Archive for September 2010

-Author's blabberings-



Nahh! selagi menunggu authornya menggodok Chapter 7, baca side storynya dulu yaaa sembari atur napas lagi abis baca Chapter 6 hehe :D

story ini ditulis oleh Kaze sendiri, Author aja ga nyangka ternyata Kaze bisa bikin juga hahaha *Digetok death sycthe Kaze*

okehhh langsung aja cekidot XD



-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------



My Cursed Heart : Side Story ( Kaze : The Unknown Dream & The Water )





”…..Ingat tugas mu adalah memilih dan membimbing mereka….”

”Ya My Lord...”





KRIIIINGGGGGGGGGGGGGG!!!!!!!!!!!!!!



Jam weker kembali berbunyi, menandakan jam untuk malas2an harus berakhir.

Ya beginilah setiap pagi , namaku Kurouki Kaze , seorang pemuda pendek dan berambut agak panjang, ya beginilah nasib aku hanya bisa menerimanya.

Lagi aku melihat jam weker ku , kulihat waktu sudah menunjukkan jam 6.13

”SIAL AKU TELAT BANGUN LAGIIIIIII !!!! ”

Ya begitulah jam weker ku yg telah lama aku pakai

Selalu terlambat menyala



Aku berlari ke kamar mandi untuk mandi dan setelah itu bersiap2 untuk ke sekolah

Aku bersekolah di Raigaku atau lengkapnya SMU Rainen gakuen.



”ah kenapa nyaris setiap pagi harus begini sih ” keluhku...



Setelah semua siap aku berlari ke sekolah

Sambil berlari aku melihat jam..

”wah sial , jam 6.45 aku harus cepat ”

Aku berlari sekencang kencang nya tapi aku baru ingat kalau aku bisa menggunakan kekuatan angin.

”Bodohnya aku ... kenapa aku tidak memakai Speed ?!”

Lalu aku kumpulkan energi ke kaki dan ku gumamkan bbrp kata dalam bahasa soul

”Aerio esniara venturio...”

Ku rasakan kaki ku seperti tidak ada beban sama sekali

” huh begini kan bisa lebih cepat ”



YIHHAAAAAA



Aku berlari secepat angin dan tiba di gerbang sekolah tepat jam 6.55



”wah msh sisa 5 menit ah santai aja , paling juga kaito seperti biasa terlambat”



Aku berjalan di lobby dengan santai.

tiba – tiba dari belakang ku seseorang menegur ku

” Yo Kaze, Speed lagi seperti biasa ? ”

Aku berbalik dan melihat Daichi , dia adalah ketua OSIS dan teman baik ku

” Ya mau bagamaina lagi , jam weker itu rusak terus....”

Kami berjalan sambil mengobrol

Hingga akhirnya Daichi berbelok masuk ke kelasnya

Dan aku terus berjalan lagi masih sekitar 6 kelas lagi hingga sampai kelas ku



”yap tepat waktu...”

Aku masuk kelas dan duduk di kelas ku tepat bel pelajaran dimulai.



Menjelang siang , ada pelajaran yang paling membosankan bagiku

Yaitu Fisika.



”huh sial fisika lagi fisika lagi...”gumamku



Makin lama mata semakin berat dan

Aku tertidur....





”…..Ingat tugas mu adalah memilih dan membimbing mereka….”

”Ya My Lord...”

”Aku percaya engkau dapat menjalankan tugas ini...”

”Tenang saja Neir... ini hanyalah tugas sederhana ”



”KAZE , Lagi lagi kau tidur , dasar pemalas !”



Suara itu membangunkan ku dari mimpi yg sama semalam....

Aku membuka mata dan melihat guru fisika ku marah kepadaku...



”sebagai hukuman mu kali ini , kamu berdiri di koridor !”



Aku hanya diam dan keluar dari kelas...

Namun di benakku masih terbayang – bayang mimpi aneh itu



Siapa suara yang memenangkan dan penuh dengan kuasa itu ?

Lalu siapa gadis cantik dan elegant itu yang percaya padaku itu ?

Kuingat – ingat namanya Neir...

Siapa itu Neir ?

Kenapa senyuman itu sungguh indah sekali... ?



Tiba – tiba dari kegelapan muncul seseorang yang aku kenal

”Sesuatu mengganggu mu Tuan ? ”



” ah tidak ada apa – apa kok Lucifer... mungkin hanyalah ilusi mimpi..”



Lucifer The Fallen Angel , dia adalah Demon yang selalu membantu ku semenjak tragedi kecelakaan dimana aku mati dan bangkit lagi....



” mungkin mimpi bisa membantu membuka gerbang ingatan mu kembali Tuan..”



”mungkin... hanya mungkin...”



Jam pun berlalu lalu saatnya pulang tiba



Aku pulang dengan santai....



Lalu aku masuk kamar dan tidur dengan pulas

Hingga HP ku menyala dan ada pesan



”hooaammmm... siapa sih sore – sore begini... ”

Ku membaca pesan singkat itu

” Kaito berkelahi lagi , pulang – pulang badannya panas sekali seperti terbakar...

Tolong kamu kesini dan bantu aku merawat dia ”



”ah lagi – lagi Azuki terlalu berlebihan , huff baiklah aku kesana drpd tidak ada kerjaan ”



Aku berjalan ke rumah kaito

Sesampainya disana aku melihat kaito terbaring di kamarnya...

Aku menyapanya ” hey , kau berulah apa lagi hingga panas seperti ini ? masak hanya gara – gara berkelahi kau jadi seperti ini ? ”



Kaito menjawab ” ck aku menemukan Water.... dia ada di kelas ku.. “



”Ceritakan detailnya ”



Kaito menceritakan kejadian dimana dia berkelahi dan ditolong oleh seseorang gadis yang menjadi teman sekelasnya , dia adalah murid pindahan baru....

Namanya adalah Miyu.

Setelah lama dia bercerita tentang gadis itu dia berkata

”Kaze aku mau pergi dulu ke Netherworld , mungkin besok aku tidak akan masuk sekolah , badan ku tidak enak juga rasanya ”

”bah , pergi sana , kalo begitu besok pagi aku juga kesini lagi ”



Aku tau mangsut dari ucapan Kaito pergi ke Netherworld

Dia mengeluarkan Soul nya dari tubuh lalu pergi ke Netherworld....



Aku keluar dan mau pulang

Lalu aku melihat Azuki dan berkata ” Hey Azuki rawat yang benar adikmu , sakit lagi tuh ”

” ya kamu harusnya yang merawat dia , dasar pasangan homo ” goda Azuki



” wah sial kau... , ya sudah aku pulang dulu , besok pagi aku kesini lagi ”

” gak pergi sekolah kamu ? ” tanya Azuki

” malas , bolos enak ” jawabku seenaknya









Keesokan hari nya aku kembali lagi ke rumah Kaito



Ketika aku sedang merawat Kaito , Lucifer datang dan memberitahukan bahwa sebentar lagi akan ada yang datang.



Benar , Bell rumah Kaito berbunyi lalu aku mendengar Azuki berbicara dengan seorang gadis.



”Hmm siapa ya , lebih baik aku keluar ”



Begitu keluar aku melihat gadis yang diceritakan oleh Kaito yaitu Miyu.

Setelah itu aku membiarkan dia masuk ke kamar Kaito sendirian dan menyuruh dia merawatnya.



”hmm aku penasaran lebih baik aku amati dulu dia ” gumamku sambil berbaring di sofa



Aku kemudian memusatkan pikiran ku di kamar Kaito lalu aku membuat keberadaan ku seperti di dalam kamarnya Kaito.



Aku mengamati mereka dan aku merasakan ada hubungan antar energi mereka

Yang menandakan bahwa benar apa Kaito.



Lalu aku kembali ke tubuh ku.



Dan sebuah tragedi terjadi dimana Kaito membentak nya dalam keadaan tidak sadar.



Miyu keluar dengan muka kecewa dan sedih



Hmmm dia butuh seseorang yang menghiburnya

Kupanggil dia dan aku membuat sebuah ilusi kegelapan untuk membuat dia supaya

Tidak malu – malu untuk menangis....



Kuperhatikan tetesan air matanya.

Penuh dengan kesedihan , dan matanya seperti lautan luas.

Aku meyakinkan diriku bahwa dialah Water yang selama ini kami cari.

My Cursed Heart [ Side Story ]

//Friday, September 24, 2010
//Posted by darakyu706
Chapter six: Another Foe’s Approaching!







Matahari terlihat malas untuk mengeluarkan sinarnya hari ini. Langit yang tertutup awan mendung seolah mensugesti para murid-murid Raigaku untuk kembali ke tempat tidur mereka. Para staff sekolah tampak masih menyapu lapangan sekolah dan beberapa diantara mereka bermain basket di lapangan sebelahnya. Seorang lelaki blondie berjalan di koridor kelas menuju ke gedung sekolah lama. Beberapa gadis anak kelas 1 yang melihatnya langsung melotot dan mengikutinya. Rokku makin mempercepat langkahnya kemudian menghilang di tikungan. Para gadis yang sepertinya merupakan kumpulan anak-anak yang gemar berdandan itu tampak kecewa dan berteriakan memanggil-manggil namanya.



Rokku menginjakan kakinya di depan ruang klub Magic, mengerutkan alisnya pada poster di pintu berbunyi “KLUB MAGIC. DILARANG MASUK BAGI NON ANGGOTA.” Dia meraih gagang pintu tetapi seseorang yang lain menghentikan gerakannya.



“Siapa kau?” Kaito menahan Rokku.

Rokku memperhatikan Kaito untuk beberapa saat. “Aku akan membersihkan tempat ini dari kegelapan seperti kalian.”







Aku berdiri di balkon kelas. Aku memikirkan banyak hal yang terjadi setelah aku pindah ke Raigaku. Sepertinya baru kemarin aku pindah ke sekolah ini tapi rasanya sudah seperti bertahun-tahun, banyak kejadian yang terus menimpaku. Aku butuh udara segar.

Kaze berjalan mendekatiku. Dia tampak kelihatan sedikit cemas.

“Miyu-chan.” Dia berdiri di sampingku. “Kau melihat Kaito?”

“Eh? Aku tidak melihatnya semenjak aku berdiri disini, entah lah mungkin dia ada di dalam kelas?”

“Aku sudah mencarinya tapi dia tidak ada”.

“Memangnya ada apa sih?” aku keheranan melihat Kaze yang tampak cemas akan Kaito. Dia kan cowok.

“Sesuatu terjadi, aku yakin itu”, Kaze sekarang melihatku tajam, menyesal aku sudah berpikiran yang tidak-tidak karna sepertinya Kaze bisa membaca pikiranku. “Aku merasakan apinya menguat”.

Aku merasakan firasat yang tidak enak. “Kaze, ayo kita cari dia!”







“Apa maksudmu?”, Kaito menatap tajam Rokku.

“Jangan bercanda.” Katanya tertawa meledek, “Kau tidak tahu siapa aku?”

“Aku tidak pernah mengganggumu dan aku tidak mengenalmu”, Aura merah mulai keluar dan mengelilingi tubuh Kaito.

“Tapi kegelapan yang diciptakan oleh kalian bisa merusak umat manusia. Aku adalah cahaya. Tugaskulah membuat manusia terhindar dari iblis seperti kalian!”, Rokku menggumamkan sesuatu seperti mantra dan seketika itu cahaya mengelilinginya dan dia bertranformasi. “Darkness should be vanished! I will purify you by the justice of God!”

“Kau yang memulai”, Kaito menyentuh earringnya dan dia mengucapkan mantra. Aura merah menelannya. Gedung sekolah lama seperti terangkat ke angkasa dan berubah menjadi galaksi yang hitam pekat.

“All Darkness is just a sins!”, Rokku mengepakkan ke empat sayap sucinya. Sayapnya yang putih menyinari galaksi yang pekat. Dia mengeluarkan Rapiernya. “Sword of light”, Menggoyangkannya kebawah dan sekarang pedang itu mengeluarkan cahaya yang sangat terang.

“Will you just shut up?”, Kaito pun mengeluarkan Double Daggernya.

Rokku melesat menuju Kaito dan terjadi adu pedang. Terjadi pertarungan sengit antara mereka dan kilatan-kilatan cahaya keluar dari masing-masing senjata. Rokku mencoba menebas Kaito dengan Sword of Lightnya tapi Kaito menahan dengan Daggernya. Terdengar bunyi pedang yang bercatrukan, Dagger Kaito menebas Rapier Rokku dan dia pun terjerembab.



“Oho”, Rokku tertawa, terlihat senang karna dia menemukan lawan yang kuat. Berdiri bangun, dia mulai menguatkan cahaya di Rapiernya.



“Taste this!”, Kaito terkunci. Pedang Rokku terbagi tujuh di angkasa mengelilingi Kaito. 1..2..3..4 tebasan secepat kilat menebas Kaito dan mengenai telak di tubuhnya. Sekarang Rokku menghilang, Menahan sakit, Kaito menyapu pandangannya berkeliling, tiba-tiba Rokku muncul di belakangnya dan menebasnya. Kaito tempak kesakitan. “Did my light purify you?” melesat dengan cepat Rokku menebas Kaito untuk yang terakhir kalinya dan salib putih pun terlihat menempel pada Kaito. “Taste my Dancing of Seven Light!”. Salib yang menempel pada Kaito menebas tubuh Kaito dari berbagai sisi.



“Arrhhh!!!” serangan Rokku melukai Kaito, dia terjatuh dan batuk darah.

Rokku berdiri di depan Kaito sambil mengacungkan pedangnya di depan muka Kaito. “Give up?”



Kaito tampak terengah-engah. Dia menyapu darah dari bibirnya. Kaito mengucapkan mantra. Energi dari galaksi yang pekat tampak tersedot masuk ke dalam tubuh Kaito. Tiba-tiba tubuh Kaito mengeluarkan ledakan yang membuat Rokku jatuh terjungkal. Ada sedikit api yang membakar sayap kirinya. Kaito menghilang.

Rokku tampak kebingungan mencari di mana Kaito sekarang, berusaha bediri dan dia berusaha menghilangkan api di sayapnya. Tanpa pernah terduga dan dia tidak memperhatikannya, Kaito ada di sana, di atasnya. Kaito muncul dengan badan yang di penuhi api dan di kedua tangannya tampak gelang api hitam berpijar..



“Now, me. Prepare your death.” Selagi Rokku sibuk memadamkan api di sayapnya Kaito melesat kebawah dengan cepat bagai meteor, dan menembus Rokku. Rokku yang masih sibuk dengan api di sayapnya, tidak sempat menangkis serangan Kaito.

“Revelation of Dark Fire”, Kaito berdiri di depan Rokku setelah menembus badannya yang sekarang terbakar seperti kertas.



“ARRRRGGGGGHHHHH!!!!!”. Rokku sepenuhnya terbakar oleh api Kaito. “You completely are sins!!!” api menyala besar di badan Rokku yang sekarang terlihat seperti api unggun. Api mulai membakar seluruh bagian tubuh Rokku, kepakan sayapnya tidak bisa menahan keganasan api Kaito, justru membuatnya semakin bertambah besar.

“I swear I’ll be back!!!!” api menelan habis Rokku. Dan Rokku pun menghilang menjadi abu.





Semua kembali seperti normal. Kaito kembali mengenakan Blazer sekolah tapi tampaknya badannya penuh goresan luka karna Dancing-Rokku. Dia berusaha berdiri, terbatuk-batuk lemas, dan dia jatuh terduduk. Kaito kehilangan kesadarannya dan dia akhirnya pingsan.



“Ruang klub! Miyu-chan ayo cepat!”

Aku berlarian dibelakang Kaze. Sumpah! Aku sangat membenci olahraga!

Bel tanda masuk sekolah sudah berbunyi. Tapi aku dan Kaze tidak mempedulikan hal itu, toh bolos 1 mata pelajaran saja kami tidak akan rugi. Sekarang yang penting adalah Kaito. Aku tertinggal jauh di belakang Kaze, paru-paruku sekarang rasanya sesak.

“Kaito!!”, pintu ruang klub terbuka dan terlihat disana Kaito yang pingsan. Aku baru sampai ketika Kaze sudah berusaha memapah Kaito, mengatur kembali nafasku, aku menyeruak masuk untuk membantu Kaze.

“Dia kenapa?” Aku memapah bahu kiri Kaito berusaha menjaga keseimbangan berat badannya.

“Aku merasakan adanya Angel. Aku mendengar dari temanku bahwa ada anak baru pindahan yang keturunan Kanada. Desas-desusnya wajahnya sangat tampan seperti malaikat”, aku membatin, Daichi punya saingan. ”Aku rasa Kaito baru saja bertarung dengannya”.



Kami berdua memapah Kaito ke ruang UKS, lagi. Menidurkannya di salah satu tempat tidur disitu dan Kaze memanggil guru kesehatan.

Aku berdiri di sebelah tempat tidurnya. Aku melihat ada bekas darah di bibirnya. Aku sedikit merasa pening. Aku phobia darah.

Kuberanikan diriku maju untuk mengelap darah di bibirnya menggunkan jempolku walau aku sendiri merasa pening dan tulangku ngilu. Aku melihat ke tangannya tampak sayatan-sayatan yang disebabkan oleh benda tajam. Pedang. Pikirku.

Guru kesehatan pun datang. Dia tampak menghela napas saat melihat Kaito.



“Dia berkelahi?”



Aku tidak tau harus menjawab apa, aku mengedikkan kepalaku kepada Kaze.



“Dia.. diserang”, Kaze menjelaskan dengan tenang. Pak guru itu pun hanya menghela nafas, kemudian dia membersihkan luka-luka Kaito dengan desinfektan.

“Masa muda”, Pak guru itu membalurkan perban di tangan Kaito, “Seharusnya kalian menikmati waktu kalian dengan membuat memori kebahagiaan, bukan dengan kekerasan”.

Aku menunduk mendengar pak guru itu berkhotbah. Tunggu. Kenapa jadi kami yang dimarahi?.



Pak guru itu selesai dengan semua pekerjaan membalur dan melingkarkan perbannya. Aku dan Kaze diminta olehnya untuk tetap menemani Kaito sampai dia tersadar.



“Nikmatilah masa mudamu selagi kau bisa. Buat banyak kenangan indah supaya ada hal yang bisa kau kenang di masa depan nanti. Karna masa depan tidak akan terjadi tanpa adanya masa lalu.” Pak guru yang tampak bersemangat itu pun melenggang keluar. Dia tampak menyeringai. Aku dan Kaze saling berpandangan, keheranan.









“Thou really are a fool, thou shall be punished..”

“I’m sorry.. my Lord”



Rokku menunduk kepada seseorang dengan cahaya yang pekat. Terlihat sangat besar.



“Those who lose to the sins will lost his keen..”



Suara yang menggelegar tampak menaungi Rokku. Rokku pasrah untuk diberikan hukuman. Dia pun berdiri dan hanya terdiam ketika 2 dari 4 sayapnya di musnahkan. Yang menandakan bahwa dia sekarang hanya Angel biasa.



“For Heaven’s sake”, air mata terlihat jatuh di pipi Rokku.
CHAPTER FIVE: Miyu’s Alter-ego.







Jam istirahat. Tapi hari ini aku sedang ingin menyendiri. Aku menemukan tempat yang nyaman. Halaman belakang sekolah. Jarang sekali murid Raigaku yang pernah singgah di tempat ini. kebanyakan dari mereka lebih suka berdiam di kantin atau perpustakaan, temapt yang dijadikan alasan untuk tidur di jam istirahat. Halaman ini dipenuhi rumput seperti karpet. Aku merebahkan tubuhku diatasnya. Aku mengambil roti melon yang selalu menjadi menuku saat jam makan siang, sambil mengunyahnya aku memperhatikan awan-awan yang bergerak pelan.





“Kenapa dadaku sesak tiap kali aku memikirkannya?”. Aku berbicara kepada langit.

“Itu tandanya kau menyukainya”

Seseorang menjawabku. Aku kaget. Kukira hanya aku sendiri disini. Aku tidak merasakan adanya orang lain. Kapan dia muncul?

“Maaf?”, aku mencoba mencari darimana asal suara itu.

Seorang laki-laki dengan rambut berantakan yang bersandar di balik pohon beringin yang bersebrangan namun berdekatan dari tempatku duduk itu tersenyum menatapku. “Aku bilang itu tanda kau menyukainya”

Aku kembali merebahkan tubuhku di atas rerumputan. “Benarkah?” kataku sambil kembali mengunyah roti melonku dan kembali memandangi awan.

“Apa kau tidak bisa berhenti memikirkannya? Apa kau merasa sakit ketika melihatnya? Apa kau merasa bodoh ketika memikirkannya?” katanya seperti menginterogasiku.

“Uhm..” Aku tidak tahu harus menjawab apa.

“Tidak apa-apa. Lama kelamaan kau akan menyadarinya bahwa itu perasaan yang istimewa”

Aku memejamkan mataku. Kaito muncul di benakku. Aku membuka mataku dan menatap lurus kepada awan-awan yang sekarang bentuknya sudah seperti Neptune yang membawa trisula.

“Benarkah aku menyukainya?” aku mengangkat tanganku untuk menutupi sinar matahari.”Kau tahu seperti apa itu cinta?” tanyaku pada orang itu. Tapi tidak ada jawaban. Aku menoleh kepadanya, Lho? Kemana dia? Dia menghilang! Rasanya tadi dia masih ada disini. Aku melihat ke sekeliling halaman tapi keberadaanya seperti ditelan angin. Masa sih dia hantu?!

“HEYYY!!!”

Aku mencoba memanggil dia lagi. Sunyi. Tidak ada jawaban. Aku berdiri dan menepuk-nepuk bajuku. Sedikit merinding, aku memutuskan untuk kembali ke kelas.







“Konsentrasikan pikiranmu pada gelang auramu. Pusatkan semua chakramu ke gelang tersebut dan paksa dia untuk membuka aliran watermu”. Ucap Kaze.

Hari ini aku memutuskan untuk berlatih meningkatkan levelku. Bersama Kaze di ruang gedung sekolah lama aku mengikuti setiap perintahnya. Aku memejamkan mataku dan mengatur pikiranku. Berusaha untuk mengosongkan pikiranku dan memusatkannya pada gelangku. Konsentrasi Miyu! Aku berusaha menyemangati diriku sendiri.

Aku merasakan aliran sejuk di sekeliling badanku. Aku tau chakraku sedang terbuka. Aku berusaha mengalirkannya pada gelangku.



Tiba-tiba.



“Kyaaaaaaaaaaaa!!!!!”

Sesuatu yang aneh terjadi padaku. Badanku dipenuhi cahaya sampai penglihatanku kabur. Badanku seperti dicabik-cabik. Aku tenggelam di cahaya putih yang menyilaukan itu.



“Miyu.”

Aku mengedipkan mataku, berusaha menajamkan penglihatanku pada suatu bentuk di depanku. Seorang gadis. Sebentar. Dia mirip denganku, ah tidak dia lebih cantik. Lalu aku sadar bahwa aku berdiri di tengah rawa. Air menggenangi sampai pinggangku. Ini sedikit menakutkanku, ada apa ini?

“Siapa.. kau?” tanyaku pada gadis berambut biru itu.

“Aku adalah bagian darimu, perwujudan gelangmu, aku adalah air, the queen of Aqua”. Katanya lalu tersenyum padaku.

“Ratu air?”

“Bisa dibilang seperti itu”. Dia menggerakan tangannya dan air mengalir dari jarinya dan mengelilingi badannya seperti lingkaran suci.

“Dimana ini?”

“Ini adalah dimensi lain, dimensi arwah”. Katanya.

“Dimensi arwah? Aku sudah mati?”

Dia tertawa mendengarku berbicara seperti itu. “Tidak anak bodoh, kau hanya mengunjungi dimensi kami”

Aku gugup. Dimensi arwah? Bukankah itu tempatnya orang-orang yang sudah mati? Aku melihat sekelilingku dan melihat kakiku. Sadar bahwa rawa ini seperti tak berujung, tapi entah mengapa aku masih terapung. Padahal aku tidak bisa berenang dan tidak tau caranya mengapungkan diri.

“Baiklah Miyu, dengarkan. Aku adalah bagian dari dirimu. Aku adalah kekuatanmu. Aku adalah pembuka kunci aliran chakramu. Jadi kita harus berteman supaya kau bisa mengeluarkan energimu”.

“Syaratnya?”, ucapku cemas.

“Apa kau selalu mengajukan syarat kalau ingin berteman dengan seseorang?”. Katanya sambil tersenyum.

Sekarang pusaran air mengelilingi tubuhku. Aku seperti berada di tengah topan air. Aku merasa melebur menjadi satu dengan air tersebut. Air ini aneh, terlihat lebih pekat dari air biasa. Dan mereka menelanku. Aneh. Di setiap latihan menahan nafas di dalam air aku hanya kuat bertahan selama 5 detik. Tapi, disini aku bisa bernafas. Di dalam air.

Lalu aku melihat sesuatu muncul, sesuatu yang seperti naga. Begitu besar dan bersisik dan kedua sayapnya berduri. Energiku seperti tersedot olehnya. Pusaran air yang mengelilingiku pun menghilang. Tersedot ke dalam rawa.

Tiba-tiba aku kembali ke ruang klub. Kaze di depanku.

“Maaf, tadi itu salahku, aku seharusnya menahan Leviathan juga mengunjungi itu di dalam dirimu.” Kaze menangkupkan kedua tangannya padaku.

“Leviathan?” engahku.

“Dewa air.” Katanya, “Dia adalah kekuatan spiritualmu, tapi dia tidak sama seperti gadis yang hadir di alam peralihanmu itu tadi. Dia memang ada di dalam dirimu tetapi Leviathan.. dia punya pemikiran sendiri. Namun disaat kau membutuhkan bantuannya kau bisa mensummonnya”

“Gadis itu, rawa itu, sebenarnya apa yang terjadi”.

“Seperti yang sudah dikatakan olehnya. Dia adalah bagian dari dirimu sekarang. Dia yang akan membantumu mengeluarkan kekuatanmu.” Lanjutnya, “Namanya Eirin”







Hari sudah gelap ketika aku memutuskan untuk pulang dan sekolah sudah sangat kosong. Aku melangkah menuju gedung Raigaku modern, berjalan memutari gedung olahraga yang lebih terang. Sekolah di malam hari sungguh menakutkan!

“BERIKAN UANGMU!”

Aku tersentak. Di depanku ada orang yang sedang dipalak oleh kakak kelas. Lagi, sepertinya aku mengenalnya.

“Belagak sekali memasukan tangan di kantung, cepat bagi kami uang!”

Kaito diam. Tidak melakukan apapun. Aku teringat sesuatu. Aku mengambil minuman soda di tasku yang siang tadi kubeli di kantin. Kukocok kaleng itu dan mendekati mereka.

“Hey! Kau tuli ya?” Salah seorang dari mereka yang terlihat memakai tindikan di bibirnya mulai mendekati Kaito.

“Tunggu! Ada seseorang”. Sepertinya ketua genk mereka melihatku.

Aku mendekati mereka dengan penuh keyakinan.

“Hmph, kakak-kakak yang baik aku punya hadiah untuk kalian”, ucapku sambil mendekati mereka.

“Apa?!”,

Kubuka tutup kaleng minuman soda itu tepat di depan muka kakak-kakak kelas yang besar itu. Isi kaleng soda muncrat mengenai mata mereka semua.

“ARGH!! MATAKU!!”

“Sial, awas kalian!” si ketua genk yang rambutnya setengah botak itu melarikan diri sambil mengucek-ucek matanya, diikuti 2 orang lainnya.

“Dasar, kelas 3 belajarlah yang benar seperti murid kelas 3”, kataku sambil meminum soda yang tersisa, dan kembali menoleh ke Kaito.

“Kenapa sih kau selalu berkelahi? Memangnya kau akan mati kalau tidak berkelahi ya?”

Kaito menunduk. Entah apa yang ada di pikirannya.

Aku melihat aliran merah di sekelilingnya. Aura seperti api yang mengelilinginya. Apa ini?

“Kaito? Kau tidak apa-apa?”, tanyaku cemas. Aku melihat matanya mulai berubah menjadi merah. Kaito seketika berdiri dan berlari, menghilang di tengah kegelapan. Aku seperti mendengar kepakan sayap dan ada seekor burung gagak terbang di atasku. Bulu kudukku berdiri. Keheranan, Aku buru-buru beranjak dari tempatku dan berlari pulang.





“Aku pulang, bu”. Sahutku sambil melepas sepatuku.

“Selamat datang”. Ibuku menjawab tapi aku merasakan hal yang aneh dari nada suaranya.

Aku mendekatinya. Dia menunduk lesu seperti baru saja terkena serangan listrik.

“Bu? Ibu kenapa?”, aku memegang pundaknya. Kuangkat wajahnya supaya aku bisa melihat wajahnya dan, dia seperti baru saja menangis.

“Orang itu, dia bilang dia akan menikah bulan ini”.

Aku mengepalkan tanganku. Orang itu. Orang yang seharusnya aku panggil ayah. Aku yang memberinya nomor telepon rumah kami berharap dia akan kembali seperti dulu. Kalau saja bukan ibuku yang menyuruhku, aku tidak akan sudi untuk berhubungan lagi dengan dia, karna tahu akan menyakitkan. Dan itu terbukti.

“Sudahlah, dia itu tidak penting bu. Tidak usah dipikirkan dan tidak usah datang!”

Ibuku melangkah menuju kamarnya dan aku mendengar isakannya. Kenapa sih, dia suka sekali menyiksa kami?





Aku tidak bisa tidur. Orang itu membuatku muak. Aku menatap gelang waterku. Memejamkan mata di tempat tidurku. Aku berkonsentrasi memusatkan energiku di gelang tersebut. Eirin, apa kau dengar? Apa kau bersamaku?



Suasana menjadi gelap. Tubuhku terasa melayang. Aku membuka mataku, sekarang aku berdiri di pertengahan danau. Ya danau, penuh air dan terlihat pekat.

“Eirin?”, aku mencoba memanggilnya.

Tidak ada jawaban.

Aku mencelupkan tanganku ke dalam air danau dan memusatkan pikiranku pada air tersebut. “Eirin, kau dengar aku?”

“Ya”, dia berdiri di hadapanku sekarang.

“Jadi kau benar-benar hidup di dalam diriku?”

“Miyu, tentu saja. Dan biarkan aku menjelaskan ini, aku lahir dari rasa kebencianmu. Aku terus menguat ketika perasaan bencimu semakin pekat. Aku selalu menunggu sampai akhirnya kau menyadari keberadaanku. Aku sungguh sangat berharap bisa membantumu membunuh kebencianmu itu.”

“Kebencianku?”, aku berpikir. Apa hal yang paling kubenci.. yang begitu kuat selain.. orang itu?

“Jika kau mau aku bisa membantumu memusnahkannya, lewat air”, Eirin menjentikkan tangannya dan sebuah spear muncul di tangannya. “Aku bisa mensummon sesuatu, tapi sepertinya badan manusiamu tidak cukup kuat untuk menahannya.” Katanya terlihat sedih,” tapi kita masih bisa melakukan hal yang lebih ringan”

Melakukan sesuatu? Itukah yang kuinginkan? Walau aku membencinya tapi bagaimanapun juga dia masih tetap ayahku.

“Eirin terima kasih, tapi.. aku tidak ingin melakukannya.. paling tidak untuk sekarang”.







Aku melihat bekerku. 05.45 pagi. Ahh, badanku terasa sangat pegal, inikah efek aku memanggilnya? Badan manusiaku tidak cukup kuat menahannya.

Dengan memaksakan diri aku beranjak dari tempat tidurku dan melakukan aktivitas rutinku.

Aku tidak melihat ibuku hari ini. kemana dia?





“Ryuu, mana ibu?”, tanyaku pada adik semata wayangku.

“Ibu.. pergi, ketempat ayah, subuh ini”



APA? Apa ibu sudah gila? Apa yang mau dia lakukan disana?!



“Ryuu, kau pergilah sekolah aku akan menjemput ibu, okay?!” nadaku meninggi, aku tidak bisa lagi menutupi kemarahanku.

Aku menyambar tasku dan berlari keluar berlawanan dari arah menuju sekolah.

Dang! Apa yang ibu pikirkan? Apa dia bersedia terluka demi melihat ayah dan calon istrinya?. Aku berlari menuju halte bis. 07.15. aku melirik jamku, semoga aku masih bisa berpapasan dengannya.





Hal yang biasa terjadi di siang hari yang sangat tidak kusukai. Macet. Aku menggigit kuku jempolku. Lama sekali!

Aku memutuskan untuk turun dari bis dan berlari menuju rumah mantan ayahku. Aku berlari dan berlari. Aku tidak pernah menyukai olahraga! Napasku seperti ingin habis. Aku tidak peduli aku terus berlari.

Melewati beberapa blok, sekarang aku melihatnya, ibu. Aku berlari ke arahnya dan menarik tangannya.



“Ibu!”, aku terengah-engah mencoba menangkap kembali nafasku.



”Ibu sudah gila? Ibu mau mati? Untuk apa ibu menemuinya? Untuk apa? Untuk kembali terluka? Untuk apa, bu? UNTUK APA MELIHAT ORANG YANG SUDAH MENYAKITI KITA!!”

Plak. Tamparan keras mendarat di pipiku.

Ibu menatapku dengan bibir gemetar. Aku meraba pipiku.

“Ibu..”

Air mata ibuku menetes di pipinya. Aku bisa melihat matanya, mata yang menahan sakit selama beberapa tahun. Rasanya sangat menyakitkan. Kesedihan yang dalam.

“Ibu hanya ingin memastikannya. Ibu ingin memastikan dengan mata ibu sendiri. Memastikan bahwa dia lebih baik dari ibu.” Suara ibu gemetar diselingi isak tangisnya yang tertahan.

Aku memeluknya. Tangisan ibu tumpah di bahuku. Aku mengelus punggungnya. Aku menggigit bibirku, berusaha untuk tegar. Ibu..



Gerimis mulai turun membasahi kami. Aku berjalan di depan ibuku. hanya memastikannya saja. Aku mendengar ada suara mobil mendekati kami. Kutarik tangan ibuku dan bersembunyi di balik tembok. Mobil Rolls Royce itu pun melewati kami. Aku mencoba mengintipnya, setelah memastikannya aman. Aku mengajak ibuku keluar dan mencoba mendekat.



Mobil itu berhenti. Seorang lelaki bertubuh tegap, memakai jas hitam keluar dari mobil. Melangkah menuju pintu kap-mobil yang lain dan membukakan pintu untuk seorang yang lain. Seorang wanita. Wanita yang berambut panjang mengenakan cardigan berwarna ungu. Dia terlihat muda. Wanita itu memeluk dan mencium ayahku mesra. Aku melihat ibu, dia membeku. Aku menarik tangannya.

“Sudah cukup”.

Aku mengajaknya pergi dari sana. Hujan mulai deras. Aku menutupi kepala ibuku dengan jaketku. Kami tidak bawa payung. Bagus sekali, ramalan cuaca menipu.



“Ibu, sekarang ibu puas?”

Ibu tidak menjawabku. Aku melihat wajahnya. Pucat sekali!

Perlahan-lahan aku merasa tangan ibu mengendur di tanganku. Dan dia pingsan. Oh, god.

Aku panik. Dengan susah payah aku memapah ibuku. Sekarang aku yang pucat.

“Bu! Ibu! Bangun!”

Aku semakin panik. Aku terus berjalan, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan selain berjalan. Aku lega sekali ketika melihat disana ada rumah sakit.







“Iya, aku tidak apa-apa, Ryuu. bisakah kau mengantarkan baju ganti untukku?, baiklah sudah ya”. Aku menutup handphone-ku.

Aku berdiri di depan ruang ICU sekarang, berharap bahwa ibuku akan baik-baik saja.

Aku mengetik pesan yang kutujukan untuk Hana dan Sakura.



Maaf hari ini aku tidak bisa masuk. Ibuku sedang sakit. –Miyu



Send. Aku menarik nafas. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku basah kuyup dan kedinginan.



“Miyu?”

Aku mendongakkan kepalaku, ”Daichi?”

“Kenapa kau disini? Kenapa kau basah kuyup?”, dia melepaskan blazernya dan menaruhnya di badanku.

“Ibuku sakit, kenapa kau disini?” tanyaku balik.

“ah aku hanya check-up rutin. Punggungku selalu sakit”

Aku sedang tidak ingin melakukan apapun kali ini. aku hanya diam saja ketika dia mengelap wajahku dengan sapu tangannya. Aku harus kuat.

“Sepertinya lebih baik kau mengganti bajumu. Kau bisa terkena flu. Jangan sampai malah kau yang harus dirawat disini.”

“Aku menunggu adikku, dia akan mengantarkan baju untukku”.



“Kalau begitu aku akan menunggu disini bersamamu”.

Aku terkekeh, “Kau ini terlalu baik hati. Aku tidak mau kalau kau menawariku formulir untuk menjadi fans mu”

Wajah Daichi memerah,”Aku tidak pernah menyuruh mereka membentuk klub untuk mengidolakanku”

Aku terkekeh. Ryuu datang dengan sweater abu-abunya dan membawa tas punggung yang dipenuhi stiker tokoh kesayangannya, seorang anak kecil berambut kuning yang di sebut sebagai ninja.

“Baiklah aku permisi dulu” aku meminta izin pada Daichi untuk mengganti bajuku di kamar mandi.









Di sudut kelas yang tak jauh dari kelas Miyu dan Kaito namun tak juga terlalu dekat dengan kelas Kaze terdengar keributan. Entah apa yang terjadi di kelas tersebut tetapi suara para wanita berhasil memekakkan telinga.



“Jadi anak-anak perkenalkan murid baru kita namanya Rokku.”

Pemuda tinggi itu terlihat berkilau. Para gadis melotot, melihat wajah tampannya. Senyumnya menyapu seisi kelas bagai menghipnotis para wanita. Rambutnya blonde berkilau dan matanya biru. Seperti Angel.

“Saya adalah keturunan Kanada, and now my daddy have some business here, jadi mohon bantuannya.” Ucapnya dengan logat Indonesia yang diacak-acak.

Para gadis terkikik mendengar nada bicaranya yang masih kental terukir khas Canada. Dan anehnya, dia menyeringai, terlihat puas.





TBC
Chapter Four: He’s Returned!



Hah. Bagus benar. Kehidupanku di sekolah ini yang kukira akan berjalan normal ternyata jauh dari kesan seperti itu. Aku malu sekali. Aku paling tidak suka untuk tampil di depan umum. Aku tidak suka tatapan orang-orang yang menatapku tajam.



“Miyu! Miyu! Kami ukur dulu ya!” kata anak-anak bagian kostum memulai pengerjaan membuat kostumku untuk pentas. Aku pun pasrah untuk diambil ukuran tubuhku.

Aku melirik ke Kaito. Padahal dia bilang malas tapi toh, dia menghapalkan dialog dengan sungguh-sungguh. Cih. Aku tidak bisa menghindar lagi.

“Miyu! Kemari! Kemari!” ucap Sakura memanggilku. Nampaknya dia akan berperan sebagai kurcaci.

“Ada apa?”

“Ini naskahmu”, katanya,”aku tidak menduga ternyata Kaito mengerjakannya dengan sungguh-sungguh, ini bisa jadi kesempatanmu kan?”, katanya sambil berkedip kepadaku.

“Hah?”

“Miyu, sebentar aku ukur lenganmu”, ucap Hana. Dia membantu di bagian kostum. Hana mengukur panjang lenganku. Memang sih, pikirku. Kaito tampak mengerjakannya dengan sungguh-sungguh, Kaito yang suka tidur itu. Hebat. Aku tidak pernah bisa menebak bagaimana jalan pikirannya.



“Miyu, apa kau sudah baca naskahnya?” tanya Hana.

“Eh? Belum sih, memang kenapa?”.

“Coba kau baca bagian akhirnya.”

Aku membuka beberapa lembar naskah untuk peranku. “Dan pangeran pun mencium Snow white untuk mematahkan kutukan sihir sang ratu.” Ucapku. Tunggu. APA?!

“Jadi, Miyu, kau sudah siap?” tanya Hana sambil terkekeh.

Tunggu. Ini bercanda kan? Ini kan pentas seni sekolah, masa sih ada adegan berciuman?

“Hana, ini tidak mungkin terjadi kan? Ini kan pentas sekolah semua guru akan melihat. Pasti akan dihilangkan kan?”

“Yah, aku tidak tahu pasti yang menulis cerita naskahnya kan bukan aku. Coba kau tanya sutradara”.

Mataku menyapu aula sekolah mencari sang ketua kelas, dia bertugas sebagai sang sutradara. Lalu aku menghampirinya.

“Ketua, ada yang ingin aku tanyakan”. Ucapku.

“Ya, silahkan saja, Miyu”

“Ini, aku membaca di bagian akhir naskah, ada adegan berciuman, apakah.. apakah itu harus aku lakukan?” tanyaku berharap agar adegan itu dihapus saja.

“Hmm.. bagaimana ya, ini pentas sekolah tapi kami sudah terlanjur menulis naskah seperti itu.”

Tolonglah kau kan sutradara, batinku geram.



“Cermin oh cermin, beritahu aku siapakah yang paling cantik di dunia ini?”, rupanya anak yang memerankan sang Ratu sedang latihan drama.

“Tambang-tambang kita harus pergi menambang”. Aku melihat Sakura yang juga sedang berlatih menghafal naskah.

Ah. Apa aku terlalu egois kalau aku seenaknya meminta sutradara mengganti naskahku? Bagaimana nasib yang lain? Mereka sudah bersusah payah tidak pedulu apapun peran mereka, tapi aku?



“Miyu, nanti aku akan berdiskusi dengan sang penulis naskah, kau mau ikut?”, tanya sutradara.

“Uhm.. maaf aku berubah pikiran. Sebaiknya biarkan saja naskahnya seperti itu”. Senyumku. Lalu aku melenggang pergi.





Fwah. Rasanya badanku pegal semua. Tulang-tulangku serasa ingin copot dari sendinya.

“Bolehkah aku tinggal disini?”, aku berlatih menghafal naskah. Haaaah, semoga saja semuanya bisa berjalan lancar nanti.

Drama, pikirku sambil memperhatikan atap. Aku belum pernah seaklipun menjadi peran utama, apalagi tampil di depan panggung ditonton oleh satu sekolah, ah tidak, banyak orang akan muncul di festival ini. Argh, aku malu sekali. Merinding membayangkan hal itu.



My heart cursed at me, because I can’t even say I love you



Handphone ku berdering. Ada pesan masuk.



Miyu-chan, kau sudah mendapatkan gelangnya? Kalau sudah besok kutunggu di kantin. –Kaze



Ya Tuhan. Aku hampir lupa, aku menyambar tasku dan mengaduk-aduk isinya yang sudah seperti tong sampah. Itu dia. Syukurlah gelangnya tidak hilang. Sifat pelupaku ini benar-benar harus dihilangkan. Kupakai gelang itu di tangan kananku. Ada ukiran di gelang itu. Aqua. Kalau tidak salah itu adalah bahasa Latin dari air? Batinku. Kira-kira gelang ini untuk apa ya? Sambil memikirkannya aku pun tertidur.



“Aku menyukaimu”

“Maaf aku… tidak bisa”

“….”

“Kalau begitu jangan salahkan aku kalau aku sudah tidak ada lagi di dunia ini.”



Tiba-tiba kabut muncul dalam mimpiku. Aku merasakan tubuhku seperti membeku. Dingin sekali sampai aku tidak bisa bergerak. Seseorang muncul di mimpiku.



“Miyu.. aku rindu sekali padamu”

“Yoshiki.. bagaimana bisa.. kau kan sudah lama.. mati.”

“Ya, aku sudah mati. Tapi aku tetap ingin bersamamu ,Miyu. Aku mencintaimu. Kemarilah bersamaku.”

“Tidak, aku tidak mau”

“Ayolah Miyu, kau tega membiarkanku kedinginan disini?”

“Tidak. Ini hanya ilusi.”

TIDAAAAAAAAAAAAAAAAAAKKKKKK

Aku tersentak bangun. Mimpi. Syukurlah, tapi terasa begitu nyata. Kakiku masih terasa membeku. Dingin sekali. Ada apa ini? Kenapa bisa Yoshiki hadir di mimpiku? Aku sudah berusaha menguburnya dalam-dalam 2 tahun terakhir ini, tapi kenapa?















Aku terus memikirkannya beberapa hari ini. Kakiku juga terus-terusan terasa dingin. Padahal orang-orang di sekitarku merasa kepanasan karena Matahari begitu terik tapi aku malah kedinginan. Kenapa Yoshiki mengajakku bersamanya? kenapa dia masih bisa mengontakku? Dia sudah lama mati dan aku sudah berhenti memikirkannya, tapi kenapa?

Aku mengacak-acak rambutku karena kesal.



“Ada apa?”.

Aku kaget sampai terjatuh dari kursiku. Kelas ini kan harusnya kosong. Sekarang pelajaran olahraga tapi badanku sangat lemas dan aku merasa kedinginan. Maka aku izin untuk tetap tinggal di kelas. Aku mendongakkan kepalaku untuk melihat siapa yang barusan bertanya kepadaku.

“Kaito? Kau tidak ikut pelajaran olahraga?”,

“Aku sudah selesai. Hanya mengambil nilai sprint.”

Ohh. Pasti dia pemegang rekor tercepat, pikirku.



“Miyu.. kau..” Kaito memperhatikanku.

Entah kenapa tapi aku merasa ada yang aneh.

“Pegang tanganku”, ucapnya setelah menatapku tajam.

“Eh?”

“Cepat!”

Aku memegang tangan Kaito, dan dia mengucapkan kalimat-kalimat aneh seperti mantra yang tidak kumengerti. Seperti Kaze.

Dan tubuhku pun mulai menghangat. Hawa dingin yang menyerangku tadi terasa memudar. Lagi, Kaito mengucapkan hal yang tidak kumengerti, dia tampak berkonsentrasi. Badanku seperti terbakar. Dan sepertinya dia selesai dengan semua itu. Dia melepaskan tanganku. Aku kehabisan nafas. Entah kenapa terjadi seperti ini.



“Dark Ice menginginkanmu”, katanya, “Apa kau merasa kedinginan akhir-akhir ini?”.

“Iya”, ucapku.

“Begitu. Kau harus hati-hati. Cobalah merendam kakimu di air hangat kalau kau merasa kedinginan lagi.”

Aku merasakan kehangatan yang lain di sekitar wajahku. Berbeda dengan saat Kaito mengucapkan mantra. Perasaan yang hangat.









“Dark ice?”

“Ya, begitu kata Kaito”

Kaze mengulum sedotannya. Sepertinya dia berpikir sesuatu.

“Apa ada seseorang yang kau kenal di masa lalu yang adalah dark ice?”, tanya Kaze.

”Aku tidak tahu”.

“Kau bawa gelangnya? Ah aku lihat kau sudah memakainya”

“Gelang ini, untuk apa?”, tanyaku

“Itu kunci untuk membuka aliran watermu”, katanya sambil menggigit-gigit sedotannya lagi. “Kau pernah melihat punya Kaito? Dia memakai earring untuk membuka fire nya. Yang seperti tindikan di telinga kirinya. Sedangkan aku,” dia mengeluarkan benda yang seperti kalung dari dalam blazernya,”dan Daichi, dia menggunakan cincin”.

“Kau harus lebih banyak bermeditasi untuk membuka kuncinya. Pusatkan pikiranmu pada gelang itu, maka dia akan membuka chakra yang ada di dalam tubuhmu, lalu kau bisa mengalirkan energi water”.

“I see, baiklah akan kucoba nanti! Aja aja hwaiting!!”, kataku menyemangati diri sendiri. Kaze tertawa,”Dasar aneh”.







Hari pertunjukkan, orang-orang makin sibuk menyiapkan perlengkapan untuk pentas hari ini. Aku duduk di kursiku. Aku mulai merasa kedinginan lagi, kali ini lebih dingin dari sebelumnya.mukaku pucat dan badanku lemas. Rasanya aku mau pingsan.



“Miyu”, seseorang menghampiriku. “Maaf tapi untuk sementara jangan jauh-jauh dariku”. Ucap Kaito.

Badanku pun membeku. Aku sudah tidak tahan lagi. Aku mulai kehilangan kesadaranku.

“Miyu, bertahanlah! Pegang tanganku!”, samar-samar kudengar suaranya. Dia menarik tanganku. Badanku mulai menghangat lagi.

”Shit! Dia menantangku!”, entah kenapa Kaito marah.

“Kaito..” , aku mencoba bertahan tapi entah kenapa untuk tetap sadar rasanya sulit sekali.

“Khh!”, Kaito mencoba bertahan.

Aku merasakan aliran panas dan dingin di badanku. Bagian atas tubuhku terasa sangat panas tetapi kakiku membeku. Aku sudah tidak sanggup untuk bertahan. Aku hilang kesadaran.

“Miyu!!”, aku mendengar suara Hana berteriak, dan suara orang-orang yang mulai ribut.







“Miyu, ayo tinggalah bersamaku, disini kita akan bisa tetap bersama selamanya”

“Yoshiki, kumohon hentikan. Kau hanya masa laluku dan akan tetap seperti itu. Perasaanku padamu sudah hilang!”



Kabut mulai menyelimuti badanku.Masih setengah sadar, Aku membuka mulutku tapi rasanya suaraku tertahan di tenggorokan ku

“Ini hanya mimpi”, ucapku panik, “hanya mimpi.. bangun Miyu! Bangun!”

“Kau sudah terkunci disini bersamaku Miyu, kau tidak akan bisa kembali ke alam nyata”

“Tidak! Tolong! Tolong!! KAITO!!!



Entah darimana dia muncul di mimpiku. Mengenakan jubah berwarna merah, tetapi dia tetap misterius seperti di kehidupan nyata.

“KAU!!!”, Kaito tampak marah dan menyerang Yoshiki. Dia membakarnya.

“Kau tidak bisa mengalahkanku! Dia milikku jangan ganggu!”, Yoshiki mencoba memadamkan api Kaito dengan ice-nya. Kaito mulai terdesak. Dia mundur dan melesat menghampiriku. Lalu dia menarik tubuhku, atau jiwaku lebih tepatnya. Dan kami pun menghilang ditengah kemarahan Yoshiki.



“Miyu! Miyu! Sadarlah!!”, Hana berteriak-teriak di sampingku.

“Ukhh…”, perlahan-lahan kubuka mataku. Langit rasanya berkunang-kunang. Aku mencoba mengumpulkan kesadaranku. Aku berusaha untuk duduk dan Sakura memberiku obat penghilang demam.

“Miyu, kau tidak apa-apa? Kau sakit?”, tanya Hana. “Kalau kau sakit bilang saja. Kami akan berusaha mencari penggantimu”

“Aku tidak apa-apa Hana, jangan khawatir”, aku meminum obat yang diberikan Sakura.”Terima kasih”, ucapku pada Sakura.

“Apa yang sebenarnya terjadi? Kau terlihat berdua dengan Kaito dan kau tiba-tiba pingsan!”, Hana terlihat sangat cemas.

“Aku juga tidak tahu apa persisnya Hana, aku merasa terjebak di alam mimpi”.

“Miyu, kau sudah tidak apa-apa?”, Sutradara menanyaiku.”Waktumu sepuluh menit lagi sebelum pentas”.

“Iya aku sudah siap”.

“Miyu”, Hana menatapku dengan cemas. Aku tersenyum padanya seolah mengatakan jangan khawatir padanya.

Dan waktuku tiba. Disana ada banyak orang berkumpul. Oh tidak aku gugup!. Tenang Miyu, tenang. Aku berusaha menyemangati diriku sendiri. Aku tidak akan mengecewakan ibu yang sudah mengorbankan waktunya untuk menonton pertunjukanku. Aku tidak mau mengecewakan teman-teman yang sudah bersusah payah demi panggung ini.



Dan aku pun mulai berperan sebagai Snow White.



“Bolehkah aku tinggal disini?”, tanyaku pada kurcaci ketika adegan dimana Snow White tinggal di Kotej pada para kurcaci.

Lalu sampai pada adeganku memakan apel beracun. Aku berpura-pura pingsan dan aku bisa melihat Sakura membopongku untuk ditidurkan di peti kaca karena dia berperan sebagai kurcaci. Rasakan kau, Sakura. Batinku.





“Kasihan sekali putri yang cantik ini, seandainya saja dia bisa hidup kembali aku akan menikahinya”, Kaito bermonolog.

Aku menahan tawaku.

“Snow White. Biarkan aku menjadi penawar racunmu”.

Tunggu. Seriously. Dia benar-benar ingin melakukannya? Aku menahan keinginanku untuk membuka mataku. Aku bisa merasakan Kaito mendekatiku. Aku bisa merasakan nafasnya di wajahku. Dia benar-benar melakukannya!. Aku merasakan basah di bibirku. Kami berciuman.sontak aku membuka mataku. Aku tidak bisa menutup mataku!.

“Putri telah sadar!”, Sakura berteriak dan di ikuti oleh kurcaci-kurcaci yang lain.

Aku berdiri dan para kurcaci menari-nari di sekelilingku. Aku bisa melihat Sakura menyeringai kepadaku, aku tidak sadar Kaito masih ada di sana, memegang tanganku.

“Putri, biarkan aku menikahimu”, ucapnya sambil membungkuk dan mencium tanganku.

Jantungku berdebar kencang sekali serasa ingin keluar dan lari dari tubuhku. God! Aku lupa dialogku!

“Ba-baiklah”, wajahku sangat panas. Wajahku langsung memerah tanpa melewati berseri-seri terlebih dulu.



Lalu setting panggung berubah menjadi pernikahan Snow White dan Pangeran. Dan tirai pun menutup. Aku terpaku. Wajahku masih panas. Aku masih terpaku di panggung.

“Yuk”, Kaito menarik tanganku untuk turun dari panggung. Tolong! Jantungku terasa ingin meledak!



Aku diam. Aku tidak tahu harus berkata apa. Yang tadi itu, mimpikah? Tanpa sadar aku mengusap bibirku.

“Miyu,” tiba-tiba Kaito berbalik memandangku.

“Y-Ya?”,

“Apa kau merasa ada bagian tubuhmu yang mati rasa?”

“Uhm.. tidak juga”.

Dia melihatku tajam untuk beberapa saat. “Baguslah”. katanya, lalu pergi.

Begitu saja? Pikirku. Apa-apaan dia, jantungku sudah hampir meledak tapi dia masih bisa bersikap seakan tidak terjadi apa-apa? Kenapa dia bisa berbuat begitu padaku? Dia hanya main-mainkah tadi? Tapi itu ciuman pertamaku!



Argh. Entah kenapa aku menjadi kesal.



“Miyu, kau capek tidak?”, Hana membantuku melepas kostumku.

“Sangat”, ucapku sambil menghela nafas.

“Baiklah hari ini aku akan mentraktirmu dan juga Sakura makan enak!”,

“Benarkah? Makasih Hanaaaa”, aku memeluknya dan dia memelukku.

“Ups. Maaf aku mengganggu”, Sakura datang.

“Sakuraaaa”, aku juga memeluknya juga dan Hana mengikutiku.

“Hey lepaskan! Aku bukan Tingky Wingky”.



“Miyu, Hana, Sakura, ayo kita lakukan toss”, sang sekretaris menyuruh kami menghadiri acara penutupan pentas. Kami pun segera berlari kesana.

“Terima kasih untuk kalian semua, berkat kalian pentas kita sukses besar! Terima kasih semuanyaaaa, kampaaiii”, sang sutradara melakukan toss.

“Dan juga terima kasih untuk Miyu dan Kaito, sepertinya bakal ada pasangan baru di kelas kita nih!” ucap seorang cowok yang tadi memerankan kurcaci ungu. Dan semuanya pun tertawa. Wajahku sangat memerah, aku ingin kabur!













Sudah malam, badanku rasanya hancur. Aku terlalu takut untuk tidur. Bagaimana kalau Yoshiki datang lagi ke dalam mimpiku?

Aku melihat handphone ku tegeletak di depanku. Aku menekan tombol tanpa sadar dan menelefonnya. Lalu aku melihat monitor telponku. Kaito. Aishhh.. kenapa malah aku memanggilnya?

“Halo?”, ucap suara di sebrang sana.

Bagaimana ini, bagaimana. Oh tuhan apa boleh buat sudah terlanjur.

“Ha-halo. Kaito? Ini aku Miyu.”

“Oh. Ada apa?”

“Apa aku aman untuk tidur?” eh? Apa yang kukatakan?!

“Kau mau aku menemanimu tidur? Ha ha ha”.

Baru kali ini aku mendengar Kaito tertawa, aku tertegun.

“Aku serius, aku takut, dia tidak akan datang lagi kan?”

“Hmm. Aku tidak bisa menjamin. Tidurlah, aku akan menjagamu. Aku akan membuatkanmu perlindungan”.

“Begitu, baiklah. Terima kasih dan.. good night”. Aku merasa lebih tenang dan tertidur.













Bekerku selalu setia membangunkanku. Ahh, aku tidur lelap sekali. Sampai tidak ingat semalam mimpi apa. Aku merasa nyaman sekali. Hangat. aku bergegas mandi dan turun ke bawah untuk membantu ibuku.

“Kak Miyu, kau tidak pernah sarapan?”, tanya Ryuu, Adikku.

“Aku malas, Ryuu. Ini”. Aku menyerahkan kotak bekal makanannya.

“Bu, aku berangkat”







Hari ini hari Rabu, batinku. Hari yang selalu kusukai, entah mengapa tapi hari Rabu selalu menjadi hari yang berarti buatku. Aku mengingat-ingat kejadian kemarin. Uhh. Tanpa sadar aku megelus bibirku. Ciuman pertamaku. Jantungku berdegup kencang. Sakit. Aku mengelus dadaku. Jantungku rasanya sangat ingin berlari keluar dari tubuhku.



“Miyu”, tiba-tiba aku hampir menabrak seseorang. Untung remku pakem.

“Kaito? Ada apa?”, kenapa orang yang paling tidak ingin aku temui malah muncul di hadapanku sih?

“Jangan jauh-jauh dariku, untuk sementara ini, sampai aku punya cara untuk mengalahkan dark ice”

Aku terpaku. Yah, aku tahu aku masih lemah, aku tidak keberatan kalau dia ingin menolongku mengusir Yoshiki, aku malah senang. Tapi..

Kami berjalan bersama menuju sekolah. Dalam diam. Jantungku berpacu sangat kencang. Aku berharap Kaito tidak mendengarnya.

“Yang kemarin”, dia memulai percakapan,”Tolong jangan terlalu dipikirkan, itu hanya akting”.

Apa? Bagaimana bisa aku tidak memikirkannya? Itu ciuman pertamaku! Dan aku harus menganggapnya hanya akting? Ya, hanya akting. Aku menghela napas. Mencoba tegar. Kaito bodoh!









“Miyu, kau sudah jadian dengan dia?” tanya Sakura.

“Dia siapa maksudmu?” tanyaku sambil melahap roti melonku.

“Kaito”, Hana nyengir.

“Siapa bilang? Kami hanya berteman, seperti aku dan kalian saja”.

“Tapi aku merasa akhir-akhir ini kalian sangat dekat”. Hana menyatap sushi-nya lagi.



Ya, dia mendekatiku karna Yoshiki. Dark ice! Bukan aku. What an irony.





Aku mulai merasakannya lagi. Kakiku dingin! Oh tidak, Yoshiki. Jangan lagi!

Aku membungkuk. Mencoba menggosok lenganku. Dingin. Aku kembali ke kelas dan mengambil jaketku. Sial tidak mempan! Kaito. Dimana dia?

Kakiku membeku. Aku duduk di kursiku. Mencoba menghangatkan diriku sendiri. Aku melihat gelang waterku. Konsentrasi Miyu! Konsentrasi!

Aku menunduk sambil memeluk lenganku. Dingin sekali! Kumohon hentikan! Aku membeku!

Kesadaranku mulai menjauh lagi. Mataku mulai buram melihat ke papan tulis kelas. Tidak.. seseorang tolong aku!

“Miyu…”. Samar-samar aku mendengar suara Yoshiki memanggilku.

Kesadaranku semakin menjauh. Aku mencoba berteriak tetapi suaraku tertahan di tenggorokanku. Semua orang sedang di kantin. Aku membaringkan kepalaku di meja. Badanku semakin membeku. Aku pasrah. Ahh, mungkin sudah waktunya.. aku akan mati di dalam mimpiku sendiri.. aku mulai menutup mataku. Rasanya dingin sekali sampai aku tak tahan untuk terus membuka mataku.



Aku melihat seseorang, berlari menghampiriku. Siapa dia? Aku sudah tak sanggup lagi bertahan. Aku kehilangan kesadaranku.



“Miyu. Aku sangat mencintaimu. Kita bisa bahagia hidup bersama di dunia ini”

“Yoshiki, maaf.. aku tidak bisa. Kau hanya bagian dari masa laluku. Kembalikan aku ke dunia nyata!”

“Bagaimana kalau aku tidak mau?”

“Yoshiki, kumohon..”

Yoshiki menatap ke atas. Aku bingung apa yang sedang terjadi.

“KAU LAGI! MENGGANGGU SAJA!!!” dia berteriak, tampaknya seseorang mengganggu dia.

Aku melihat sesuatu. Cahaya. 2 orang! Yang satu menaiki naga api dan satunya membawa death scythe. Kaito dan Kaze.

Aku tidak tahu pasti, tapi lagi-lagi mereka menggumamkan hal yang tidak kumengerti.

Kaze mendekati jiwaku dan me-lock-ku pada sealnya. Tatapannya padaku seolah mengatakan “diam saja disitu”. Dan mereka pun bertarung. Yoshiki mengerahkan ice-nya, Kaito membakarnya dan Kaze membesarkan apinya dengan anginnya.

Aku tidak tahu persis apa yang terjadi selanjutnya. Aku merasa seperti di dalam kristal, aku tidak sanggup lagi membuka mataku. Aku tidak merasakan apapun. Aku rasa aku sekarat.

Selewat beberapa jam, atau menit, aku tidak tahu pasti. Tapi aku mulai bisa merasakan lagi tubuhku. Dan aku tahu pasti, Kaito dan Kaze memenangkan pertarungan itu. Yoshiki menghilang. Aku membuka mataku. Hawa dingin masih menyerangku walau kali ini terasa lebih tipis dari sebelumnya. Aku tersadar. Ruang UKS, pikirku.

Sejak kapan aku berada di sini? Aku mulai mencium bau obat-obatan. Aku benci ini. Aku berusaha untuk duduk, tanpa menyadari ada orang yang juga mendiami UKS ini, tertidur di samping tempat tidurku. Kaito. Sepertinya dia terluka? Apa karna Yoshiki?

Aku memperhatikannya. Dia sudah menyelamatkan nyawaku. Dia terluka demi aku. Aku sungguh lemah. Aku benci diriku sendiri. Seharusnya ini masalahku. Seharusnya aku tidak usah melibatkan orang lain. Apalagi sampai mempertaruhkan nyawa demi orang bodoh sepertiku? Aku menahan air mataku.



“Miyu, kau sudah sadar?”, Kaze masuk sambil membawa obat-obatan. “Hmm? Tidak usah ditahan”. Katanya setelah melihat mataku.

“Kaze.. maaf..”. Air mataku mulai mengalir.

“Maaf? Untuk apa?” katanya sambil menepuk kepalaku.

“Karena aku.. kalian terluka. Demi aku yang bodoh ini, kau.. Kaito..”, aku memandang dia yang terbaring di tempat tidurnya.

“Sudahlah, tidak apa-apa. Lagipula Kaito itu kuat, dia tidak akan mati semudah itu, jangan khawatir”, Kaze melangkah ke arah Kaito dan mengobati lukanya.

“Biar aku saja”, aku melompat dari tempat tidurku, Kaze memberiku desinfektan-nya, dan aku mengoleskannya pada luka Kaito lalu menutupnya dengan plester.

Aku menghapus air mataku. “Kaze, terima kasih sekali kalian sudah menyelamatkan nyawaku”, aku membungkuk dalam.

“Haha, tidak perlu berterima kasih padaku, sudah lah sesama teman kita harus saling membantu kan?”,

Aku beruntung sekali mempunyai teman seperti mereka. Pintu ruang UKS menjeblak terbuka. Daichi tampak kehabisan nafas.

“Kudengar Miyu dan Kaito jatuh pingsan dan kalian ada di ruang UKS, ada apa ini?”, tanya Daichi kepada Kaze. “eh.. Miyu ternyata kau sudah sadar”, katanya setelah menyadari aku berdiri di belakangnya. Aku terkikik.

“Aku sudah tidak apa-apa”.

“Kau terlambat sekali Daichi”. Kaze menjentikkan jarinya di dahi Daichi. “Tadi kami perang, seru sekali lho”.

Kaito membuka matanya, dia sudah tersadar. Dia berusaha duduk.

“Kaito.. kau tidak apa-apa?”, tanyaku sedikit cemas.

“Yeah”

“Maafkan aku.. seharusnya aku tidak membiarkanmu melawannya. Maaf… dan terimakasih”, ucapku sambil membungkukkan badan lagi.









Pagi ini aku berangkat terlalu pagi, kelas masih sangat kosong, hanya terlihat beberapa orang saja yang hilir mudik di halaman sekolah. Aku berdiri di balkon kelas, entah kemana pandanganku mengarah, yang pasti aku hanya memikirkan 1 hal. Kaito. Mengapa aku tidak bisa berhenti memikirkannya akhir-akhir ini. Kenapa dia mau menolongku? Bukankah dia membenciku? Apa yang harus kulakukan? Tapi berkat dia Yoshiki tidak pernah muncul lagi dimimpiku. Heeeh banyak sekali hal di pikiranku akhir-akhir ini.



Sighs. Apa yang harus kulakukan sekarang. Bengong memikirkan sesuatu aku tidak sadar ada orang mendekatiku.

“Miyu, bengong itu tidak baik lho”, Daichi menepuk pundakku.

“Daichi!”, ucapku kaget.”Hampir saja aku kena serangan jantung!”

“Maaf maaf”, katanya sambil terkekeh, “Kau sudah tidak apa-apa?”

“Yah, aku merasa sangat baik”

“Kau ini selalu datang pagi, ya”, ucap Daichi akhirnya berdiri di sampingku di balkon kelas.

Aku melihat ke kiri dan kanan. Aku takut fans-fans Daichi melihat. Aku bisa mati di bangku SMA.

“Yahh, aku suka udara pagi”, ucapku, “Kau juga selalu datang pagi, sibukkah menjadi ketua OSIS?”, ucapku terkikik.

“Begitulah, tapi menjadi ketua OSIS itu menyengkan loh. Kau bisa mengenal dan dikenal oleh banyak orang. Kau punya kekuasaan atas murid-murid di sekolah ini, rasanya seperti seorang raja. Kau harus coba juga tahun depan”

“Tidak terima kasih, aku tidak ingin menjadi artis”, ucapku sambil tertawa.





TBC
Chapter Three: The Passion, Hana





“Kau bilang apa, Miyu? Elemen?”, Kata Hana sambil membawa sushi yang dibelinya dari kantin sekolah.

“Ya”, ucapku sambil mengunyah roti melon.

“Tapi apa itu? Maksudmu iklan yang menampilkan cowok-cowok berperut kodok itu?”, Sakura menunjuk-nunjuk wajahku dengan garpunya, aku tertawa.

“Nah tinggalkan urusan perut kodokmu, yang kumaksudkan disini adalah unsur-unsur alam. Fire, Water, Wind, Earth, Thunder. Kelima elemen yang menjadi tonggak alam.”

“Miyu, sepertinya kau harus keluar dari klub itu. Mereka itu sekumpulan orang-orang yang sakit jiwa!” katanya sambil melahap sushi-nya.

“Sakit jiwa katamu? Jadi kau mau bilang Kaito itu sakit jiwa? Hey! Bahkan Daichi si ketua OSIS itu pun ada disana!”, ujarku mencoba menjelaskan.

Hana tersedak sushi-tuna-nya. Sakura menabok punggungnya.

“Kau bilang ap--?”, Hana membatu. Bukan karena tabokan Sakura tapi ketika melihat seseorang yang jangkung menghampiriku.



Seketika suasana kantin berubah menjadi hutan. Anak-anak perempuan mengeluarkan teriakan yang memekakkan telinga. Walau biasanya kantin selalu liar dengan orang-orang yang kelaparan tapi dengan adanya sesosok pria jangkung ini, kantin menjadi lebih ganas dari biasanya dari yang pernah kuingat.



“Miyu, bisa kita bicara sebentar?”, Daichi memberiku isyarat mengikutinya dengan tangannya.

“Err.. okay”, aku pun mengikuti dibelakangnya dengan beribu tatapan anak-anak perempuan yang tajam menusuk di sekelilingku. Aku merasakan firasat buruk dan hanya menunduk ketika mengikutinya.

Daichi membawaku ke taman belakang sekolah, aku terus menunduk mengikutinya. Menghindari tatapan anak-anak perempuan yang liar seakan mereka ingin mengulitiku.

Tiba-tiba dia berhenti dan aku menabrak punggungnya. Kenapa sih aku selalu menabrak orang ini?



“Kaze memintaku untuk memberikanmu ini”, kata Daichi sambil memberiku sesuatu.

“Gelang?”,

“Aku juga tidak tahu pasti untuk apa nanti kau tanyakan Kaze saja.” Ucapnya,”Sudah ya”

Dia tersenyum dan melesat pergi. Ketua OSIS, pasti sibuk sekali, pikirku. Belum lagi menghadapi fans-fans fanatiknya, batinku geli.



“Hana kau tidak apa-apa? Tumben kau diam hari ini biasanya selalu menggosip,” tanya Sakura sambil mengikat rambutnya menjadi kuncir kuda.

Aku juga merasakan hal yang sama, aneh. Kenapa Hana jadi diam setelah melihat Daichi? Atau mungkin kutanyakan saja?







“Jadi, kau kenapa, eh? Kau sakit?”, Sakura masih penasaran akan sikap membisu Hana.



Hari ini kami pulang bersama. Kami lebih suka pulang berjalan kaki karena kami jadi punya waktu untuk mengobrol lebih banyak dibanding saat berbisik di jam pelajaran berlangsung.

Hana berhenti. Aku dan Sakura pun terheran-heran dan segera memandangnya.

Sakura berbisik di telingaku,”dia tidak kesurupan kan?”, ujarnya khawatir.

“Miyu, Sakura.. ada yang ingin aku nyatakan”, ucpanya sambil menggosok-gosokkan tangannya.

“Apa?

“Aku… sebenarnya.. uhm..”, dia memilin-milin jarinya.

“Apa sih?”, Sakura mulai tidak sabar.

“Aku.. sudah lama… menyukainya”, wajahnya memerah dan dia menunduk malu.

“Eh, siapa maksudmu?”, tanyaku masih bingung.

“Daichi”, bisik Hana, suaranya sangat pelan sampai seperti mau hilang.



Ah! Itu dia! Itu kenapa dia membatu setelah melihat Daichi. Haha, aku mengerti sekarang.



“Serius nih?”, tanya Sakura, “kenapa tidak kau tembak saja Daichi?”

“A-aku tidak berani!”, wajah Sakura memerah seperti tomat. “Lagipula dia idola di Raigaku ini, aku tidak pantas memilikinya”.

“Hana, kalau tidak dicoba kita tidak akan tahu, kan? Mungkin saja dia punya perasaan yang sama denganmu, lebih baik kau nyatakan daripada kau menyesal nanti.” Ucapku sok bijak.

“Tapi aku.. tidak punya keberanian..”.

“Kenapa kau menyukainya?”, Sakura mulai beraksi seperti ibu yang menginterogasi anaknya. “Jangan bilang kau hanya menyukai wajahnya, kalau seperti itu kau tidak berbeda dari fans-fans fanatiknya!”.

“Tidak. Dulu dia pernah menolongku sewaktu aku ingin dihukum oleh guru fisika kita. Aku tahu itu hanya kewajibannya sebagai ketua OSIS, tetapi hatiku jadi berdebar setiap kali melihatnya setelah kejadian itu. Aku menyadarinya aku mulai menyukainya”. Dan wajahnya semakin memerah.

“Jadi begitu”. Ucap Sakura

“Tapi bagiku, cukup hanya memandangnya saja aku sudah lega, tidak apa kalau aku tidak bisa berpacaran dengannya. Walau aku menyukainya, tapi aku tidak bisa memaksanya, kan?”, Suara Hana gemetar

“Tapi apa kau tidak menyesal? Cukup dengan hanya memandangnya saja, apa kau tidak apa-apa kalau suatu saat Daichi punya pacar?”

Hana terdiam. Aku melihat tangannya agak gemetar.

“Hana”. Aku memegang pundaknya. “Aku akan membantumu”.















Setiap tahun Raigaku selalu mengadakan acara pentas seni. Hal ini dimaksudkan untuk membangkitkan kreatifitas warga Raigaku. Acara ini juga dihadiri oleh murid-murid sekolah lain, hal ini tentu menambah semangat para makhluk Raigaku.



“Jadi tahun ini kelas kita akan mengadakan pertunjukan drama “Snow White”.” Ucap sang ketua kelas. “Ada yang ingin mencalonkan diri untuk menjadi pemeran utama? Atau punya usul? Silahkan angkat tangan.”

Tiba-tiba tangan Sakura dengan cepat meluncur ke atas.



“Saya punya usul ketua!”, sambungnya,”bagaimana kalau yang jadi pemeran Snow White-nya Miyu saja dan pangerannya Kaito!”, ucapnya sambil terkekeh.

WHAT?!

“Sakura.. kau cari mati ya?”, ucapku menghardik dari belakang.

“Baiklah siapa yang setuju?”, ucap ketua kelas. Lebih dari separuh kelas mengangkat tangan.

“Tunggu! Aku tidak mau jadi pemeran utama!”, ucapku, lalu melirik ke Kaito. Oh tuhan kenapa di saat seperti ini dia malah tidur?!

“Terlambat Miyu, kau sudah terdaftar menjadi pemeran utama, catat itu sekretaris”.



Dasar, tidak ada yang mau repot, kesalku.

“Kaito, kaito bangun”, ucapku sambil menggoyang-goyangkan badannya.

“Hnn?”, dia bangun dan menguap. ”Da pa sih?”, sepertinya jiwanya belum sepenuhnya terkumpul.

“Lihat! Kau jadi pemeran utama pangeran!”.

“Biar saja”, ucapnya lalu kembali tertidur.

Ukh. Apa-apaan sih dia? Kenapa dia juga ikutan setuju?

“Awas kau Sakura..” ucapku sambil menggeram. Dia malah mencuatkan 2 jarinya keatas sambil menjulurkan lidah.

“Latihan dimulai besok di aula Raigaku ya”. Ucap ketua kelas.





TBC
CHAPTER TWO: Reveal the Truth, Magic



Jam bekerku berdering lagi. Ahh, rasanya hari ini aku malas sekali pergi ke sekolah. Ini tidak seperti aku yang biasanya, aku yang selalu bersemangat kalau mengingat sekolah. Kejadian kemarin membuatku merasa bersalah kepada Kaito. Dan aku malu pada Hana, karena aku pulang dengan mata sembab. Aku berlari begitu saja ketika Hana menghampiriku. Kesalahan terbesar.



“Miyu, Miyu, Kau sudah bangun kan?”, Suara Ibu memanggilku dari bawah.

“Iya, bu”, sahutku. Apa boleh buat. Mau tidak mau aku harus pergi ke sekolah. Dengan langkah gontai aku keluar dari kamarku. Berjalan menuruni tangga sampai ke dapur, dimana aku biasa membantu ibuku.



“Kau tidak apa-apa, Miyu? Matamu bengkak, Kau menangis?”, tanya ibu yang seperti sudah bisa membaca keadaanku.

“Aku tidak apa-apa, bu”. Aku berjalan menuju wastafel. Kenapa semua orang bisa tahu sih aku habis menangis? Kesalku. Aku melihat bayangan wajahku di cermin wastafel. Oh no! pantas saja semua orang bisa tahu aku menangis, mataku seperti mata ikan!

Aku membasuh wajahku beberapa kali. Meyakinkan diriku sendiri mataku sudah tidak bengkak lagi. Lalu aku mengambil tasku dan bersiap untuk berangkat.



“Aku berangkat,bu”



Jalanan di pagi hari. Sepi. Membuatku bisa berpikir lebih tenang. Aku harus pasang wajah seperti apa saat bertemu Kaito? Aku harus menjelaskan apa kepada Hana? Aku semakin berharap Kaito belum masuk hari ini. Tiba-tiba seseorang menyentuh kepalaku dari belakang.



“yo, Miyu-chan!”, sang cowok pendek itu berjalan disampingku.

”Kaze-kun!”, entah mengapa wajahku memerah.

“Kebetulan sekali ya bisa bertemu”

“Ah, ternyata kau sekolah di Raigaku juga ya”, Aku bertanya pada Kaze tidak jelas.

“Iya. Tapi kelasku berbeda dan sangat jauh dari kelas kalian. Kau baru pindah ya? Pantas aku belum pernah melihatmu”. Sambungnya, “Kalau punya teman manis begini aku jadi semangat sekolah nih!”

“Kau menggodaku?”, ucapku sambil tertawa geli.

“anyway, kau sudah memutuskan untuk masuk ke klub apa Miyu-chan?”

”Klub? Haruskah?”, tanyaku. Dari dulu aku paling malas untuk berorganisasi.

“Di Raigaku kau harus mengikuti minimal 1 klub, kan dimasukan ke nilai raport. Ah, bagaimana kalau kau masuk ke klub Magic saja? Aku ketuanya”, Kaze menunjuk dadanya.

“Magic? Klub Sulap?”

“Bukan bukan. Kami tidak membicarakan ilusi penipu itu. Kami membicarakan tentang.. yahh lebih baik kau gabung dulu baru nanti akan kuberitahu”, Kaze tersenyum licik,”Kaito juga ada lho”. Pancingnya.

“Kupikirkan dulu deh”.

“Baiklah ini formulir pendaftarannya, hanya untuk formalnya saja. Kutunggu ya!”, Kaze berlari dan meghilang di tikungan secara misterius.

“Tunggu! Kaze-kun!”.

Cih. Aku kan belum bilang aku setuju. Malas sekali rasanya harus bergabung di salah satu organisasi dan mengerjakan hal-hal yang tidak kusukai. Aku melihat formulir pendaftarannya. Hm? Hanya menuliskan nama dan kelas? Formulir apa ini.





“Miyu!!”, Hana berlari menubrukku dan memelukku. “Kau tidak apa-apa? Aku cemas sekali!”

“Kudengar katanya kau berlari sepulangnya dari rumah Kaito dengan mata sembab? Kenapa, Miyu?”, tanya Sakura



Great. Sekarang aku harus menjelaskan apa kepada mereka. Aku terdiam dan Hana masih memelukku. Aku tahu mereka cemas. Tapi aku bingung harus menjelaskannya kepada mereka bahwa aku mengusik ketenangan Kaito? Apa yang akan mereka pikirkan tentang aku setelah ini?



“Aku tidak apa-apa Hana, sungguh”. Aku melepaskan pelukannya. “Kemarin aku.. ibuku menelepon dan ada urusan penting karena itu aku berlari tanpa memberitahumu, maaf Hana.”

Dan aku melihatnya. Dibalik punggung Hana. Seseorang di sana, di sebelah kursiku. Menatap keluar jendela seperti biasanya. Kaito.

“Katanya dia sudah sembuh”, ucap Sakura seperti membaca pikiranku.



Aku terdiam. Aku harus pasang tampang seperti apa? Sedangkan aku sudah terlanjur berbohong kepada Hana. Kalau aku menghindar lagi, dia pasti tahu aku berbohong.



“Begitu ya, bagus deh”, ucapku asal saja kepada Sakura.

Sakura menatapku. “jangan-jangan kau suka padanya nih?”, ucapnya menggoda.

“Apa?! Siapa bilang!”,

“Lho kok malah marah? Kalau memang nggak ya ga usah marah kan”, katanya sambil menjentikkan jarinya di dahiku. Membuatku ingin melemparnya dengan sebuah buku. Tapi dia pasti bisa menangkapnya. Haiz.





Silent. Aku duduk di kursiku. Jantungku berdegup kencang.



“Maaf”. Kaito mengucapkan kalimat itu. Aku tidak percaya.

“Eh? Untuk apa?”

“Yang kemarin”, sekarang dia menatapku, “Aku sedang demam jadi tidak sadar apa yang telah kuperbuat. Rasanya kemarin aku telah berbuat kejam kepadamu. Kaze bilang kepadaku kau menangis”.





Kaze-kun­.. Aku bersumpah akan menyumpal mulutnya.



“Tidak apa-apa kok, memang salahku yang sudah lancang masuk ke kamarmu, aku minta maaf juga hahaha”, ucapku sambil menggaruk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal.

“Formulir itu”. Kaito melihat formulir ”Magic” di tanganku.

“Oh. Aku bertemu Kaze pagi ini dan dia menyuruhku bergabung dengan klubnya. Aku masih belum mengambil keputusan akan masuk atau tidak”.

Kaito terdiam dan menatapku tajam. God! Aku merasa paru-paruku menipis!.





Bel tanda masuk sekolah berbunyi. Kaito, seperti biasanya menoleh keluar, menonton ibu burung yang sedang memberi makan anak-anaknya.

Aku heran. Dia selalu melihat keluar. Tapi kenapa dia bisa membantuku waktu itu? Padahal dia tidak pernah memperhatikan pelajarannya. Paling tidak begitu yang kukira.







NAMA: Miyuki Sasakura

KELAS: X-2



Aku mengisi formulir yang diberikan oleh Kaze. Aku memutuskan untuk ikut bergabung, paling tidak aku ingin melihat seperti apa klubnya. Aku menunggu di Kantin, tempat semua orang berkumpul. Dan itu dia, Kaze menghampiriku.

“Jadi Miyu-chan kau memutuskan untuk bergabung?”, tanyanya sambil menggigit-gigit sedotan. Kebiasaan yang aneh yang bagaimanapun aku juga menyukainya.

“Iya, ini” kuserahkan formulirku kepada Kaze.

“Bagus. Sudah lama tidak ada sentuhan wanita di klub. Selalu cowok, membuatku bergetar saja”.

Aku tertawa mendengarnya.

“Sepulang sekolah datang ke gedung lama ya, disitulah ruang klub kami”.







“Gedung lama? Mau apa kau?”, tanya Hana.

Aku menanyakan kepada Hana dan Sakura dimana persisnya letak gedung sekolah lama.

“Aku ikut klub Magic”, kataku.

“Klub Magic? Klub apa itu aku tidak pernah dengar. Lebih baik kau ikut teater saja,” Sakura berpromosi.

“Tapi aku sudah mengajukan formulir”

“Well, gedung lama letaknya di belakang gedung ini. Dan katanya itu rumah hantu lho! Miyu kau serius mau kesana?”, Hana seperti biasa, cemas berlebihan.

“Ya, aku serius”

“Sudahlah Hana, tidak ada gunanya melarang Miyu pergi kesana, toh bagaimanapun juga dia pasti akan pergi kesana”. Sakura mengacak-acak rambutku dan kali ini aku berhasil menjitaknya.



Gedung yang sepertinya sangat tidak terawat. Wajar saja tidak ada orang yang mengunjungi gedung ini lagi karena terlihat angker. Dinding terluarnya dipenuhi sarang laba-laba. Walau begitu sebenarnya, gedung ini masih terlihat cukup baik hanya saja jika ada yang mau membersihkan. Debu-debu di lantai membuat hidungku gatal. Serius nih? Apa tidak ada ruangan lain yang cukup layak untuk dipakai?. Aku terus berjalan sampai menemukan sebuah ruangan dengan pintu berwarna hitam. Ada sebuah poster yang menempel disana.



KLUB MAGIC. DILARANG MASUK BAGI NON ANGGOTA.



Klub ini terlihat rahasia, batinku. Apa ini.. aman? Sebenarnya apa sih yang mereka pikirkan? Membentuk klub di gedung yang angker?

Aku menyentuh gagang pintunya dan membukanya sambil menahan napasku. Jantungku berdebar.

Tiba-tiba ada cahaya yang sangat menyilaukan mataku. Cahaya yang sangat terang disertai pemunculan seseorang dengan jubah hitam. Dia membawa death scythe! Oh Tuhan sedang apa dia? Apa mereka ingin mengadakan pertunjukan cosplay?

Kukucek mataku karena penglihatanku jadi sedikit buram akibat cahaya tadi. Aku melihat ke arah orang yang berjubah hitam itu. Kaze-kun! Apa? Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana? Semua pertanyaan berkecamuk di pikiranku.



“Who’s there?!”,

Tiba-tiba Kaze secepat kilat berdiri di hadapanku. Aku merasakan paru-paruku mulai menipis lagi.

“I-ini aku Miyu, kau ingat?”

Kaze terdiam. Lalu sepertinya dia menggumamkan mantra yang aku tidak mengerti. Lagi, cahaya mengelilingi tubuhnya dan dia kembali mengenakan seragam Raigaku.



“Miyu-chan”, suaranya terdengar sedikit lemah.

“Ka-Kaze-kun.. apa itu yang barusan?”.

“Itu, aku sedang bertansformasi”

“Transformasi?”, tanyaku bingung.

“Yeah, begini aku akan menjelaskannya dari awal, duduklah”.

Aku duduk di kursi yang, aku heran, terlihat bersih dibanding dinding ruangan ini.

“Listen, kau tahu kalau semua manusia mempunyai elemen?”

“Elemen? Apa maksudmu?”

“Elemen di Bumi ini ada banyak, tetapi ada 5 unsur dasar. Fire, Water, Wind, Earth, dan Thunder”.

Aku bingung.

“Dan seperti yang kau lihat tadi. Itu adalah perwujudanku sebagai Wind”.

“Jadi yang kau maksudkan, semua manusia bisa berubah seperti tadi?”, tanyaku bingung.

“Tidak. Tidak semua. Hanya orang-orang yang menyadari elemennya lah yang bisa menggunakan dan mengontrolnya menjadi kekuatan seperti aku tadi”

“Lalu sebenarnya, klub Magic ini, adalah klub Elemen?”

“Miyu-chan, sering orang menyalah artikan klub kami dengan klub sulap. Tapi Magic tidaklah hanya terpaku pada sulap saja. Magic adalah kekuatan dan keajaiban. Kami semua disini menggunakan kekuatan yang tertidur dalam diri kami, yang diketahui sebagai elemen atau unsur dan membangkitkan keajaiban di luar logika. Karena itu kami menamakan Magic”.



Aku masih sedikit bingung. Elemen? Kekuatan? Keajaiban?

Pintu klub terbuka. Daichi masuk.



“Lho? Miyu? Kau masuk klub ini?”, tanyanya

“Daichi?”, dia disini juga? Apa dia juga sama seperti Kaze?

“Nah nah Miyu-chan”, Kaze berjalan ke samping Daichi dan menepuk pundaknya,”Dia ini Earth”, Kaze tersenyum.

“Jadi, kau juga bisa bertransformasi?” tanyaku kepada Daichi.

“Belum. Levelku belum tinggi”. Dia tersenyum dan menepuk kepalaku. Ohh.

“Ada levelnya juga?”, tanyaku tidak jelas untuk siapa.

“Ya”, Kaze menjawab,”Kalau ingin berubah sepertiku tadi kau harus sudah sampai minimal level 8”.



Pintu klub terbuka lagi. Kaito. Sepertinya dia tidak melihatku ada disana.



“Dan ini dia sang hero kita, Fire!”, Kaze terkekeh menepuk pundak Kaito

Kaito mengernyitkan dahi. Lalu akhirnya dia menyadari ada aku diantara cowok-cowok ini. “Oh”, ucapnya.

Aku memandangnya dan dia menatapku. Oh Tuhan, kenapa paru-paruku begitu tipis?



“Lalu aku?”, tanyaku kepada Kaze berusaha mengalihkan pandangan.

“Water”, Kaito yang menjawab

“Bingo!”, Kaze menepuk kepalaku. “Dengan ini sudah 4 elemen berkumpul, kami masih mencari sang Thunder, Kau bisa membantu kami kalau kau mau.”

”Tapi.. aku tidak pernah tau kalau aku Water, apa aku juga punya kekuatan seperti kalian?”

“Itu bisa diatur, kau bisa berlatih bersamaku”, Daichi akhirnya berbicara.

“Jadi Miyu-chan”, Kaze terdengar riang,”Selamat datang di klub Magic”. Dia dan Daichi tersenyum.

Jadi aku boleh disini? Water. Aku jadi penasaran.

“Terima kasih”, ucapku.

“Aku menyukaimu..”
“Maaf aku... tidak bisa.”
“….”
“Kalau begitu jangan salahkan aku kalau aku sudah tidak ada lagi di dunia ini.”


Chapter one: The Loneliness, Kaito

Kriiing kriiing. Jam beker membangunkanku. Ahh, mimpi itu lagi. Kenangan di masa lalu yang membuatku tumbuh menjadi wanita yang lemah. Jam menunjukan waktu pukul 5 dini hari. Sudah kebiasaanku untuk selalu bangun di awal pagi karena kesukaanku akan udara di pagi hari. Kebiasaanku yang selalu menghirup udara pagi yang belum terpolusi oleh asap-asap kendaraan bermotor.

“Miyu? Kau sudah bangun, kan? Bisa tolong ibu?”, Ibu memanggilku disertai dengan suara ketukan.
“Baik, bu.. tunggu sebentar.” Aku pun bersiap untuk segera membantunya, sudah menjadi kewajibanku di setiap pagi untuk membantu ibuku menyiapkan sarapan untuk adikku. Kami tinggal bertiga di sebuah apartemen. Ibuku sudah lama bercerai dengan ayahku. Aku masih ingat masa-masa ketika kami semua pernah menjadi 1 keluarga, yahh tapi itu hanya menjadi masa lalu. Aku dan adikku pun memutuskan untuk tinggal bersama ibuku, karena kami tidak bisa membiarkannya. Bagaimanapun, ibuku lah yang paling merasa terluka, aku tahu itu.

“Kau tidak gugup kan, Miyu?” Tanya ibuku.
“Hmm.. tidak kok, bu”, sahutku sambil membantunya menyiapkan roti dan telur untuk bekal adikku.
“Baguslah, aku pikir kau akan gugup di hari pertama sekolah barumu”.
Aku terdiam. Wajar bagi seorang ibu mengkhawatirkan anaknya. Ya, paling tidak aku tidak bisa membohongi ibuku. Tapi aku tidak mau kelihatan lemah di mata siapapun.
“Ini, bekal Ryuu. Aku berangkat”
“Kau tidak ingin sarapan dulu?” Ibu mencemaskanku.
“Tidak, tidak usah, bu.” Sambil menalikan sepatuku, “Aku berangkat”.

Jalanan di pagi hari yang sangat kusukai. Udara terasa begitu segar. Walau sedikit kedinginan tapi aku selalu menyukai berangkat sekolah di pagi hari, lebih pagi dari siapapun. Hari ini, adalah hari pertamaku di SMU Rainen gakuen, atau mereka menyebutnya Raigaku. Sekolah yang bisa dibilang merupakan kumpulan orang-orang pintar dan juga kaya. Otak dan harta. Kuharap aku bisa memiliki keduanya.



Brukk. Tanpa sadar aku menabrak seseorang.
“Ah, maaf”, ujarku sambil membungkukkan badan.
“Kau tidak apa-apa?”, Tanya seorang pemuda dengan rambut spike-nya.
“I..iya”, Aku terpana. Pemuda itu terlihat sangat tampan dengan blazer SMU Raigaku. Untuk sesaat aku merasa terhipnotis oleh sorot matanya yang tajam.
Pemuda itu tersenyum dan pergi. Beruntungnya aku, pikirku.

“Baiklah anak-anak, tolong diam! Bapak akan memperkenalkan murid baru hari ini, jadi tolong semuanya perhatikan”, ucap seorang guru dengan kepala sedikit botak. “Silahkan masuk.”
Aku gugup. Kakiku gemetar. Aku tidak boleh lemah, pikirku. Dengan sekuat tenaga aku menyeruak masuk tapi naas aku terpeleset. Seisi kelas menertawakanku, ahh aku malu sekali, rasanya ingin membenamkan mukaku di kolam air dingin.
“Semuanya tolong diam!”, Pak guru botak itu pun menahan tawanya.
Dengan susah payah aku berdiri.
“Ha-halo. Namaku Miyuki Sasakura. Cukup panggil aku Miyu. Mulai hari ini akan belajar disini bersama kalian jadi.. mohon bantuannya”. Membungkukkan kepala untuk menyembunyikan wajahku.
“Baiklah kau boleh duduk”, ucap sang guru botak.

Aku melangkah ke kursi yang kosong. Duduk.
“Hai, aku Miyu”, ucapku pada teman sebangkuku.
Dia tidak menjawab. Sepertinya dia asik memandang keluar jendela. Entah apa yang dia pikirkan. Cowo aneh, pikirku.

“Kau ini sedikit ceroboh ya Miyu, bisa sampai terpeleset di hari pertamamu, oh iya perkenalkan namaku Hana” ucap gadis berambut coklat. Dia seperti boneka, matanya lembut berwarna coklat.
Mukaku memerah.
“Namaku Sakura”, gadis yang berkuncir kuda itu terkikik.

Kantin di sekolah ini penuh dengan manusia-manusia yang kelaparan di jam makan siang. Harga makanannya pun terlalu mahal untuk ukuran orang yang sepertiku, karena itu aku hanya sanggup membeli sebuah roti melon dan sekaleng soda. Cukup enak, pikirku.

“Apa kau kenyang hanya makan roti melon?”, tanya Hana.
“Yaah, aku tidak sanggup membeli makanan disini”, ucapku.
“Sepertinya kau harus membawa bekal lain kali,” Sakura memperlihatkan kotak makanannya,”Aku juga selalu membawa bekal karena menurutku makanan disini tidak enak”.
Aku dan Hana tertawa.
“Oh ya, Kau harus lebih berhati-hati, Miyu”,
“Eh? Kenapa?”, tanyaku pada Hana
“Kau kan duduk bersebelahan dengan Kaito. Dia itu berandalan, dia selalu berkelahi dengan murid SMU lain. Para guru sudah sering kali menghukum dia tapi kelihatannya kata menyerah tidak ada dalam kamusnya”. Ucap Hana disertai anggukan Sakura.
“Hmm”. Ucapku sambil menghabiskan roti melonku.


Kuperhatikan, Kaito sering melihat keluar jendela saat pelajaran tengah berlangsung. Entah apa yang dipikirkannya tapi aku merasa sorot matanya kosong.
“Miyu, Please answer the question”, Pelajaran bahasa Inggris, guru yang mengajar rupanya favorit di sekolah ini. Dia cantik dan masih muda.
Sial. Aku tidak memperhatikan, batinku. Aku gelagapan, oh Tuhan bagaimana ini.
Tiba-tiba Kaito menyorongkan bukunya padaku. Heran. Tapi tetap kubaca, tidak ada pilihan.
“It is almost dark but the tourist still amazed for the fogs around the mountain”
“Excellent”, ucapnya.
Phew. Aku bernapas lega. “Terima kasih”, ucapku pada Kaito.
Tapi seperti biasa, dia tak acuh padaku. sepertinya keadaan diluar lebih menarik baginya daripada pelajaran Bahasa Inggris, atau yah.. guru yang mengajarnya.


“Ah, maaf Miyu, aku tidak bisa pulang denganmu hari ini, aku piket”, kata Hana
“Aku ada kegiatan klub, maaf”, Sakura membungkukkan badannya.
“Tidak apa-apa kok, kan masih ada lain kali”, ucapku sambil tersenyum. “Sudah ya”


Ya, aku terbiasa sendirian dan bagiku itu tak masalah karna aku pun sudah nyaman dengan itu.
BRUAKKK. Aku mendengar suara orang jatuh. DUG DUAKK. Kali ini orang berkelahi.
Aku bersembunyi di balik dinding dan melihat seseorang disana, seseorang berkelahi, Kaito!
Aku harus menghentikannya, pikirku. Tapi apa yang bisa kulakukan, pikirku panik.
“Maju kalian semua”, Kaito menatap dengan tatapan yang tajam.
“Kau! Jangan berlagak! Kau pikir kau ini siapa HAH!!” Orang yang besar itu melayangkan sebuah tinju.
DUAKKK. Bibir Kaito berdarah.
“Tidak bisa berkelahi masih bisa berlagak jagoan!”, Cowok yang lebih kurus mencoba menendang.
Ditangkis. Kali ini Kaito benar-benar berkelahi.
“Khh.. awas kau! Lain kali kau akan mati!”, Kata cowok yang lebih pendek yang sepertinya ketua genk tersebut. Dan mereka lari.
Kaito terduduk, seperti menahan sakit. Aku memberanikan diri menghampirinya.
“Kau.. Kau tidak apa-apa?”, ucapku sambil melihatnya.
“Sejak kapan kau disini? Pergilah! Ini bukan urusanmu”, katanya dingin.
“Kau bisa bilang begitu tapi aku tidak bisa membiarkanmu!”, aku mengambil sapu tanganku. Mengelap darah di bibirnya.
“Sudahlah, lebih baik kau pergi”, Kaito mulai berdiri dan berjalan.
“Tunggu!”
“Kau ini mengganggu saja! Pergi sana!”
“Sudahlah, Nurut aja kenapa sih! Aku hanya ingin mengobati lukamu!”, Aku memaksanya duduk.
Kaito mengalah. Dia membiarkanku mengobati lukanya. Tatapannya tetap kosong.
“Kenapa kau berkelahi?”, sambil mengobati lukanya.
“Bukan urusanmu”.
“Baiklah baiklah, aku tidak akan bicara apapun lagi”.
Aku menaruh plester di lukanya, Kaito sedikit mengernyit, menahan sakit. Dia lumayan tampan menurutku kalau saja perilakunya juga baik, mungkin dia bisa jadi idola di Raigaku.
“Selesai”, ucapku.
Kaito berdiri, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya lalu pergi.
Huh? Tidak ada terima kasih? Pikirku.


Esoknya, Aku berangkat pagi seperti biasa. Kelas masih kosong. Aku duduk dan melihat keluar jendela. Aku penasaran dengan apa yang selalu Kaito lihat. Sangkar burung? Batinku. Di sana, ada sangkar burung yang bertengger di sebuah pohon, rupanya Kaito sering memperhatikan kehidupan keluarga sang burung. Tapi kenapa? Pikirku bertanya-tanya. Seseorang masuk ke kelas. Orang yang pernah kutabrak! Batinku.
“Hai, Kau yang waktu itu menabrakku kan?”, katanya terkekeh
“Namaku Miyu”, aku tersenyum malu.
“Aku Daichi”, katanya ramah,”Jadi disini kelasmu ya”
“Ada perlu apa?”
“Kau tahu Kaito? Kudengar kemarin dia berkelahi lagi. Aku ketua OSIS disini”.

Cocok sekali, pikirku. Dia tampan dan tinggi, pastilah semua murid perempuan di sekolah ini memberi suara untuknya. Tapi, bagaimana orang ini bisa tahu? Pikirku.

”Uhm.. itu tidak benar. Kemarin aku pulang bersamanya.” Daichi mengernyitkan dahi.
“Maksudku aku berjalan pulang dibelakangnya, hahaha”, aku berbohong.
“Ohh begitu”, katanya. Aku tidak menduga, dia percaya?
Aku tersenyum terpaksa, bermaksud mengiyakan. Daichi memperhatikanku dengan tajam. Oh Tuhan jangan sampai dia tahu aku berbohong.
“Baiklah”, katanya seakan membaca pikiranku, ”lain kali kalau ada apa-apa beritahu aku ya”, dia tersenyum.
Ohh. Pantaslah dia jadi idola di sekolah ini, seriously! Senyumannya bisa bikin perempuan meleleh.


Satu persatu murid berdatangan.
“Pagi Miyu!” ucap Hana bersemangat seperti biasanya.
“Pagi”, aku tersenyum dan menganggukan kepala. Sudah hampir masuk tapi Kaito belum juga datang. Apa dia bolos? Pikirku, atau dia berkelahi lagi? Ah tidak jangan berpikiran negatif.
“Dorr! Lagi-lagi kau bengong Miyu”, Sakura mengagetkanku.
“Duh kau ini, mengagetkan saja”
“Memang maksudku begitu”, Sakura tertawa, “Kenapa pagi-pagi kok sudah bengong? Kesambet baru tau rasa”.
Sakura selalu bisa membuatku tertawa. Sakura dan Hana duduk di depanku. Mereka menjadi temanku yang pertama di sekolah ini. Mereka lain daripada orang-orang di Raigaku yang kebanyakan diisi oleh para maniak-maniak komputer atau cewek-cewek yang gemar berdandan.
“Hm.. Kaito kok belum datang ya?”.
“Ciee ada yang kangen nih?”, Sakura menggoda, kulempar tempat pensilku tapi dia bisa menangkapnya. Sial.
“Kudengar dia demam”, kata Hana, “Rumahku hampir dekat dengan dia dan ibuku mendengar desas-desusnya dan yah aku mendengarnya”.
“Dasar, ibu dan anak sama-sama tukang gossip”, kata Sakura yang langsung dijitak oleh Hana, tapi lagi-lagi dia bisa menangkisnya. Hebat.
“Apa tidak ada yang menjenguknya?”.

Sakura dan Hana saling berpandangan.

“Well, Miyu. Kau tau kan, Kaito itu anak berandalan, menurutmu siapa yang mau menjenguknya?” Kata Sakura.
Hening.
“Kita”, Hana menunjuk dirinya dan Sakura, “selama ini duduk di depannya saja tidak pernah berani menegurnya walau kadang dia suka menegur kami untuk sekedar meminta isi pensil. Kami sekalipun belum pernah ngobrol panjang dengan dia. Jujur saja kami takut”.

Jadi begitu, pikirku. Itu kenapa dia selalu memandang keluar. Kesepian.

“Sepertinya aku akan menjenguknya”.
“Kau gila ya?”, Hana cemas.
“Cuma menjenguk kan? Apa salahnya?”.
“Hmph, baiklah Miyu, kalau itu maumu lakukan saja”. Sakura menatap sedikit cemas.




“Disini rumahku”, ucap Hana.
Rumah yang bergaya Eropa klasik terlihat sedikit mewah ditambah dengan taman dan gerbang yang tinggi.
“Disana rumah Kaito”, ujarnya menunjuk ke rumah bergaya Korea dengan pagar merah.
“Uhm.. apa tak apa-apa aku menjenguknya?”, ucapku sedikit gugup
“Loh? Tadi kau yakin sekali ingin menjenguknya, Miyu, apa kau berubah pikiran?”.
“Tidak tidak. Aku hanya.. gugup.”
“hahaha, kau ini cute deh Miyu!”. Hana mencubit pipiku. Aku menahan keinginanku untuk menjitaknya.
“Baiklah, wish me luck!”, aku berjalan ke rumah Kaito
“Kalau terjadi apa-apa, lari saja ke rumahku ya!!”, Hana berteriak.
Orang-orang memandangku. Hana.. kali ini benar-benar akan kujitak.


Rumah yang cukup luas. Pikirku.
Aku menekan tombol intercom disana.
“Permisi, selamat siang. Aku teman Kaito ingin datang menjenguk”.
Pagarnya otomatis terbuka. Dan aku masuk.

Lagi-lagi ada intercom di pintu, kali ini dengan kamera. Dasar penggila Korea.

“Selamat siang”, ucapku. Aku melihat seorang wanita muda di kamera. Ibunya? Tapi aku rasa terlalu muda. Pacarnya?

“Siang”, wanita itu tersenyum,”kau teman Kaito ya? Wah jarang sekali teman Kaito berkunjung apalagi seorang perempuan”. Katanya terkekeh. “Masuklah”.

Klek. Terdengar suara kunci pintu yang terbuka otomatis. Akupun masuk.

“wah wah kau imut sekali”, katanya.
“te-terima kasih”, wajahku memerah. Malu.
“oh ya aku ini kakak Kaito, namaku Azuki. Kau temen sekelasnya ya? Atau.. kau menyukainya ya?”, ucapnya menggodaku.

Oh Tuhan.

“Aku hanya teman sebangkunya kok, kak”. Aku berusaha menjauhkan topik itu. Kenapa sih orang-orang ini?

“Biasanya hanya Kaze yang sering kemari, aku sempat takut karena mereka berdua sangat dekat, hahaha, silahkan duduk”, katanya sambil tertawa. “kuambilkan minuman dulu ya”.

Kaito yang pendiam dan kakaknya yang sangat riang. Sempurna.

Aku memandangi foto yang terpajang di ruang tamu itu. Foto keluarga. Ayah, ibu dan 2 anak. Berdebu. Seseorang tiba-tiba keluar dari kamar di ujung dekat tangga. Seseorang berambut hitam dan sedikit pendek untuk seorang pria. Sontak aku berdiri.

Dia mengernyitkan dahinya seakan bertanya kepadaku, siapa kau?.

“Hoo.. dia yang namanya Kaze, yang kuceritakan tadi”. Azuki datang sambil membawa minuman. “Heh Kaze kau ini apa tidak ada kerjaan lain selain “berpacaran” dengan Kaito?’, Azuki terkekeh
“Enak saja kalau ngomong!” Kaze menghardik.

“Oh iya, kenalkan ini Miyu, katanya teman sebangkunya Kaito”.
“Halo”, ucapku sambil membungkukkan kepala.
“Kau manis ya, sayang sekali kalau si Kaito itu yang me--- aduh!“ Azuki menjitak Kaze.
“Eh? Apa kaubilang?”, aku mengernyitkan dahi.
“Tidak. Tidak jadi hahaha”, ucap Kaze.
“Miyu, kau kesini untuk menjenguk Kaito kan? Ini”, Azuki menyerahkan baskom berisi air dan handuk kecil kepadaku. “tolong rawat dia sementara ya, aku ada urusan hehe”, Azuki tersenyum. Licik. Batinku.
“Ah iya, aku juga mau tidur, tolong rawat dia ya aku capek”, Kaze menguap. Dan dia tertidur di sofa.

Apa-apaan ini?

Great. Meninggalkan rumah kepada orang asing. Ceroboh benar. Aku melangkah ke kamar Kaito. Kubuka pintunya dengan sangat pelan. Tertidur. Aku melihatnya. Kuambil kursi kecil dan duduk di samping tempat tidurnya. Kucelupkan handuk itu kedalam baskom yang berisi air, memerasnya, dan menaruhnya dengan hati-hati di dahi Kaito.

Ahh. Melihatnya seperti itu entah kenapa perasaanku menjadi aneh. Wajahnya terlihat seperti anak kecil. Aku menghapus keringatnya. Mencelupkan lagi handuknya dan menaruh di dahinya dengan sangat pelan. Dia sungguh tidak berdaya. Entah kenapa aku menjadi merasa.. kasihan. Kutempelkan tanganku di lehernya, panas sekali. Pikirku. Melihat wajahnya yang damai kalau saja dia bisa lebih baik. Kalau saja.
Aku mengelus kepalanya dan memperhatikan wajahnya. Tanpa sadar Kaito pun terbangun.

“Miyu?”, ucapnya lemah.
“Eh?”, aku kaget. Sontak menarik tanganku. “Ma-maaf”. Tanpa sadar aku mengucapkan itu.
“Bagaimana kau bisa ada disini?”, katanya, melihatku tajam sambil berusaha duduk.
“A-aku cemas karena kau tidak masuk sekolah, karena kupikir kau berkelahi lagi. Lalu Hana bilang kau sakit. Dan.. dan aku menjengukmu”, menggaruk kepalaku walau tidak gatal. Oh Tuhan, kenapa aku berdebar?
“Hana yang memberitahumu rumahku?”.
Aku mengangguk seperti orang bodoh.

Hening.

“Ma-maaf, karena kupikir kau pasti butuh teman jadi…”
“Keluar”, ucapnya
“Apa?”
“Kau tidak mendengarku? Aku bilang Keluar!”, ucapnya seperti memerintah.
Aku takut. Aku bergegas keluar. Kututup pintu kamarnya. Entah mengapa aku ingin menangis.

Kaze melihatku. Rupanya dia terbangun mendengar suara teriakan Kaito.

“Miyu”, dia memberiku tanda dengan tangannya supaya aku mendekat.

Aku menurutinya. Aku duduk di sampingnya.
“Kau sudah bangun? Karena suara Kaito ya?”, ucapku gemetar.
“Tidak usah ditahan”, Katanya.
“Eh?”
Kaze memandang mataku. Dia menjentikkan jarinya di dahiku.
“Kau ingin menangis kan? Menangislah”.
Kaze menatap mataku dengan tajam. Entah kenapa aku menjadi luluh. Aku tidak bisa menahannya lagi. Kututup wajahku dengan kedua tanganku dan aku menangis.

“Kaito”, dia mulai bercerita, “Dia menjadi dingin setelah berkelahi dengan orang tuanya. Dia memutuskan kabur dari rumah setelah bertengkar hebat dengan ayahnya. Azuki melihatnya dan dia memutuskan untuk kabur bersama Kaito. Walau bagaimanapun Kaito sebenarnya baik. Dia hanya menutup dirinya kepada orang-orang yang baru di kenalnya karena dia muak dengan pengkhianatan. Aku teman sejak kecilnya jadi aku tau dia.”

Kaze menepuk kepalaku dan aku terisak.

“Dia sebenarnya baik kok, Cuma dia tidak mau terlalu dekat dengan orang yang baru dikenalnya. Yahh, hatinya susah untuk dicairkan, tapi lama kelamaan aku yakin kau bisa berteman baik dengannya”. Kaze tersenyum sambil mengelus rambutku.
Aku sudah sedikit tenang.
“Dia cukup kesepian sebenarnya”, Kaze tersenyum padaku,”Dekati saja dia pelan-pelan, okay?”, dia menarik tanganku dan melakukan pinky promise.

Dan aku makin merasa aku tidak bisa membiarkannya begitu saja.

My Cursed Heart

//Tuesday, September 14, 2010
//Posted by darakyu706
Tag :