambil napas dan kembali mengulang pertanyaanku. “Kau bilang apa tadi, Sakura?”
“Hana, dikabarkan menghilang. Kamarnya kosong ketika Suster jaganya masuk.”
Aku menelan roti melonku yang sekarang rasanya seperti karet melewati tenggorokanku. Hilang?
Sakura tampak murung kembali. Dia merogoh sakunya, dan mengeluarkan sesuatu ke dalam genggamannya yang tampak seperti bandul.
“Ini ditemukan diatas kasurnya. Suster itu memberikannya padaku pagi ini ketika aku berniat menjenguknya.”
Aku meraih bandul dengan rantai coklat keemasan dari tangan Sakura. Di sisi kiri dan kanannya terukir sayap kecil yang melengkung dan sebuah batu biru sapphire melengkapi keindahannya di tengah guratan yang tampak seperti aliran air. Aku mencoba membalikkan bandul tersebut, ada sederet kecil kalimat tertulis diatasnya.
“Coloro che seguono il flusso sarà schiacciato dal ruolo... Ma coloro che sono sopravvissuti contro il flusso condurrà questi dolore.…”
Huh? Aku tidak mengerti sama sekali. Kembali aku memperhatikan sapphire yang ada di sisi depan bandul. Tiba-tiba kesadaranku rasanya seperti tersedot. Damn! Apa ini! Batu Sapphire ini rasanya punya kekuatan lain. Aku merasa dikelilingi oleh sorrow. Aku mencoba berontak dari perasaan ini dan dengan cepat aku menyimpan bandul Hana di dalam sakuku. Akan kutanyakan pada Kaze lebih lanjut apa arti dari kalimat itu dan apa sebenarnya kekuatan batu Sapphire ini.
------
“Markas baru?”, Kaito mengalihkan pandangannya dari laba-laba yang sedang berusaha melengketkan mangsanya.
“Yeah, kau sudah dengar? Gedung sekolah lama ini akan segera dirobohkan.” Kata Daichi dengan tenang.
Hening.
“Kenapa?” aku mencoba memecahkan kesunyian diantara yang lain.
“Yang pasti karna gedung ini sudah tak terpakai tentunya, dan lagi sudah tak terawat, kemungkinan yang lain, mungkin…” Daichi memotong pembicaraannya.
“Mungkin apa?” Aku mengernyitkan alisku.
“Kau ingat Rokku kan? Apa yang pernah kita diskusikan, kalian masih ingat?” Daichi memutar matanya ke arahku dan Kaito.
“Ah… silsilah keluarga di sekolah ini? Dengan kata lain mereka ingin melihat kita menderita, kan?” Kaito mengungkapkan analisinya.
“Tepat seperti yang kupikirkan.” Daichi menggosok lehernya.
“Hanya butuh markas baru kan? Toh kukira itu takkan mempengaruhi kita.” Aku mencoba mengeluarkan aspirasiku, “Bukankah ini untung buat kita? Dengan begini Kaze tak perlu susah payah lagi menyelinap ke sekolah ini. Bagus kan?”
“Mungkin… tapi..” Kaito menatap kearahku. Rasanya sekelilingku membeku.
“Apa?” Aku mencoba tenang.
“Tahukah kau mengapa kami memilih gedung ini sebagai markas? Gedung yang sudah sangat usang ini?”
Daichi bergerak ke arah lemari. Laba-laba yang tadi sedang berusaha memintal mangsanya terpaksa sekarang harus mencari mangsa baru karna Daichi baru saja merusak sarangnya. Daichi mencoba membersihkan lemari yang sudah sangat berdebu itu dan mengumpulkan tenaganya untuk bisa menggesernya ke samping.
“Bantu aku sedikit, Kaito”
“Kau kan Earth, masa tidak kuat mendorong lemari?”
“Sudahlah cepat bantu aku. Kan ini berhubungan dengan Misi kita juga, kau tidak ingat?”
Kaito berjalan dengan malas kearah Daichi, dan sekarang mereka berdua mencoba untuk mendorong lemari kayu berdebu yang bahkan kupikir seharusnya tidak seberat itu untuk digeser. Mereka berdua bersusah payah menggeser dengan mengerahkan seluruh tenaga manusia mereka dan selang beberapa menit kemudian, dengan penuh keringat, mereka berhasil menggeser lemari berdebu si laba-laba itu. Pintu. Di belakang lemari itu ternyata ada sebuah pintu. Pintu dari kayu yang terukir gambar symbol-simbol yunani yang aku tidak mengerti tapi tetap menunjukkan keindahan buatku. Aku menelan ludah. Penasaran dengan apa yang ada di balik pintu tersebut.
Daichi melirik kearah Kaito, dan Kaito mengangguk seakan dia mengerti apa yang ada di pikiran Daichi. Daichi menggumamkan mantra, perlahan-lahan gambar naga yang tertempel di pintu yang bersimbolkan huruf Yunani itu bergerak. Naga itu seolah menjauh.
Klek.
Pintu itu pun terbuka. Angin dingin menyeruak keluar menghujam kulitku. Sebuah lorong yang panjang sekarang membentang di hadapanku.
“Apa.. ini?” Aku bertanya kepada Daichi dan Kaito.
“Lorong waktu. Cepat masuk ” Kaito menjawab. Dan dia mulai masuk kedalam lorong tersebut.
“What?” Aku tidak mengerti. Bagaimana bisa? aku mengikuti di belakang Daichi.
“Somehow, gedung sekolah lama ini menciptakan dimensi tertentu dimana semua aliran waktu melewati dan bergerak ke tempat ini. Kaze yang menemukan lorong ini.” Daichi berjaan di belakangku.
“Aku tetap tak mengerti.” Aku mengernyitkan dahiku. “Kalau ini adalah lorong waktu, berarti kita sekarang berjalan di tengah aliran waktu? Bagaimana bisa kita tidak bertabrakan dengan waktu yang lain?”
“Seperti yang kau lihat.” Daichi menyentuh dinding lorong tersebut. “Masa depan, masa lalu, dan masa kini. Lorong ini lah pembatasnya. Kita sedang berjalan diantara dimensi waktu dan alam astral kita. Ini membuat soul kita menciptakan proteksi tersendiri dari hentaman aliran waktu sehingga kita—para souler¬, bisa dengan mudah menembus waktu. Manusia biasa tentu tidak bisa melihat ini. Waktu, adalah benda abstrak. Seperti cinta.” Daichi menyeringai.
Aku semakin bingung dengan penjelasan Daichi. Jadi sekarang, aku sedang jalan-jalan diantara waktu? Diamanakah aku sekarang? Masa depan? Masa lalu? Masa kini?
“Lalu.. sekarang kita mau apa di lorong waktu ini?” aku mencoba mencari jawaban atas apa yang sedang kami perbuat.
“Kita harus menemukan tubuh Kaze. Ini misi kita. ” Kaito berjalan dengan cepat di depanku. Rasanya lorong ini begitu panjang dan aku merasa takut kalau tidak ada ujungnya. Napasku rasanya sedikit sesak.
“Tubuh Kaze? Dimana? Misi?” sekarang aku terengah-engah. Entah karna tekanan dari waktu yang mengalir di sekitarku atau karna aku yang mencoba mengejar Kaito. Dia punya kaki yang lebih panjang dariku, dan dia berjalan sangat cepat. Hell.
“Celestia.” Daichi bergumam.
Aku menghentikan langkahku tiba-tiba dan Daichi berhenti secara tiba-tiba sebelum menabrakku. Kaget akan apa yang baru saja diucapkan Daichi aku menoleh kearahnya.
“Celestia katamu? Tempat perang kita terakhir itu? Disana kan banyak Angel dan Kaze pun tidak ada, bagaimana kalau kita tertangkap?”
“Karna itulah kita punya mata-mata.” Kaito mulai bersemangat. “Dan teruslah berjalan, jangan berhenti disana atau kau akan kehilangan waktu mudamu!”
Aku berlari mengejar Kaito.
“Mata-mata? Siapa? Kenapa kalian tidak pernah memberi tahuku kalian punya mata-mata?”
“Kukira kau sudah pernah bertemu dengannya Miyu.” Daichi berjalan lagi dengan cepat di belakangku.
“Benarkah?” aku semakin bingung dengan semua ini.
“Ya, dan kita akan bertemu dengannya di ujung lorong ini.”
----
Kaze menguap. Ah, mereka mengunjungi Time Tunnel rupanya, pikir Kaze.
“Dasar Kaito. Aku sudah bilang akan lakukan sendiri. Yasudah lah, toh Sai juga disana.”
Kaze melompat keatas tempat tidur Miyu. Berbaring disana seolah tidak ada beban berat dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari misi mereka kali ini.
-----
Aku menghembuskan nafasku. Rasanya aku sudah berlari sekuat tenaga di lorong ini. tapi mana ujungnya?
“Kaito, perjalanan kita masih jauh kah?” aku mencoba mengatur nafasku.
“Sedikit lagi..” dan dia tiba-tiba berbelok. Aku pun mengikutinya.
Dan itu dia. Cahaya. Aku merasa paru-paruku melebar lagi.
“Lama sekali..”
Seseorang dengan memakai tudung transparan menunggu kami di ujung terowongan waktu. Dia sedang bertransformasi rupanya. Dan.. tunggu. Aku kenal dia..
“Gin? Kenapa kau ada disini?”
“Wah, Miyu, apa Daichi atau Kaito tidak memberitahumu? Kalian jahat sekali.” Gin merengut kearah Kaito. Kaito melengos tidak peduli.
Aku melihat seseorang yang lain disana. Seseorang yang tinggi dan sedikit berkulit hitam. Siapa?
“Ah, aku lupa memberitahumu. Dia Sai. Wind.” Kaito seakan bisa membaca pikiranku.
“Heeeeyyy! Kalian memperkenalkan Sai tapi tidak memperkenalkan diriku! Dasar! Padahal aku juga punya jabatan penting disini!” Gin menghardik.
Kaito menghela nafas. “Baiklah baiklah, ini dia sang mata-mata. Gin. Angel. Happy?” Kaito bersikap dingin. Gin masih cemberut.
Gin mata-mata?! Angel?
Aku seperti menerima pukulan di kepalaku. Gin seorang Angel?
“Tenang. Dia berpihak pada kita, yah.. saat ini.” Daichi mengusap kepalaku.
“Hai Miyu, Aku Sai, senang bertemu denganmu. Water eh? Terlihat jelas.” Sai terkikik.
“Baiklah cukup basa-basinya, kita punya misi penting sekarang.” Kaito bersiap bertransformasi.
“Jadi, adakah seseorang yang bisa menjelaskan apa yang sedang terjadi disini, apa yang kita lakukan, dan dimana ini?” Aku benar-benar depresi.
“Haha, Miyu. Kau lucu sekali.” Sai tertawa.
“Kita sedang kembali ke masa lalu Miyu, saat di Celestia. Sekarang, kita akan merebut kembali tubuh Kaze yang tersegel.” Daichi sudah bertransformasi rupanya.
“Miyu, cobalah bertransformasi.” Kaito menatapku
“A-aku? Aku belum bisa bertransformasi penuh.” Aku gugup.
“Kau bisa.” Sai menyentuh kepalaku.
Aku merasa seperti terlempar. Eirin muncul di hadapanku.
“Ayo ucapkan sama-sama.. Miyu..”
“Animus vinctus in aquam fluere, influit!”
Aliran energi berkumpul menyeruak ke dalam badanku. Eirin menyatu dengan jiwaku. Aku merasakan sensasi yang seperti merobek tulangku. Aku membuka mataku. Aku tampak seperti Eirin.
“Baik, mulai dari sini. Aku yang akan memimpin. Ingat untuk berjarak setidaknya 100 meter dariku, okay?” Gin maju.
“Hmph.” Kaito menyetujui.
“Kalian siap?” Sai mengerling kearahku dan Daichi. Aku mengangguk.
“Let’s go to Celestia..”
Gin menghentakan kakinya dan kami semua masuk kedalam lingkaran yang tampak seperti gerbang putih.
Post a Comment