- Home »
- My Cursed Heart [ Chapter 5 ]
CHAPTER FIVE: Miyu’s Alter-ego.
Jam istirahat. Tapi hari ini aku sedang ingin menyendiri. Aku menemukan tempat yang nyaman. Halaman belakang sekolah. Jarang sekali murid Raigaku yang pernah singgah di tempat ini. kebanyakan dari mereka lebih suka berdiam di kantin atau perpustakaan, temapt yang dijadikan alasan untuk tidur di jam istirahat. Halaman ini dipenuhi rumput seperti karpet. Aku merebahkan tubuhku diatasnya. Aku mengambil roti melon yang selalu menjadi menuku saat jam makan siang, sambil mengunyahnya aku memperhatikan awan-awan yang bergerak pelan.
“Kenapa dadaku sesak tiap kali aku memikirkannya?”. Aku berbicara kepada langit.
“Itu tandanya kau menyukainya”
Seseorang menjawabku. Aku kaget. Kukira hanya aku sendiri disini. Aku tidak merasakan adanya orang lain. Kapan dia muncul?
“Maaf?”, aku mencoba mencari darimana asal suara itu.
Seorang laki-laki dengan rambut berantakan yang bersandar di balik pohon beringin yang bersebrangan namun berdekatan dari tempatku duduk itu tersenyum menatapku. “Aku bilang itu tanda kau menyukainya”
Aku kembali merebahkan tubuhku di atas rerumputan. “Benarkah?” kataku sambil kembali mengunyah roti melonku dan kembali memandangi awan.
“Apa kau tidak bisa berhenti memikirkannya? Apa kau merasa sakit ketika melihatnya? Apa kau merasa bodoh ketika memikirkannya?” katanya seperti menginterogasiku.
“Uhm..” Aku tidak tahu harus menjawab apa.
“Tidak apa-apa. Lama kelamaan kau akan menyadarinya bahwa itu perasaan yang istimewa”
Aku memejamkan mataku. Kaito muncul di benakku. Aku membuka mataku dan menatap lurus kepada awan-awan yang sekarang bentuknya sudah seperti Neptune yang membawa trisula.
“Benarkah aku menyukainya?” aku mengangkat tanganku untuk menutupi sinar matahari.”Kau tahu seperti apa itu cinta?” tanyaku pada orang itu. Tapi tidak ada jawaban. Aku menoleh kepadanya, Lho? Kemana dia? Dia menghilang! Rasanya tadi dia masih ada disini. Aku melihat ke sekeliling halaman tapi keberadaanya seperti ditelan angin. Masa sih dia hantu?!
“HEYYY!!!”
Aku mencoba memanggil dia lagi. Sunyi. Tidak ada jawaban. Aku berdiri dan menepuk-nepuk bajuku. Sedikit merinding, aku memutuskan untuk kembali ke kelas.
“Konsentrasikan pikiranmu pada gelang auramu. Pusatkan semua chakramu ke gelang tersebut dan paksa dia untuk membuka aliran watermu”. Ucap Kaze.
Hari ini aku memutuskan untuk berlatih meningkatkan levelku. Bersama Kaze di ruang gedung sekolah lama aku mengikuti setiap perintahnya. Aku memejamkan mataku dan mengatur pikiranku. Berusaha untuk mengosongkan pikiranku dan memusatkannya pada gelangku. Konsentrasi Miyu! Aku berusaha menyemangati diriku sendiri.
Aku merasakan aliran sejuk di sekeliling badanku. Aku tau chakraku sedang terbuka. Aku berusaha mengalirkannya pada gelangku.
Tiba-tiba.
“Kyaaaaaaaaaaaa!!!!!”
Sesuatu yang aneh terjadi padaku. Badanku dipenuhi cahaya sampai penglihatanku kabur. Badanku seperti dicabik-cabik. Aku tenggelam di cahaya putih yang menyilaukan itu.
“Miyu.”
Aku mengedipkan mataku, berusaha menajamkan penglihatanku pada suatu bentuk di depanku. Seorang gadis. Sebentar. Dia mirip denganku, ah tidak dia lebih cantik. Lalu aku sadar bahwa aku berdiri di tengah rawa. Air menggenangi sampai pinggangku. Ini sedikit menakutkanku, ada apa ini?
“Siapa.. kau?” tanyaku pada gadis berambut biru itu.
“Aku adalah bagian darimu, perwujudan gelangmu, aku adalah air, the queen of Aqua”. Katanya lalu tersenyum padaku.
“Ratu air?”
“Bisa dibilang seperti itu”. Dia menggerakan tangannya dan air mengalir dari jarinya dan mengelilingi badannya seperti lingkaran suci.
“Dimana ini?”
“Ini adalah dimensi lain, dimensi arwah”. Katanya.
“Dimensi arwah? Aku sudah mati?”
Dia tertawa mendengarku berbicara seperti itu. “Tidak anak bodoh, kau hanya mengunjungi dimensi kami”
Aku gugup. Dimensi arwah? Bukankah itu tempatnya orang-orang yang sudah mati? Aku melihat sekelilingku dan melihat kakiku. Sadar bahwa rawa ini seperti tak berujung, tapi entah mengapa aku masih terapung. Padahal aku tidak bisa berenang dan tidak tau caranya mengapungkan diri.
“Baiklah Miyu, dengarkan. Aku adalah bagian dari dirimu. Aku adalah kekuatanmu. Aku adalah pembuka kunci aliran chakramu. Jadi kita harus berteman supaya kau bisa mengeluarkan energimu”.
“Syaratnya?”, ucapku cemas.
“Apa kau selalu mengajukan syarat kalau ingin berteman dengan seseorang?”. Katanya sambil tersenyum.
Sekarang pusaran air mengelilingi tubuhku. Aku seperti berada di tengah topan air. Aku merasa melebur menjadi satu dengan air tersebut. Air ini aneh, terlihat lebih pekat dari air biasa. Dan mereka menelanku. Aneh. Di setiap latihan menahan nafas di dalam air aku hanya kuat bertahan selama 5 detik. Tapi, disini aku bisa bernafas. Di dalam air.
Lalu aku melihat sesuatu muncul, sesuatu yang seperti naga. Begitu besar dan bersisik dan kedua sayapnya berduri. Energiku seperti tersedot olehnya. Pusaran air yang mengelilingiku pun menghilang. Tersedot ke dalam rawa.
Tiba-tiba aku kembali ke ruang klub. Kaze di depanku.
“Maaf, tadi itu salahku, aku seharusnya menahan Leviathan juga mengunjungi itu di dalam dirimu.” Kaze menangkupkan kedua tangannya padaku.
“Leviathan?” engahku.
“Dewa air.” Katanya, “Dia adalah kekuatan spiritualmu, tapi dia tidak sama seperti gadis yang hadir di alam peralihanmu itu tadi. Dia memang ada di dalam dirimu tetapi Leviathan.. dia punya pemikiran sendiri. Namun disaat kau membutuhkan bantuannya kau bisa mensummonnya”
“Gadis itu, rawa itu, sebenarnya apa yang terjadi”.
“Seperti yang sudah dikatakan olehnya. Dia adalah bagian dari dirimu sekarang. Dia yang akan membantumu mengeluarkan kekuatanmu.” Lanjutnya, “Namanya Eirin”
Hari sudah gelap ketika aku memutuskan untuk pulang dan sekolah sudah sangat kosong. Aku melangkah menuju gedung Raigaku modern, berjalan memutari gedung olahraga yang lebih terang. Sekolah di malam hari sungguh menakutkan!
“BERIKAN UANGMU!”
Aku tersentak. Di depanku ada orang yang sedang dipalak oleh kakak kelas. Lagi, sepertinya aku mengenalnya.
“Belagak sekali memasukan tangan di kantung, cepat bagi kami uang!”
Kaito diam. Tidak melakukan apapun. Aku teringat sesuatu. Aku mengambil minuman soda di tasku yang siang tadi kubeli di kantin. Kukocok kaleng itu dan mendekati mereka.
“Hey! Kau tuli ya?” Salah seorang dari mereka yang terlihat memakai tindikan di bibirnya mulai mendekati Kaito.
“Tunggu! Ada seseorang”. Sepertinya ketua genk mereka melihatku.
Aku mendekati mereka dengan penuh keyakinan.
“Hmph, kakak-kakak yang baik aku punya hadiah untuk kalian”, ucapku sambil mendekati mereka.
“Apa?!”,
Kubuka tutup kaleng minuman soda itu tepat di depan muka kakak-kakak kelas yang besar itu. Isi kaleng soda muncrat mengenai mata mereka semua.
“ARGH!! MATAKU!!”
“Sial, awas kalian!” si ketua genk yang rambutnya setengah botak itu melarikan diri sambil mengucek-ucek matanya, diikuti 2 orang lainnya.
“Dasar, kelas 3 belajarlah yang benar seperti murid kelas 3”, kataku sambil meminum soda yang tersisa, dan kembali menoleh ke Kaito.
“Kenapa sih kau selalu berkelahi? Memangnya kau akan mati kalau tidak berkelahi ya?”
Kaito menunduk. Entah apa yang ada di pikirannya.
Aku melihat aliran merah di sekelilingnya. Aura seperti api yang mengelilinginya. Apa ini?
“Kaito? Kau tidak apa-apa?”, tanyaku cemas. Aku melihat matanya mulai berubah menjadi merah. Kaito seketika berdiri dan berlari, menghilang di tengah kegelapan. Aku seperti mendengar kepakan sayap dan ada seekor burung gagak terbang di atasku. Bulu kudukku berdiri. Keheranan, Aku buru-buru beranjak dari tempatku dan berlari pulang.
“Aku pulang, bu”. Sahutku sambil melepas sepatuku.
“Selamat datang”. Ibuku menjawab tapi aku merasakan hal yang aneh dari nada suaranya.
Aku mendekatinya. Dia menunduk lesu seperti baru saja terkena serangan listrik.
“Bu? Ibu kenapa?”, aku memegang pundaknya. Kuangkat wajahnya supaya aku bisa melihat wajahnya dan, dia seperti baru saja menangis.
“Orang itu, dia bilang dia akan menikah bulan ini”.
Aku mengepalkan tanganku. Orang itu. Orang yang seharusnya aku panggil ayah. Aku yang memberinya nomor telepon rumah kami berharap dia akan kembali seperti dulu. Kalau saja bukan ibuku yang menyuruhku, aku tidak akan sudi untuk berhubungan lagi dengan dia, karna tahu akan menyakitkan. Dan itu terbukti.
“Sudahlah, dia itu tidak penting bu. Tidak usah dipikirkan dan tidak usah datang!”
Ibuku melangkah menuju kamarnya dan aku mendengar isakannya. Kenapa sih, dia suka sekali menyiksa kami?
Aku tidak bisa tidur. Orang itu membuatku muak. Aku menatap gelang waterku. Memejamkan mata di tempat tidurku. Aku berkonsentrasi memusatkan energiku di gelang tersebut. Eirin, apa kau dengar? Apa kau bersamaku?
Suasana menjadi gelap. Tubuhku terasa melayang. Aku membuka mataku, sekarang aku berdiri di pertengahan danau. Ya danau, penuh air dan terlihat pekat.
“Eirin?”, aku mencoba memanggilnya.
Tidak ada jawaban.
Aku mencelupkan tanganku ke dalam air danau dan memusatkan pikiranku pada air tersebut. “Eirin, kau dengar aku?”
“Ya”, dia berdiri di hadapanku sekarang.
“Jadi kau benar-benar hidup di dalam diriku?”
“Miyu, tentu saja. Dan biarkan aku menjelaskan ini, aku lahir dari rasa kebencianmu. Aku terus menguat ketika perasaan bencimu semakin pekat. Aku selalu menunggu sampai akhirnya kau menyadari keberadaanku. Aku sungguh sangat berharap bisa membantumu membunuh kebencianmu itu.”
“Kebencianku?”, aku berpikir. Apa hal yang paling kubenci.. yang begitu kuat selain.. orang itu?
“Jika kau mau aku bisa membantumu memusnahkannya, lewat air”, Eirin menjentikkan tangannya dan sebuah spear muncul di tangannya. “Aku bisa mensummon sesuatu, tapi sepertinya badan manusiamu tidak cukup kuat untuk menahannya.” Katanya terlihat sedih,” tapi kita masih bisa melakukan hal yang lebih ringan”
Melakukan sesuatu? Itukah yang kuinginkan? Walau aku membencinya tapi bagaimanapun juga dia masih tetap ayahku.
“Eirin terima kasih, tapi.. aku tidak ingin melakukannya.. paling tidak untuk sekarang”.
Aku melihat bekerku. 05.45 pagi. Ahh, badanku terasa sangat pegal, inikah efek aku memanggilnya? Badan manusiaku tidak cukup kuat menahannya.
Dengan memaksakan diri aku beranjak dari tempat tidurku dan melakukan aktivitas rutinku.
Aku tidak melihat ibuku hari ini. kemana dia?
“Ryuu, mana ibu?”, tanyaku pada adik semata wayangku.
“Ibu.. pergi, ketempat ayah, subuh ini”
APA? Apa ibu sudah gila? Apa yang mau dia lakukan disana?!
“Ryuu, kau pergilah sekolah aku akan menjemput ibu, okay?!” nadaku meninggi, aku tidak bisa lagi menutupi kemarahanku.
Aku menyambar tasku dan berlari keluar berlawanan dari arah menuju sekolah.
Dang! Apa yang ibu pikirkan? Apa dia bersedia terluka demi melihat ayah dan calon istrinya?. Aku berlari menuju halte bis. 07.15. aku melirik jamku, semoga aku masih bisa berpapasan dengannya.
Hal yang biasa terjadi di siang hari yang sangat tidak kusukai. Macet. Aku menggigit kuku jempolku. Lama sekali!
Aku memutuskan untuk turun dari bis dan berlari menuju rumah mantan ayahku. Aku berlari dan berlari. Aku tidak pernah menyukai olahraga! Napasku seperti ingin habis. Aku tidak peduli aku terus berlari.
Melewati beberapa blok, sekarang aku melihatnya, ibu. Aku berlari ke arahnya dan menarik tangannya.
“Ibu!”, aku terengah-engah mencoba menangkap kembali nafasku.
”Ibu sudah gila? Ibu mau mati? Untuk apa ibu menemuinya? Untuk apa? Untuk kembali terluka? Untuk apa, bu? UNTUK APA MELIHAT ORANG YANG SUDAH MENYAKITI KITA!!”
Plak. Tamparan keras mendarat di pipiku.
Ibu menatapku dengan bibir gemetar. Aku meraba pipiku.
“Ibu..”
Air mata ibuku menetes di pipinya. Aku bisa melihat matanya, mata yang menahan sakit selama beberapa tahun. Rasanya sangat menyakitkan. Kesedihan yang dalam.
“Ibu hanya ingin memastikannya. Ibu ingin memastikan dengan mata ibu sendiri. Memastikan bahwa dia lebih baik dari ibu.” Suara ibu gemetar diselingi isak tangisnya yang tertahan.
Aku memeluknya. Tangisan ibu tumpah di bahuku. Aku mengelus punggungnya. Aku menggigit bibirku, berusaha untuk tegar. Ibu..
Gerimis mulai turun membasahi kami. Aku berjalan di depan ibuku. hanya memastikannya saja. Aku mendengar ada suara mobil mendekati kami. Kutarik tangan ibuku dan bersembunyi di balik tembok. Mobil Rolls Royce itu pun melewati kami. Aku mencoba mengintipnya, setelah memastikannya aman. Aku mengajak ibuku keluar dan mencoba mendekat.
Mobil itu berhenti. Seorang lelaki bertubuh tegap, memakai jas hitam keluar dari mobil. Melangkah menuju pintu kap-mobil yang lain dan membukakan pintu untuk seorang yang lain. Seorang wanita. Wanita yang berambut panjang mengenakan cardigan berwarna ungu. Dia terlihat muda. Wanita itu memeluk dan mencium ayahku mesra. Aku melihat ibu, dia membeku. Aku menarik tangannya.
“Sudah cukup”.
Aku mengajaknya pergi dari sana. Hujan mulai deras. Aku menutupi kepala ibuku dengan jaketku. Kami tidak bawa payung. Bagus sekali, ramalan cuaca menipu.
“Ibu, sekarang ibu puas?”
Ibu tidak menjawabku. Aku melihat wajahnya. Pucat sekali!
Perlahan-lahan aku merasa tangan ibu mengendur di tanganku. Dan dia pingsan. Oh, god.
Aku panik. Dengan susah payah aku memapah ibuku. Sekarang aku yang pucat.
“Bu! Ibu! Bangun!”
Aku semakin panik. Aku terus berjalan, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan selain berjalan. Aku lega sekali ketika melihat disana ada rumah sakit.
“Iya, aku tidak apa-apa, Ryuu. bisakah kau mengantarkan baju ganti untukku?, baiklah sudah ya”. Aku menutup handphone-ku.
Aku berdiri di depan ruang ICU sekarang, berharap bahwa ibuku akan baik-baik saja.
Aku mengetik pesan yang kutujukan untuk Hana dan Sakura.
Maaf hari ini aku tidak bisa masuk. Ibuku sedang sakit. –Miyu
Send. Aku menarik nafas. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku basah kuyup dan kedinginan.
“Miyu?”
Aku mendongakkan kepalaku, ”Daichi?”
“Kenapa kau disini? Kenapa kau basah kuyup?”, dia melepaskan blazernya dan menaruhnya di badanku.
“Ibuku sakit, kenapa kau disini?” tanyaku balik.
“ah aku hanya check-up rutin. Punggungku selalu sakit”
Aku sedang tidak ingin melakukan apapun kali ini. aku hanya diam saja ketika dia mengelap wajahku dengan sapu tangannya. Aku harus kuat.
“Sepertinya lebih baik kau mengganti bajumu. Kau bisa terkena flu. Jangan sampai malah kau yang harus dirawat disini.”
“Aku menunggu adikku, dia akan mengantarkan baju untukku”.
“Kalau begitu aku akan menunggu disini bersamamu”.
Aku terkekeh, “Kau ini terlalu baik hati. Aku tidak mau kalau kau menawariku formulir untuk menjadi fans mu”
Wajah Daichi memerah,”Aku tidak pernah menyuruh mereka membentuk klub untuk mengidolakanku”
Aku terkekeh. Ryuu datang dengan sweater abu-abunya dan membawa tas punggung yang dipenuhi stiker tokoh kesayangannya, seorang anak kecil berambut kuning yang di sebut sebagai ninja.
“Baiklah aku permisi dulu” aku meminta izin pada Daichi untuk mengganti bajuku di kamar mandi.
Di sudut kelas yang tak jauh dari kelas Miyu dan Kaito namun tak juga terlalu dekat dengan kelas Kaze terdengar keributan. Entah apa yang terjadi di kelas tersebut tetapi suara para wanita berhasil memekakkan telinga.
“Jadi anak-anak perkenalkan murid baru kita namanya Rokku.”
Pemuda tinggi itu terlihat berkilau. Para gadis melotot, melihat wajah tampannya. Senyumnya menyapu seisi kelas bagai menghipnotis para wanita. Rambutnya blonde berkilau dan matanya biru. Seperti Angel.
“Saya adalah keturunan Kanada, and now my daddy have some business here, jadi mohon bantuannya.” Ucapnya dengan logat Indonesia yang diacak-acak.
Para gadis terkikik mendengar nada bicaranya yang masih kental terukir khas Canada. Dan anehnya, dia menyeringai, terlihat puas.
TBC
Post a Comment