Archive for 2010
Chapter eight: Demon’s fate!
Hoamm. Aku menguap beberapa kali hari ini. Rasanya mengantuk sekali. Aku begadang semalam membuat summary untuk beberapa pelajaran karna ujian akan berlangsung seminggu lagi dan sekarang pelajaran sejarah, membuatku merasa kalau Pak guru ini sedang menceritakan dongeng sebelum tidur untukku. Aku menahan rasa kantukku dengan bersusah payah, tapi rasanya terlalu berat. Akhirnya aku pun tertidur.
“Miyu.. dia mendekat,”
“Dia? Siapa?” Eirin terlihat cemas.
“Charm”
“Apa .. maksudmu?”
“Miyu..” Eirin semakin memudar di penglihatanku tapi suaranya menggema memanggilku.
“Miyu! Miyu Sasakura! Kau pikir ini hotel?” Pak Guru sejarah menggebrak mejaku.
Aku kaget dan terjuntal kebelakang. Seisi kelas menertawakanku.
“Sana, berdiri di pintu kelas supaya tidak ngantuk lagi!”
Dengan langkah sedikit kesal aku berjalan menuju pintu kelas. Cih. Aku dihukum. Aku berdiri di pintu kelas sambil menguap. Dia pikir pelajaran hanya sejarah? Aku menendang dinding di belakangku. Moodku memang selalu jelek kalo dibangunkan secara paksa ketika sedang tertidur. Apa boleh buat, aku berdiri di dinding luar dari pintu kelas sambil menahan kantukku. Karna tidak tahan berdiri, aku memutuskan untuk pergi ke perpustakaan untuk tidur.
BRUK.
Aku menabrak seseorang dan kami sama-sama terjungkal ke belakang.
“Aduh”
Aku melihat ke orang yang kutabrak. Terkesima, dia sungguh cantik.
“Maaf, kau tidak apa-apa?” tanyaku sambil mengulurkan tanganku dan membantunya berdiri.
“Iya,” katanya sambil menyambut uluran tanganku, “Maaf aku tidak memperhatikan jalan.”
“Tidak apa-apa, ini salahku kok. Aku berjalan sambil mengantuk”
“Namaku Frau.” Dia mulai memperkenalkan diri.
“Aku Miyu.”
“Kaito, kau merasa ada yang aneh?” jam makan siang, Kaze menggigiti sedotannya lagi.
“Apa maksudmu?”
“Kenapa Rokku tiba-tiba muncul? Seperti yang kita tahu, dia kan murid pindahan, bagaimana bisa dia menyerang kita yang bahkan kita tidak kenal siapa dia?”
“Hmm..” Kaito berpikir sambil memakan bentonya.
“Sepertinya, kita sedang diincar”
“Miyu! Kami mencarimu daritadi, kau kemana saja?” Hana seperti biasa, selalu cemas berlebihan.
“Kami kira kau akan tetap berdiri di depan pintu kelas ternyata kau malah jalan-jalan, kalau tahu begitu tadi lebih baik aku juga tertidur deh” Sakura bergumam.
“Maaf, karna aku mengantuk sekali tadi, niatku ingin tidur di perpustakaan—oh, kenalkan, dia Frau”
“Salam kenal” Frau menjabat tangan Hana dan Sakura sambil tersenyum.
“Lagi-lagi gadis cantik” kata Sakura entah apa maksudnya.
“Miyu!” seseorang memanggilku dari belakang. Daichi, terlihat berjalan mendekat sambil membawa dokumen. Aku merasakan ada yang meremas tanganku, Hana.
“Ada yang ingin kubicarakan, ikuti aku” Daichi berjalan dengan cepat.
“Tunggu!” aku meninggalkan Hana dan Sakura bersama Frau. Hana, terlihat menatap punggungku ketika aku berjalan di sebelah Daichi dan Frau, tatapannya serasa menembus punggungku.
Frau memandang Hana yang masih tidak melepaskan pandangannya dari Daichi.
“Yuk, Hana. Aku ingin mengobrol denganmu.” Frau menarik tangan Hana sambil tersenyum.
“Ini, kurasa memang ada yang aneh,” Kaze memperhatikan dokumen Rokku dari samping meja bundar ruang klub.
“Kenapa datanya kosong?” Kaito ikut bingung.
“Itulah, aku juga mempertanyakannya saat aku pertama kali melihatnya.” Ucapku.
“Ini, aku berhasil menemukannya, yah lebih tepatnya.. mencurinya.”
Aku terbelalak. “Kau? Mencuri? Bukannya kau ketua OSIS?”
“Sssssttt,” muka Daichi memerah
Daichi memperlihatkan kepada kami dokumen berisi silsilah kekerabatan kepala sekolah Raigaku. Kami semua terkejut. Ada Rokku!
“Jadi dia.. masih satu kerabat?” aku masih shock.
“Itulah kenapa dia mengetahui semua tentang kita, kupikir, sebelum dia memutuskan untuk pindah ke sekolah ini dia sudah mencari tahu tentang kita, dan kurasa targetnya yang sesungguhnya bukan Kaito tapi Kaze.”
Kami semua berbalik memandang Kaze.
“Aku sudah tahu ini akan terjadi, cepat atau lambat.”
“Miyu, kurasa.. Hana berubah, dia sedikit aneh.”
“Apa maksudmu?” aku menatap Sakura.
“Entahlah, aku hanya merasa sedikit aneh.” Entah mengapa Sakura terlihat gugup.
Aku melihat bangku Hana. Sebentar lagi bel akan berdering tapi bangkunya masih kosong. Biasanya dia selalu bersama Sakura kemana pun dia pergi.
“Bukannya kau tadi bersamanya? Dia belum kembali?”
“Ya, dia bersamaku sampai Frau menarik tangannya dan aku ditinggalkan sendiri. Aku kira dia akan ke kelas duluan, tapi..” Sakura melihat bangku kosong Hana.
“Masa sih dia bolos?”
“Entahlah, Hana tidak seperti biasanya.”
Bel kelas pun berdering. Tidak ada tanda-tanda bahwa Hana akan kembali. Kaito kembali ke tempat duduknya di sebelahku. Aku masih cemas memikirkan Hana. Di mana dia?
“Your vow, m’lady” seseorang berkerudung putih transparan dan membawa spear terlihat sedang melakukan ritual pengucapan sumpah di depan seorang gadis berambut coklat.
“I take my vow to eliminate every demons in this world, and conquer the light beyond this universe. I trade my soul to perish demons and my body to purify them.”
Terlihat gadis itu telah selesai mengambil sumpah, dan sekarang dia bersujud di hadapan seseorang yang berkerudung putih itu dan membiarkannya menyentuh kepalanya dengan tombaknya. Cahaya putih pekat mengelilingi mereka dan tampak menelan sang gadis berambut coklat. Lalu perlahan, cahaya itu menghilang dan mereka telah kembali ke wujud asalnya.
“Bagus sekali, Hana.” Ucap Frau.
“Daichi..”
Tatapan mata Hana kosong. Dia seperti sudah dicuci sebagian otaknya.
Aku dan Sakura mencari Hana di sekeliling sekolah sekarang. Sekolah baru saja berakhir dan Hana masih tidak kelihatan batang hidungnya. Aku mencari di toilet wanita tapi yang kudapati hanyalah para gadis-gadis yang sedang menggosip dan berdandan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa toilet selalu dijadikan tempat pertemuan rahasia para wanita. Wangi parfum yang bermacam-macam membuatku sesak, aku segera keluar dari toilet dan mencari ke kelas-kelas di lantai 2.
Sakura terlihat sangat cemas. Dia berlari kesana kemari, menjeblak pintu-pintu kelas sehingga membuat para murid yang masih tinggal di kelas terkejut. Sakura dan Hana sudah kenal lama sekali. Mereka sudah seperti kakak dan adik, wajar kalau Sakura sangat cemas sekarang ketika Hana menghilang. Dia sudah seperti adikku, pikirnya.
Aku berlari ke atap gedung sekolah setelah mendapati hasil nihil ketika mencari di tiap-tiap kelas. Aku seperti kehilangan nafasku ketika kudapati ada seorang gadis yang tengah berdiri menatap lapangan sekolah di balik kawat. Angin yang pelan mengibaskan rambutnya yang coklat.
“Hana!” ucapku sambil terengah-engah. Kudekati sosoknya. Tapi sesuatu menahanku..
“Tunggu sebentar, nona manis” aku sadar sekarang aku sedang diikat oleh seseorang. Aku melihat ke arahnya. Seorang wanita berkerudung putih transparan.
Hana berbalik menatapku. Tatapan matanya kosong tapi aku bisa merasakan hawa bahwa dia ingin membunuhku. Apa ini..
“Tunjukkan dirimu yang sesungguhnya! Kau iblis!” Frau mengaktifkan spellnya ke arahku dan tiba-tiba saja aku bertransformasi.
“Frau? Kau..Gyaaaaaaaaaaaaa!!” aku seperti tersedot ke dalam diriku sendiri. Aku berusaha bangkit dan tersadar sekarang aku sudah bertransformasi. Bersatu dengan Eirin.
“Yeah, aku adalah Angel, aku mendekatimu untuk mencari kelemahanmu. Kau iblis wanita. Keberadaanmu hanyalah membuat manusia mempunyai perasaan yang jahat, kalian harus dimusnahkan! Perasaan negatif tidak baik untuk kelangsungan bumi! LUMINA!!”
Frau mengarahkan Spearnya kepadaku. Dan sebongkah cahaya tajam keluar dari tombaknya dan menembus ke dalam tubuhku tepat setelah dia mengucapkan spellnya. Aku merasa seperti tertelan ke dalam cahaya yang pekat dan mataku mulai berair. Tidak!
“AAAAARRRRRRRRRRRGHHH!” tubuhku terasa tersayat-sayat oleh cahaya yang pekat. Aku memusatkan pikiranku dan mencoba menolak serangan Frau. Berpikir Miyu, berpikir!
“Shield!” tanpa sadar aku mengucapkan mantra untuk memblokade serangan Frau.
“Oh, ternyata tidak selemah yang kubayangkan, LUMINA MAXIMA!”
Tidak! Aku gugup dan tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku pasrah menerima serangannya, aku menutup mataku sambil menutupi wajahku..
Tunggu. Aku tidak merasakan apapun. Bukankah tadi dia menyerangku?
Aku membuka mataku. Seseorang berada di depanku dan dia menggunakan tameng besar. Rupanya dia melindungiku dari serangan Frau. Sepertinya serangan orang ini pun tidak mempan terhadap Frau.
“Demons, kalian benar-benar licik. Hana, kau lihat sendiri bukan kalau dia licik? Enyahkan hati jahatnya dan kau bisa mendapatkan apapun yang kau inginkan!”
Aku melihat pada orang yang menolongku. Aku tidak ingat pernah melihat sosok transformasinya. Dia bukan Kaito, bukan Kaze juga Daichi..
Aku menatap ke arah Hana. Tidak. Aku tidak percaya ini. Hana seorang Angel? Sejak kapan? Kenapa aku tidak menyadarinya dan dia tidak menyadariku?
Hana maju ke arahku. Dia sudah bertransformasi, dan sekarang dia bersiap untuk menyerangku.
“Hana! Hentikan! Sadarlah! Kita berteman bukan? Aku tidak ingin melukaimu! SADARLAH HANA!”
“DIAAAAMMMM!!!!” Cahaya mengelilingi tubuh Hana, “Tugasku adalah untuk melenyapkan iblis. Iblis tidak dibutuhkan di dunia ini” Cahaya yang muncul makin besar keluar dari tubuh Hana.
“Hana sadarlah! Apa yang terjadi padamu?”
Hana tetap diam. Cahaya di sekelilingnya tampak sangat menyilaukan mataku. Aku tidak tahu kapan mulainya tapi, Hana menyayatku dengan tebasan dagger yang tidak kelihatan.
Dan aku membungkuk merintih kesakitan, sedangkan cowok yang menolongku tadi sepertinya terkena efek numb oleh Frau.
“Ha-hana..” darah mengucur dari bekas sayatan Hana. Aku memusatkan pikiranku dan menutup lukaku dengan energi yang tersisa. Meregenerasi selku.
“Hana.. kumohon sadarlah”
“Sadar? Aku selama ini sudah tertipu olehmu, Miyu. Sekarang aku sudah menyadarinya. Kau sungguh iblis wanita. Aku terluka melihatmu bersama Daichi! BIARKAN AKU MEMBERSIHKAN HATIMU!”
Hana menebasku berulang kali dengan daggernya. Aku terjerembab kesakitan, darah membasahi tubuhku. Tidak, aku tidak boleh mati, sesuatu pasti terjadi dengan Hana.
Serangannya melukaiku berulang kali. Aku hanya bisa berteriak, aku tidak bisa melukai Hana. Cowok misterius yang menolongku pun hanya bisa menatapku dengan miris, dia sangat ingin menolongku tapi dia masih dibawah pengaruh numb Frau.
“Bagus sekali Hana” Frau mengawasi kami sambil melayang dan memastikan bahwa spellnya masih bekerja pada cowok misterius itu.
Aku terbungkuk. Lemas karna luka-luka sayatan di tubuhku dan darah yang mengalir membasahi bajuku.
“Hana.. tolong hentikan.. kau telah dipengaruhi..” aku kehabisan nafas. Aku mencoba untuk meregenerasi selku berkali-kali. Aku tidak mempunyai cukup energi yang tersisa untuk menyerang balik, selain itu, aku tidak bisa menyerang Hana. Dia temanku.
Hentikan. Tolong hentikan, sakit, aku tidak kuat.
Tiba-tiba ada serangan dari belakangku. Hana membeku, dan Frau terjerembab ke belakang. Dia masih sempat memblok serangan dari belakangku. Aku menoleh ke belakangku. Kaze. Aku berusaha untuk bangkit dan berdiri, mengambil tempat di depan Kaze.
“Tidak, kau tidak boleh menyerang Hana. Dia temanku.”
Aku merentangkan tanganku di depan Hana yang membeku.
“Bodoh, dia ingin membunuhmu”
“Tapi dia temanku! Kumohon hentikan!”
Frau memperhatikan Kaze. Jadi dia orangnya, pikir Frau. Frau segera mengucapkan spell untuk membebaskan Hana dari kebekuan. Hana pingsan kehilangan kesadaran. Frau membawa Hana dan sayap putih keluar dari punggung Frau. Frau mengepakkan sayapnya sambil memapah Hana, dia terbang menuju langit dan menghilang diantara awan bersama Hana.
Aku menonaktifkan transformasiku. Rasanya semuanya berputar di mataku, badanku seperti hancur, dan aku pingsan.
“Bagaimana ini? jadi apa yang akan kita lakukan?”
“Sebaiknya kita tunggu Miyu sadar dulu.”
“Tapi dia sedang koma! Aku sudah tidak sabar untuk menghajar pelakunya.”
“Sabarlah Kaito. Di rumah sakit tidak boleh berisik.”
Daichi terduduk lemas. Kaze berusaha menenangkan Kaito. Sakura terlihat shock duduk di samping Daichi.
“Miyu koma.. Hana menghilang..” Sakura gemetar.
“Tenanglah, semuanya akan baik-baik saja.” Daichi mencoba menenangkan Sakura.
Sakura menangkupkan tangannya di mukanya, terdengar dia menahan isakan tangisnya. Daichi menepuk bahunya.
“Sepertinya kita akan berperang, jangan gegabah Kaito, kita harus menyusun strategi dulu, dan ini semua tergantung keputusan Miyu.”
“Baiklah,” Kaito terlihat tenang sekarang dan dia duduk di sisi lain Daichi.
“Dengar,” Kaze berjalan mondar-mandir di depan mereka.
“Miyu..”
“Eirin, kau terluka?”
“Tidak terlalu, aku mencemaskanmu.”
“Aku?”
“Ya, aku takut tubuh manusiamu tidak kuat menahan lukanya”
Aku baru tersadar, sekarang aku berada di ruangan putih, hanya berdua dengan Eirin.
“Dimana kita? Kenapa semuanya putih?”
“Kau koma, Miyu. Karna itu, aku akan berusaha untuk mengobatimu dari dalam.”
Eirin mengumpulkan energinya di sekitar tangannya. Memejamkan mata beberapa saat, tangannya menembus ke badanku dan telunjuknya tepat menyentuh inti jantungku.
“Aku akan mengobati coremu,”
Aku merasakan aliran panas di jantungku. Aku tahu Eirin sedang berusaha meregenerasi jantungku. Lama-kelamaan rasa sakit menjalar di jantungku. Aku meringis kesakitan sementara Eirin juga menahan kesakitan. Aku memegang tangannya.
“Sudahlah Eirin, kau juga terluka. Aku sudah tidak apa-apa kok.”
“Maafkan aku” Eirin terengah-engah.
“Sudahlah, kau adalah aku, dan aku adalah kau. Tidak perlu minta maaf. Aku mengerti kok.”
“Miyu, aku sudah tidak kuat lagi. Aku akan beristirahat sejenak. Kau kembalilah ke dunia nyata, mereka mengkhawatirkanmu.”
Eirin melebur menjadi air, dan menghilang di serap daratan.
Mereka, pikirku. aku harus kembali.
Aku membuka mataku. Putih. Aku mencium bau obat dan merasakan infus di tanganku. Rumah sakit. Aku melihat ke sekelilingku. Kaito, Kaze, Daichi, juga Sakura bergeletakan di sekeliling kasurku. Aku membuka penutup oksigenku, berusaha untuk duduk.
“Kaze..” aku mengoyang-goyangkan bahunya.
“Hmm?” dia tampak kelelahan.
“Pulanglah dan istirahat, kau tampak lelah. Aku sudah tidak apa-apa kok.”
“Iya,” dia menjawabku dengan masih terkantuk-kantuk.
Lalu dia shock melihatku sudah siuman.
“Miyu-chan!! Kau sudah bangun!”
Teriakan Kaze membuat semua orang terbangun. Sakura sampai terjatuh dari sofa saking kagetnya.
“Miyu! Syukurlah, kami cemas sekali,” Sakura meneteskan air mata dan memelukku. Ternyata dia masih wanita.
“Maaf, aku sudah membuat kalian cemas. Berapa lama aku tertidur?” Aku mengusap punggung Sakura.
“2 hari. Kau koma. Maafkan kami Miyu, Kami membiarkanmu dalam bahaya.” Ucap Kaze.
“Tidak apa-apa. Kalau aku selalu dilindungi kapan aku akan menjadi kuat?”
“Oh, Miyu” Sakura terisak.
Di sebuah istana di atas langit, dipenuhi oleh cahaya yang berkilauan, tampak para penduduk di sana mempersiapkan sesuatu.
“Kau harus menguatkan alasanmu, Hana.”
“Daichi..”
“Baiklah, kau siap?” Frau mengeluarkan Spearnya, “Cross Lumina!”
Bongkahan cahaya menyeruak ke arah Hana, dan dia tenggelam dalam sinar putih yang pekat.
Tekanan ujian makin meningkat di Raigaku. Tapi, aku tidak bisa memikirkan apapun lagi, pikiranku kacau, Hana.. aku yakin dia dipengaruhi.
Aku berjalan ke kalasku dengan malas. Bel sudah berbunyi. Aku segera duduk di kursiku dan menghela nafas. Hana..
“Hana Kohaku” Guru sedang memanggil nama kami satu-persatu untuk diabsen.
“Dia sedang sakit, Pak” Aku menjawab dengan lesu. Aku benar-benar merasa bersalah. Aku masih ingat kata-kata Hana. Aku terluka melihatmu bersama Daichi! Sekarang, apa yang harus kulakukan? Sepertinya keberadaanku hanya membuat luka untuk orang-orang di sekitarku.
Daichi menoleh ke arahku. Tapi aku membuang mukaku, aku sedang tidak ingin melihatnya, aku benar-benar bodoh. Aku kehilangan sahabatku karna kebodohanku.
“Kaito, aku mengharapkanmu untuk bagian penyerangan. Daichi, kau di bagian pertahanan, Miyu tolong kau support kami seandainya ada anggota yang terluka, kami membutuhkan bantuanmu untuk menheal kami, sedangkan aku akan mengcover semuanya. Kita laksakan misi ini setelah ujian besok.”
Kaze menjelaskan strateginya pada kami. Kami berencana untuk menarik kembali Hana setelah semuanya yang terjadi dua hari yang lalu. Aku merasakan aliran yang kuat untuk segera menjalaskan misi ini. Misi untuk menjelaskan semua kesalahpahaman yang terjadi diantara kami.
Hari ujian. Pikiranku benar-benar kosong. Aku pasrah mengerjakan soal matematika hari ini. Aku terpaku pada soal ujianku. Aku benar-benar tidak mengerti apapun. Aku mengacak-acak rambutku. Tekanan matematika dan misi untuk menyelamatkan Hana membuatku frustasi. Aku menempelkan kepalaku di meja. Mataku mulai menutup, aku tertidur.
“Perasaan negatif tidak baik untuk kelangsungan bumi!” Frau terlintas di mimpiku.
“Aku terluka melihatmu bersama Daichi!” Bergantian dengan Hana.
“Maafkan aku” aku bersujud di hadapan Hana.
“DIAAAAMMMM!!!!” Hana berteriak di mimpiku dan dia mulai menyerangku lagi. Aku ambruk kesakitan.
Bel tanda ujian telah selesai mengagetkanku. Aku terbangun dari mimpiku dan kehabisan nafas. Aku mengumpulkan kertas ujianku dan berlari ke kamar mandi untuk membasuh wajahku.
“Kalian siap?” Kaze membawa Death Scythenya.
“Ya” Aku, Kaito dan Daichi menjawab Kaze.
“Kita berangkat, hati-hatilah.”
Kami semua melesat ke angkasa, tempat dimana semua Angel berkumpul. Istana putih di atas langit. Aku membulatkan tekadku. Kalau ini takdirku, dan kalau aku mati disana, setidaknya aku mati karna menyelamatkan sahabatku.
Hoamm. Aku menguap beberapa kali hari ini. Rasanya mengantuk sekali. Aku begadang semalam membuat summary untuk beberapa pelajaran karna ujian akan berlangsung seminggu lagi dan sekarang pelajaran sejarah, membuatku merasa kalau Pak guru ini sedang menceritakan dongeng sebelum tidur untukku. Aku menahan rasa kantukku dengan bersusah payah, tapi rasanya terlalu berat. Akhirnya aku pun tertidur.
“Miyu.. dia mendekat,”
“Dia? Siapa?” Eirin terlihat cemas.
“Charm”
“Apa .. maksudmu?”
“Miyu..” Eirin semakin memudar di penglihatanku tapi suaranya menggema memanggilku.
“Miyu! Miyu Sasakura! Kau pikir ini hotel?” Pak Guru sejarah menggebrak mejaku.
Aku kaget dan terjuntal kebelakang. Seisi kelas menertawakanku.
“Sana, berdiri di pintu kelas supaya tidak ngantuk lagi!”
Dengan langkah sedikit kesal aku berjalan menuju pintu kelas. Cih. Aku dihukum. Aku berdiri di pintu kelas sambil menguap. Dia pikir pelajaran hanya sejarah? Aku menendang dinding di belakangku. Moodku memang selalu jelek kalo dibangunkan secara paksa ketika sedang tertidur. Apa boleh buat, aku berdiri di dinding luar dari pintu kelas sambil menahan kantukku. Karna tidak tahan berdiri, aku memutuskan untuk pergi ke perpustakaan untuk tidur.
BRUK.
Aku menabrak seseorang dan kami sama-sama terjungkal ke belakang.
“Aduh”
Aku melihat ke orang yang kutabrak. Terkesima, dia sungguh cantik.
“Maaf, kau tidak apa-apa?” tanyaku sambil mengulurkan tanganku dan membantunya berdiri.
“Iya,” katanya sambil menyambut uluran tanganku, “Maaf aku tidak memperhatikan jalan.”
“Tidak apa-apa, ini salahku kok. Aku berjalan sambil mengantuk”
“Namaku Frau.” Dia mulai memperkenalkan diri.
“Aku Miyu.”
“Kaito, kau merasa ada yang aneh?” jam makan siang, Kaze menggigiti sedotannya lagi.
“Apa maksudmu?”
“Kenapa Rokku tiba-tiba muncul? Seperti yang kita tahu, dia kan murid pindahan, bagaimana bisa dia menyerang kita yang bahkan kita tidak kenal siapa dia?”
“Hmm..” Kaito berpikir sambil memakan bentonya.
“Sepertinya, kita sedang diincar”
“Miyu! Kami mencarimu daritadi, kau kemana saja?” Hana seperti biasa, selalu cemas berlebihan.
“Kami kira kau akan tetap berdiri di depan pintu kelas ternyata kau malah jalan-jalan, kalau tahu begitu tadi lebih baik aku juga tertidur deh” Sakura bergumam.
“Maaf, karna aku mengantuk sekali tadi, niatku ingin tidur di perpustakaan—oh, kenalkan, dia Frau”
“Salam kenal” Frau menjabat tangan Hana dan Sakura sambil tersenyum.
“Lagi-lagi gadis cantik” kata Sakura entah apa maksudnya.
“Miyu!” seseorang memanggilku dari belakang. Daichi, terlihat berjalan mendekat sambil membawa dokumen. Aku merasakan ada yang meremas tanganku, Hana.
“Ada yang ingin kubicarakan, ikuti aku” Daichi berjalan dengan cepat.
“Tunggu!” aku meninggalkan Hana dan Sakura bersama Frau. Hana, terlihat menatap punggungku ketika aku berjalan di sebelah Daichi dan Frau, tatapannya serasa menembus punggungku.
Frau memandang Hana yang masih tidak melepaskan pandangannya dari Daichi.
“Yuk, Hana. Aku ingin mengobrol denganmu.” Frau menarik tangan Hana sambil tersenyum.
“Ini, kurasa memang ada yang aneh,” Kaze memperhatikan dokumen Rokku dari samping meja bundar ruang klub.
“Kenapa datanya kosong?” Kaito ikut bingung.
“Itulah, aku juga mempertanyakannya saat aku pertama kali melihatnya.” Ucapku.
“Ini, aku berhasil menemukannya, yah lebih tepatnya.. mencurinya.”
Aku terbelalak. “Kau? Mencuri? Bukannya kau ketua OSIS?”
“Sssssttt,” muka Daichi memerah
Daichi memperlihatkan kepada kami dokumen berisi silsilah kekerabatan kepala sekolah Raigaku. Kami semua terkejut. Ada Rokku!
“Jadi dia.. masih satu kerabat?” aku masih shock.
“Itulah kenapa dia mengetahui semua tentang kita, kupikir, sebelum dia memutuskan untuk pindah ke sekolah ini dia sudah mencari tahu tentang kita, dan kurasa targetnya yang sesungguhnya bukan Kaito tapi Kaze.”
Kami semua berbalik memandang Kaze.
“Aku sudah tahu ini akan terjadi, cepat atau lambat.”
“Miyu, kurasa.. Hana berubah, dia sedikit aneh.”
“Apa maksudmu?” aku menatap Sakura.
“Entahlah, aku hanya merasa sedikit aneh.” Entah mengapa Sakura terlihat gugup.
Aku melihat bangku Hana. Sebentar lagi bel akan berdering tapi bangkunya masih kosong. Biasanya dia selalu bersama Sakura kemana pun dia pergi.
“Bukannya kau tadi bersamanya? Dia belum kembali?”
“Ya, dia bersamaku sampai Frau menarik tangannya dan aku ditinggalkan sendiri. Aku kira dia akan ke kelas duluan, tapi..” Sakura melihat bangku kosong Hana.
“Masa sih dia bolos?”
“Entahlah, Hana tidak seperti biasanya.”
Bel kelas pun berdering. Tidak ada tanda-tanda bahwa Hana akan kembali. Kaito kembali ke tempat duduknya di sebelahku. Aku masih cemas memikirkan Hana. Di mana dia?
“Your vow, m’lady” seseorang berkerudung putih transparan dan membawa spear terlihat sedang melakukan ritual pengucapan sumpah di depan seorang gadis berambut coklat.
“I take my vow to eliminate every demons in this world, and conquer the light beyond this universe. I trade my soul to perish demons and my body to purify them.”
Terlihat gadis itu telah selesai mengambil sumpah, dan sekarang dia bersujud di hadapan seseorang yang berkerudung putih itu dan membiarkannya menyentuh kepalanya dengan tombaknya. Cahaya putih pekat mengelilingi mereka dan tampak menelan sang gadis berambut coklat. Lalu perlahan, cahaya itu menghilang dan mereka telah kembali ke wujud asalnya.
“Bagus sekali, Hana.” Ucap Frau.
“Daichi..”
Tatapan mata Hana kosong. Dia seperti sudah dicuci sebagian otaknya.
Aku dan Sakura mencari Hana di sekeliling sekolah sekarang. Sekolah baru saja berakhir dan Hana masih tidak kelihatan batang hidungnya. Aku mencari di toilet wanita tapi yang kudapati hanyalah para gadis-gadis yang sedang menggosip dan berdandan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa toilet selalu dijadikan tempat pertemuan rahasia para wanita. Wangi parfum yang bermacam-macam membuatku sesak, aku segera keluar dari toilet dan mencari ke kelas-kelas di lantai 2.
Sakura terlihat sangat cemas. Dia berlari kesana kemari, menjeblak pintu-pintu kelas sehingga membuat para murid yang masih tinggal di kelas terkejut. Sakura dan Hana sudah kenal lama sekali. Mereka sudah seperti kakak dan adik, wajar kalau Sakura sangat cemas sekarang ketika Hana menghilang. Dia sudah seperti adikku, pikirnya.
Aku berlari ke atap gedung sekolah setelah mendapati hasil nihil ketika mencari di tiap-tiap kelas. Aku seperti kehilangan nafasku ketika kudapati ada seorang gadis yang tengah berdiri menatap lapangan sekolah di balik kawat. Angin yang pelan mengibaskan rambutnya yang coklat.
“Hana!” ucapku sambil terengah-engah. Kudekati sosoknya. Tapi sesuatu menahanku..
“Tunggu sebentar, nona manis” aku sadar sekarang aku sedang diikat oleh seseorang. Aku melihat ke arahnya. Seorang wanita berkerudung putih transparan.
Hana berbalik menatapku. Tatapan matanya kosong tapi aku bisa merasakan hawa bahwa dia ingin membunuhku. Apa ini..
“Tunjukkan dirimu yang sesungguhnya! Kau iblis!” Frau mengaktifkan spellnya ke arahku dan tiba-tiba saja aku bertransformasi.
“Frau? Kau..Gyaaaaaaaaaaaaa!!” aku seperti tersedot ke dalam diriku sendiri. Aku berusaha bangkit dan tersadar sekarang aku sudah bertransformasi. Bersatu dengan Eirin.
“Yeah, aku adalah Angel, aku mendekatimu untuk mencari kelemahanmu. Kau iblis wanita. Keberadaanmu hanyalah membuat manusia mempunyai perasaan yang jahat, kalian harus dimusnahkan! Perasaan negatif tidak baik untuk kelangsungan bumi! LUMINA!!”
Frau mengarahkan Spearnya kepadaku. Dan sebongkah cahaya tajam keluar dari tombaknya dan menembus ke dalam tubuhku tepat setelah dia mengucapkan spellnya. Aku merasa seperti tertelan ke dalam cahaya yang pekat dan mataku mulai berair. Tidak!
“AAAAARRRRRRRRRRRGHHH!” tubuhku terasa tersayat-sayat oleh cahaya yang pekat. Aku memusatkan pikiranku dan mencoba menolak serangan Frau. Berpikir Miyu, berpikir!
“Shield!” tanpa sadar aku mengucapkan mantra untuk memblokade serangan Frau.
“Oh, ternyata tidak selemah yang kubayangkan, LUMINA MAXIMA!”
Tidak! Aku gugup dan tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku pasrah menerima serangannya, aku menutup mataku sambil menutupi wajahku..
Tunggu. Aku tidak merasakan apapun. Bukankah tadi dia menyerangku?
Aku membuka mataku. Seseorang berada di depanku dan dia menggunakan tameng besar. Rupanya dia melindungiku dari serangan Frau. Sepertinya serangan orang ini pun tidak mempan terhadap Frau.
“Demons, kalian benar-benar licik. Hana, kau lihat sendiri bukan kalau dia licik? Enyahkan hati jahatnya dan kau bisa mendapatkan apapun yang kau inginkan!”
Aku melihat pada orang yang menolongku. Aku tidak ingat pernah melihat sosok transformasinya. Dia bukan Kaito, bukan Kaze juga Daichi..
Aku menatap ke arah Hana. Tidak. Aku tidak percaya ini. Hana seorang Angel? Sejak kapan? Kenapa aku tidak menyadarinya dan dia tidak menyadariku?
Hana maju ke arahku. Dia sudah bertransformasi, dan sekarang dia bersiap untuk menyerangku.
“Hana! Hentikan! Sadarlah! Kita berteman bukan? Aku tidak ingin melukaimu! SADARLAH HANA!”
“DIAAAAMMMM!!!!” Cahaya mengelilingi tubuh Hana, “Tugasku adalah untuk melenyapkan iblis. Iblis tidak dibutuhkan di dunia ini” Cahaya yang muncul makin besar keluar dari tubuh Hana.
“Hana sadarlah! Apa yang terjadi padamu?”
Hana tetap diam. Cahaya di sekelilingnya tampak sangat menyilaukan mataku. Aku tidak tahu kapan mulainya tapi, Hana menyayatku dengan tebasan dagger yang tidak kelihatan.
Dan aku membungkuk merintih kesakitan, sedangkan cowok yang menolongku tadi sepertinya terkena efek numb oleh Frau.
“Ha-hana..” darah mengucur dari bekas sayatan Hana. Aku memusatkan pikiranku dan menutup lukaku dengan energi yang tersisa. Meregenerasi selku.
“Hana.. kumohon sadarlah”
“Sadar? Aku selama ini sudah tertipu olehmu, Miyu. Sekarang aku sudah menyadarinya. Kau sungguh iblis wanita. Aku terluka melihatmu bersama Daichi! BIARKAN AKU MEMBERSIHKAN HATIMU!”
Hana menebasku berulang kali dengan daggernya. Aku terjerembab kesakitan, darah membasahi tubuhku. Tidak, aku tidak boleh mati, sesuatu pasti terjadi dengan Hana.
Serangannya melukaiku berulang kali. Aku hanya bisa berteriak, aku tidak bisa melukai Hana. Cowok misterius yang menolongku pun hanya bisa menatapku dengan miris, dia sangat ingin menolongku tapi dia masih dibawah pengaruh numb Frau.
“Bagus sekali Hana” Frau mengawasi kami sambil melayang dan memastikan bahwa spellnya masih bekerja pada cowok misterius itu.
Aku terbungkuk. Lemas karna luka-luka sayatan di tubuhku dan darah yang mengalir membasahi bajuku.
“Hana.. tolong hentikan.. kau telah dipengaruhi..” aku kehabisan nafas. Aku mencoba untuk meregenerasi selku berkali-kali. Aku tidak mempunyai cukup energi yang tersisa untuk menyerang balik, selain itu, aku tidak bisa menyerang Hana. Dia temanku.
Hentikan. Tolong hentikan, sakit, aku tidak kuat.
Tiba-tiba ada serangan dari belakangku. Hana membeku, dan Frau terjerembab ke belakang. Dia masih sempat memblok serangan dari belakangku. Aku menoleh ke belakangku. Kaze. Aku berusaha untuk bangkit dan berdiri, mengambil tempat di depan Kaze.
“Tidak, kau tidak boleh menyerang Hana. Dia temanku.”
Aku merentangkan tanganku di depan Hana yang membeku.
“Bodoh, dia ingin membunuhmu”
“Tapi dia temanku! Kumohon hentikan!”
Frau memperhatikan Kaze. Jadi dia orangnya, pikir Frau. Frau segera mengucapkan spell untuk membebaskan Hana dari kebekuan. Hana pingsan kehilangan kesadaran. Frau membawa Hana dan sayap putih keluar dari punggung Frau. Frau mengepakkan sayapnya sambil memapah Hana, dia terbang menuju langit dan menghilang diantara awan bersama Hana.
Aku menonaktifkan transformasiku. Rasanya semuanya berputar di mataku, badanku seperti hancur, dan aku pingsan.
“Bagaimana ini? jadi apa yang akan kita lakukan?”
“Sebaiknya kita tunggu Miyu sadar dulu.”
“Tapi dia sedang koma! Aku sudah tidak sabar untuk menghajar pelakunya.”
“Sabarlah Kaito. Di rumah sakit tidak boleh berisik.”
Daichi terduduk lemas. Kaze berusaha menenangkan Kaito. Sakura terlihat shock duduk di samping Daichi.
“Miyu koma.. Hana menghilang..” Sakura gemetar.
“Tenanglah, semuanya akan baik-baik saja.” Daichi mencoba menenangkan Sakura.
Sakura menangkupkan tangannya di mukanya, terdengar dia menahan isakan tangisnya. Daichi menepuk bahunya.
“Sepertinya kita akan berperang, jangan gegabah Kaito, kita harus menyusun strategi dulu, dan ini semua tergantung keputusan Miyu.”
“Baiklah,” Kaito terlihat tenang sekarang dan dia duduk di sisi lain Daichi.
“Dengar,” Kaze berjalan mondar-mandir di depan mereka.
“Miyu..”
“Eirin, kau terluka?”
“Tidak terlalu, aku mencemaskanmu.”
“Aku?”
“Ya, aku takut tubuh manusiamu tidak kuat menahan lukanya”
Aku baru tersadar, sekarang aku berada di ruangan putih, hanya berdua dengan Eirin.
“Dimana kita? Kenapa semuanya putih?”
“Kau koma, Miyu. Karna itu, aku akan berusaha untuk mengobatimu dari dalam.”
Eirin mengumpulkan energinya di sekitar tangannya. Memejamkan mata beberapa saat, tangannya menembus ke badanku dan telunjuknya tepat menyentuh inti jantungku.
“Aku akan mengobati coremu,”
Aku merasakan aliran panas di jantungku. Aku tahu Eirin sedang berusaha meregenerasi jantungku. Lama-kelamaan rasa sakit menjalar di jantungku. Aku meringis kesakitan sementara Eirin juga menahan kesakitan. Aku memegang tangannya.
“Sudahlah Eirin, kau juga terluka. Aku sudah tidak apa-apa kok.”
“Maafkan aku” Eirin terengah-engah.
“Sudahlah, kau adalah aku, dan aku adalah kau. Tidak perlu minta maaf. Aku mengerti kok.”
“Miyu, aku sudah tidak kuat lagi. Aku akan beristirahat sejenak. Kau kembalilah ke dunia nyata, mereka mengkhawatirkanmu.”
Eirin melebur menjadi air, dan menghilang di serap daratan.
Mereka, pikirku. aku harus kembali.
Aku membuka mataku. Putih. Aku mencium bau obat dan merasakan infus di tanganku. Rumah sakit. Aku melihat ke sekelilingku. Kaito, Kaze, Daichi, juga Sakura bergeletakan di sekeliling kasurku. Aku membuka penutup oksigenku, berusaha untuk duduk.
“Kaze..” aku mengoyang-goyangkan bahunya.
“Hmm?” dia tampak kelelahan.
“Pulanglah dan istirahat, kau tampak lelah. Aku sudah tidak apa-apa kok.”
“Iya,” dia menjawabku dengan masih terkantuk-kantuk.
Lalu dia shock melihatku sudah siuman.
“Miyu-chan!! Kau sudah bangun!”
Teriakan Kaze membuat semua orang terbangun. Sakura sampai terjatuh dari sofa saking kagetnya.
“Miyu! Syukurlah, kami cemas sekali,” Sakura meneteskan air mata dan memelukku. Ternyata dia masih wanita.
“Maaf, aku sudah membuat kalian cemas. Berapa lama aku tertidur?” Aku mengusap punggung Sakura.
“2 hari. Kau koma. Maafkan kami Miyu, Kami membiarkanmu dalam bahaya.” Ucap Kaze.
“Tidak apa-apa. Kalau aku selalu dilindungi kapan aku akan menjadi kuat?”
“Oh, Miyu” Sakura terisak.
Di sebuah istana di atas langit, dipenuhi oleh cahaya yang berkilauan, tampak para penduduk di sana mempersiapkan sesuatu.
“Kau harus menguatkan alasanmu, Hana.”
“Daichi..”
“Baiklah, kau siap?” Frau mengeluarkan Spearnya, “Cross Lumina!”
Bongkahan cahaya menyeruak ke arah Hana, dan dia tenggelam dalam sinar putih yang pekat.
Tekanan ujian makin meningkat di Raigaku. Tapi, aku tidak bisa memikirkan apapun lagi, pikiranku kacau, Hana.. aku yakin dia dipengaruhi.
Aku berjalan ke kalasku dengan malas. Bel sudah berbunyi. Aku segera duduk di kursiku dan menghela nafas. Hana..
“Hana Kohaku” Guru sedang memanggil nama kami satu-persatu untuk diabsen.
“Dia sedang sakit, Pak” Aku menjawab dengan lesu. Aku benar-benar merasa bersalah. Aku masih ingat kata-kata Hana. Aku terluka melihatmu bersama Daichi! Sekarang, apa yang harus kulakukan? Sepertinya keberadaanku hanya membuat luka untuk orang-orang di sekitarku.
Daichi menoleh ke arahku. Tapi aku membuang mukaku, aku sedang tidak ingin melihatnya, aku benar-benar bodoh. Aku kehilangan sahabatku karna kebodohanku.
“Kaito, aku mengharapkanmu untuk bagian penyerangan. Daichi, kau di bagian pertahanan, Miyu tolong kau support kami seandainya ada anggota yang terluka, kami membutuhkan bantuanmu untuk menheal kami, sedangkan aku akan mengcover semuanya. Kita laksakan misi ini setelah ujian besok.”
Kaze menjelaskan strateginya pada kami. Kami berencana untuk menarik kembali Hana setelah semuanya yang terjadi dua hari yang lalu. Aku merasakan aliran yang kuat untuk segera menjalaskan misi ini. Misi untuk menjelaskan semua kesalahpahaman yang terjadi diantara kami.
Hari ujian. Pikiranku benar-benar kosong. Aku pasrah mengerjakan soal matematika hari ini. Aku terpaku pada soal ujianku. Aku benar-benar tidak mengerti apapun. Aku mengacak-acak rambutku. Tekanan matematika dan misi untuk menyelamatkan Hana membuatku frustasi. Aku menempelkan kepalaku di meja. Mataku mulai menutup, aku tertidur.
“Perasaan negatif tidak baik untuk kelangsungan bumi!” Frau terlintas di mimpiku.
“Aku terluka melihatmu bersama Daichi!” Bergantian dengan Hana.
“Maafkan aku” aku bersujud di hadapan Hana.
“DIAAAAMMMM!!!!” Hana berteriak di mimpiku dan dia mulai menyerangku lagi. Aku ambruk kesakitan.
Bel tanda ujian telah selesai mengagetkanku. Aku terbangun dari mimpiku dan kehabisan nafas. Aku mengumpulkan kertas ujianku dan berlari ke kamar mandi untuk membasuh wajahku.
“Kalian siap?” Kaze membawa Death Scythenya.
“Ya” Aku, Kaito dan Daichi menjawab Kaze.
“Kita berangkat, hati-hatilah.”
Kami semua melesat ke angkasa, tempat dimana semua Angel berkumpul. Istana putih di atas langit. Aku membulatkan tekadku. Kalau ini takdirku, dan kalau aku mati disana, setidaknya aku mati karna menyelamatkan sahabatku.
Tag :// novels
Chapter seven: Something that Lies Within the Past
“Laporan harus diserahkan besok ketua, mohon untuk diselesaikan malam ini juga”
“Ah.. baiklah..”
“Kalau begitu, aku pulang duluan ya, berjuanglah ketua hahaha”
Lampu ruang OSIS masih terlihat menyala terang, sedangkan waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam hari. Daichi yang sudah tampak terbiasa masih menarikan jarinya pada keyboard komputer, sebagai ketua OSIS memang banyak yang harus diselesaikan. Sejenak, dia meregangkan tangannya, terlihat sangat lelah. Daichi bangkit dari tempat duduknya, mengambil sesuatu dari tasnya, tabung kecil berisikan suplemen. Dia mengambil beberapa butir suplemen itu, meminumnya dan melanjutkan aktivitasnya.
“Kau sepertinya mengantuk hari ini, Daichi. Kau begadang?” tanyaku. Kuperhatikan dia sudah beberapa kali menguap.
Tidak ada jawaban.
“Daichi?!”
“Apa?”, dia tampak terkejut.
“Ya ampun, kau ini!”, aku menabok kepalanya dengan gulungan kertas.
“Maaf, duh. Dan kenapa aku ditabok?”
Pintu klub terbuka. Kaito masuk. Dia langsung mengambil posisi didepanku dan Daichi.
“Mana Kaze?” tanyanya.
Aku menunjuk ke jendela. Kaze sedang bermeditasi di luar. Melakukan persiapan sebelum melatih kami.
“Dengar.” Mata Kaito berubah serius. “Kita mendapati lawan di sekolah ini, namanya Rokku. Dia keturunan Angel dan tampak seperti Angel jadi, kurasa kalian akan mudah mengenalinya. Aku hanya berharap kalian berjaga-jaga untuk selanjutnya. Kita tidak akan tahu kan kapan musuh selanjutnya akan datang. Jadi latihanlah dengan sungguh-sungguh.”
Kaze pun selesai dengan ritualnya dan dia menghampiri kami.
“Aku sudah dengar dan aku membenarkan apa yang dikatakan Kaito. Aku bisa merasakan adanya sesuatu yang besar akan datang, dan..”, Kaze tampak sedikit tegang,”Kalau pun harus berperang maka pertarungan yang selanjutnya akan menjadi pertarunganku yang terakhir.. ”
“Apa?!!” aku terkejut. “Tapi, kenapa? Kau.. tidak akan mati kan ?” tanyaku sedikit cemas.
“Bodoh”, Kaze mengetuk kepalaku,”Aku tidak akan mati semudah itu”
Dia tersenyum misterius. Tapi.. aku bisa merasakan adanya keanehan. Dan aku merasa sedikit, walau tidak sepenuhnya tapi aku merasa cemas dan khawatir. Ada apa? Kenapa dia berbicara seperti itu?
“Yah setidaknya, ada hal lain yang harus kalian cemaskan”, Daichi berbicara dengan mata setengah mengantuk. “Maksudku ujian tengah semester”.
Aku, Kaito dan Kaze saling berpandangan. “Dasar ketua OSIS”. Kami serempak mengucapkan itu.
“Kenapa memangnya?”, Daichi keheranan.
Memasuki pertengahan bulan September akan menjadi hari-hari yang berat bagi para penduduk Raigaku. Tugas yang menumpuk dan ujian jadi hal-hal yang harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh. Raigaku memiliki tradisi kuno, jika ada murid yang gagal di ujian semesternya maka dia tidak akan diperbolehkan mengikuti pesta Halloween di bulan Oktober. Para warga Raigaku yang memang sudah dasarnya mencintai festival berlomba-lomba untuk tidak mendapat nilai terbawah. Perpustakaan pun jadi terasa lebih hidup pada saat-saat seperti ini. walau masih ada saja yang menggunakan perpustakaan sebagai tempat untuk tidur. Aku memutuskan untuk pergi ke perpustakaan hari ini, ada beberapa buku yang akan kupinjam. Perpustakaan jadi terlihat lebih kecil dari biasanya. Aku langsung melesat ke rak paling pojok di sudut ruangan sambil mencari buku yang kuperlukan.
Terkejut, aku melihat ada kaki di samping rak buku. Aku mencoba mendekatinya. Dan disana, aku melihat seseorang tidur, tampak sangat kelelahan. Daichi. Aku memperhatikannya. Dia tertidur lelap, aku ingin membangunkannya tapi aku merasa kasihan. Tapi ini kan perpustakaan. Aku menepuk pundaknya perlahan.
”Daichi.. daichi.. bangunlah.”
“Mmmph?”, perlahan Daichi membuka matanya.
“Kau tidak apa-apa? Sepertinya lelah sekali”
Daichi terlihat bingung menatapku. Dan dia menepuk kepalaku. Lalu dia berdiri dan melihat jam tangannya.
“Astaga, aku harus cepat-cepat ke ruang OSIS, maaf Miyu, terima kasih sudah membangunkanku”. Terhuyung dia mencoba bangkit dan aku menangkapnya dengan sigap.
“Hey, kau tidak apa-apa?”, tanyaku sedikit khawatir.
“Ya, aku baik-baik saja. Jangan khawatir”, Daichi tersenyum dan dia melesat pergi ke ruang OSIS
“Benar-benar orang yang penuh semangat.”
“Hwahh, ujian semakin dekat! Masih banyak yang tidak kumengerti khususnya matematika,” Sakura mulai mengeluh.
“Aku juga tidak suka matematika”, ujarku sambil melirik Hana, “Tolong ajari kami,” ucapku memohon.
“Aku sih boleh-boleh saja. Hmm.. bagaimana kalau Minggu ini kalian datang saja ke rumahku? Kita belajar bersama.” Ucap Hana.
“Benarkah? Asyik!,” Sakura merangkul Hana dan Hana menjitak kepalanya.
“Tapi Hana, boleh aku tanya sesuatu?
“Ya, apa? Tanyakan saja Miyu”
“hmm.. tidak jadi deh,” ucapku. Ragu untuk menanyakannya sekarang. Lebih baik kusimpan untuk lain kali saja.
“Apa sih?” tanya Hana sambil cemberut.
“Tidak, tidak jadi hahahaha,” ucapku mencoba mengalihkan pembicaraan. Pintu kelas bergeser, bersyukur akhirnya ada alasan untuk berhenti berbicara, Hana dengan cepat membalikkan badannya dan pelajaran pun dimulai.
Kaito tampak serius memperhatikan pelajaran kali ini. Entah apa yang terjadi dengannya, aku hanya berpikir semoga dia tidak lupa ingatan. Atau mungkin karena ujian yang semakin dekat Kaito mulai menaikkan intense-nya untuk memperhatikan pelajaran daripada hanya memperhatikan kehidupan di luar. Aku mencoba melirik ke arah sarang burung yang dulu suka diperhatikan Kaito, sekarang sarang itu tampak lebih besar. Lebat lebih tepatnya.
“Jadi, begitulah asal legenda ini muncul dan tetap di turunkan kepada anak cucu kita sampai sekarang. Okay, pelajaran selesai hari ini,”
terdengar para murid menghela nafas dan mulai merapikan bukunya.
“Tolong kalian belajar dengan sungguh-sungguh untuk ujian kali ini, bapak tidak ingin adanya remedial, sampai jumpa,” menggeser pintu kelas, dia keluar sambil membawa setumpuk buku Art of Hierarchynya.
“Kaito, kau sudah siap dengan ujian kali ini?” tanyaku sambil meregangkan tangan.
“Hm? Aku kapan pun siap,” katanya sambil terkekeh.
Hebat. Pikirku. yah, dia memang pintar, aku mengakui itu. tiba-tiba terlintas sesuatu di benakku dan langsung terlontar dari mulutku tanpa aku sadari.
“Mau kah kau mengajariku?”
“Eh? Aku? Hm.. baiklah,” katanya, dan dia memalingkan mukanya menatap para keluarga burung. Dan aku pun bengong, tidak menyangka kalau Kaito akan mengiyakan ajakanku yang bahkan aku tidak menyadari saat mengucapkannya. Beberapa detik setelah itu, aku malu untuk memikirkan apa yang telah kuucapkan, entah mengapa mukaku terasa panas.
“Hah? Jadi kau tidak akan belajar bersama kami?”, Sakura menghardik saat kami berjalan kaki, pulang.
“Uhh.. bukan begitu, tapi aku bahkan tidak sadar apa yang telah aku ucapkan,” ujarku malu,”Aku jadi tidak tahu bagaimana untuk mengcancelnya jadi.. lebih baik kuikuti saja, maaf,” Aku menangkupkan kedua tanganku.
“Yah, aku sih tidak keberatan,” Hana menyeringai, “Tenang saja Miyu, kau bisa belajar denganku kapan saja kau mau”
Dan aku merasa tatapan mereka berdua semakin tajam kepadaku. Cepatlah sampai rumah!
Aku melempar tasku di meja belajarku dan menjatuhkan diriku di atas kasur. Entah kenapa aku merasa begitu lelah, dan aku pun tertidur.
“Miyu, kau harus bersiap-siap,” Eirin duduk di sampingku
“Siap-siap, untuk apa?” tanyaku heran.
“Aku merasakan sesuatu yang kuat datang, dan dia sepertinya akan melakukan sesuatu kepada kalian, para souler”
“Seriuskah bahaya ini?”
“Tidak terlalu, tapi aku bisa merasakan. Dia punya ‘charm’ yang kuat.”
Aku duduk di balkon belakang rumahku, tepatnya di belakang kamarku. Sambil menatap ke langit yang hanya diterangi oleh sinar bulan, tidak terlihat adanya bintang-bintang sedikitpun. Ini, pikirku, kesekian kalinya aku merasakan perasaan ini lagi. Dadaku sakit, tapi aku tidak tahu kenapa. Perasaan bersalah, sama seperti yang kurasakan kepada Yoshiki. Apa ini? aku benar-benar benci perasaan ini.
“Kakak, temanmu menelpon,” Suara Ryuu memanggilku dari lantai bawah. Aku bergegas keluar kamarku dan menuruni anak tangga.
“Siapa?,” Tanyaku ketika sudah menuruni dua anak tangga terakhir.
“Daichi”, Ryuu melempar telepon wirelessnya padaku, dan dia kembali duduk di sofa, memperhatikan iklan. Aku tidak mengerti kebiasaan adikku yang satu ini.
“Halo?”, aku menjawab telefonnya.
“Ah, Miyu? Kau sibuk?”, Ucap Daichi di sebrang sana .
“Aku? Tidak juga sih, kenapa?”
“Kau.. bisa datang ke sekolah sekarang?”
“Eh? Tapi ini kan sudah malam?”, Kenapa dia mengundangku ke sekolah malam-malam?
“Sekolah masih buka kok, lebih tepatnya ruang OSIS, kutunggu ya.” Daichi menutup teleponnya.
Akhirnya kuputuskan untuk pergi juga ke sekolah. sekolah di malam hari, untuk syuting film horror bagus sekali. Aku melangkahkan kakiku dengan cepat ke ruang OSIS. Kulihat lampunya masih menyala. Ini berarti Daichi masih bekerja di ruangannya.
Aku mengetuk pintu ruang OSIS. Daichi langsung membukakannya untukku.
“Masuklah, ada yang ingin kuperlihatkan.”
Sedikit bingung, aku mengikutinya dari belakang. Aku melihat ke sekeliling ruangan, tampak seperti kantor. Tipikal Daichi, pikirku sambil menahan tertawa. Di mejanya kulihat banyak kertas-kertas yang menumpuk, mungkin informasi seluruh sekolah ada di situ. Insting ninjaku mulai menanjak. Tapi kutahan keinginan untuk beraksi malam ini. paling tidak, tidak di depan Daichi.
“Ini,” dia menyerahkanku informasi tentang biodata para siswa, “Aku merasa ada yang aneh dengan ini, coba kau lihat.”
Aku menajamkan mataku pada kertas dokumen biodata seorang siswa itu. Benar kata Daichi, ini aneh. Biodata yang kosong?
“Aku mencoba mencari informasi tentang murid pindahan yang Kaze ceritakan. Aku sudah mencari di setiap dokumen para siwa, ataupun dokumen untuk murid-murid pindahan tapi hanya itu yang bisa kutemukan. Dokumen kosong. Hanya tertulis data nama dan gender. Coba kau bandingkan dengan punyamu.”
Aku berpikir sejenak. Memang rasanya sedikit aneh. Dokumen untuk murid pindahan, rasanya memang sangat aneh kalau tidak dicantumkan apapun pada biodatanya. Aku membalik kertas halaman dokumen itu. Disitu tercantum lengkap informasi tentang diriku. Bahkan disebutkan hobi dan ukuran badanku. Darimana mereka mendapatkan info ini?
“Jadi, maksudmu..”
“Kalau kalkulasiku benar,” ucap Daichi sambil memegang dagunya. Sepertinya dia sudah sedikit keracunan komik-komik detektif, “Besar kemungkinan pihak sekolah sengaja menyembunyikan apapun tentang anak yang bernama Rokku ini.”
“Tapi kenapa?” ucapku sedikit kebingungan.
“Itulah pertanyaan yang sama yang muncul di benakku. Bisa kukatakan, mungkin dan ini hanya mungkin, Raigaku tahu tentang semua yang terjadi pada kita, maksudku.. yah kau tau kan .”
Aku tahu Daichi mengacu pada para Souler. Banyak hal muncul di pikiranku. Kalau Rokku di lindungi oleh pihak sekolah, itu berarti Raigaku akan…
“Maksudmu, kita dalam bahaya?”, alisku terangkat tinggi sekarang. Daichi mondar-mandir di depanku sambil berpikir.
“Seperti yang sudah kukatakan tadi, ini hanya kemungkinan. Bisa saja perkiraanku salah karna kecemasanku yang berlebihan ini”.
Aku menarik nafas sebentar. Apa ini berarti, kalau pihak Raigaku sudah benar-benar menyadari, kami semua menjadi musuh Raigaku?
Daichi melirik ke arlojinya. Jam 20.25.
“Miyu, kurasa cukup untuk hari ini. sudah terlalu malam untuk seorang gadis sepertimu. Aku akan mengantarmu pulang. Kau sudah makan? Aku akan mentraktirmu sembari kita pulang kalau kau belum makan.”
“Ah, tidak usah Daichi. Aku tidak lapar, terima kasih tawarannya hahaha”
Daichi menatapku.
Glek.
“Kau ini, selalu menahan semuanya sendirian.” Daichi maju dan mengusap kepalaku. “Kalau di depanku, kau tidak usah berpura-pura kalau kau kuat.”
Entah kenapa ada perasaan lain yang mengalir di sekitar badanku.
“Jangan khawatir, aku tidak apa-apa kok.” Aku menunduk menatap sepatuku. Aku tidak sanggup melihat matanya. Daichi menghela nafas.
“Kalau begitu temani aku makan, kau mau kan ?”
“Kaito, sebenarnya waktu itu apa yang terjadi?”
Kaze mengepulkan asap rokoknya. Mereka sedang duduk di teras rumah Kaito.
Kaito menatap langit sambil menghembuskan nafas.
“Aku hanya ingat sedikit saja, wajahnya keturunan Eropa dan dia punya 4 sayap”
“Menurutmu, kenapa mereka ceroboh menyerangmu? Atau mungkin sasaran yang sebenarnya.. bukan dirimu?”
“Maksudmu, sasaran utamanya.. kau?”
“Aku hanya sangsi akan hal itu. mereka tidak akan sebodoh itu juga kan ?”
“Yah, lebih baik kita cari tahu.” Kaito bangkit dan berjalan masuk ke dalam rumah.
“Jadi, kenapa yang kau panggil hanya aku?”, tanyaku pada Daichi.
“Hmm,” Daichi berpikir sambil mengunyah steak nya.
“Kenapa?”
“Seperti yang kubilang tadi, Miyu. Ini semua masih kemungkinan, aku masih ragu untuk menyampaikannya kepada Kaze karna aku masih belum punya bukti yang kuat.” Ucapnya sambil menelan beefsteaknya yang terlihat terlalu matang.
Aku memandang keluar jendela. Berpikir apa yang seharusnya kulakukan dalam kelompok ini. Aku masih lemah. Aku tidak bisa apa-apa. Aku justru takut akan memperparah keadaan mereka karna aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku takut kehilangan mereka, dan lagi karna kebodohanku..
“Miyu.. Kenapa kau selalu menahan untuk makan? Itu tidak baik untuk tubuhmu.”. Daichi membuyarkan lamunanku.
“Eh? Aku..”
“Kalau kau terus-terusan seperti ini kau bisa terkena Anorexia.”
“Anorexia?”
“Ya, nanti hati dan tubuhmu jadi tidak bisa menerima makanan. Aku tidak mau kau seperti itu.”
Daichi menggenggam sendoknya dengan sedikit kuat.
“Hati dan tubuhku?”
“Ya.” Tatapan mata Daichi menjadi kosong, “Aku, pernah kehilangan orang yang sangat berarti dalam hidupku karna penyakit Anorexia. Dia telah benar-benar menjadi bagian dari hidupku. Dulu, aku ini sakit-sakitan. Keluar masuk rumah sakit sudah bukan hal yang aneh lagi buatku. Bahkan para dokter dan susternya pun sudah kenal denganku. Aku sampai muak karna harus tetap terikat dengan rumah sakit. Sungguh membosankan berada di tempat itu.”
Daichi menghentikan makannya.
“Saat itu, saaat aku ingin lari dari rumah sakit, aku bertemu seorang perempuan yang mencegahku melakukan itu. Badannya kurus sekali, walau wajahnya pucat tapi terlihat bersinar. Dan entah sejak kapan aku mulai tertarik dengannya,”
Daichi merenung melihat keluar jendela. Entah kenapa aku tidak ingin memecah keheningan ini selain menunggu dia melanjutkan ceritanya.
“Saat aku putus asa untuk menjalani operasi yang hanya mempunyai 20% kemungkinan untuk hidup, dia datang menyemangatiku. Dia selalu mengunjungiku dan memberiku semangat. Meyakinkanku bahwa aku bisa sembuh. Perasaanku semakin berkembang, dan aku pun mulai menyukainya. Saat itu aku menyatakan perasaanku padanya, dia berjanji akan menjawabku ketika kami sama-sama keluar dari rumah sakit. Aku pun menjalani operasiku karna aku sangat ingin mengetahui jawabannya. Operasiku berhasil dan aku diperbolehkan untuk keluar dari rumah sakit. Tapi..”
Daichi terlihat sedih.
“Aku, tidak akan bisa bertemu dengannya lagi.. walau aku menunggunya selama apapun..”
Hening. Perasaan bersalah mulai menjalar di sekujur badanku.
“Aku mengetahuinya dari suster yang merawatku, bahwa dia sudah tidak ada lagi di dunia ini. sebelum meninggal dia menitipkan pesan kepada susterku.”
“Apa.. katanya?”
“Terima kasih dan.. maaf..” Daichi terlihat murung sekarang.
Hening lagi. Aku tidak tahu harus bagaimana sekarang.
“Maaf Daichi.. aku tidak bermaksud untuk mengingatkanmu pada kenanganmu di masa lalu..”
Daichi melihatku. Wajahnya terlihat sudah lebih baik daripada yang tadi.
“Tidak apa-apa. Hanya sebaiknya kau tidak perlu lagi menahan keinginanmu untuk makan. Selagi masih bisa kucegah aku akan mencegahnya. Aku hanya tidak ingin kehilangan orang lain yang kukenal lagi.”
Aku tertunduk. Sedih, bingung, simpati, kesal pada diriku sendiri, aku berjanji untuk tidak melakukan hal seperti ini lagi. Daichi melihat arlojinya lagi.
“Wah, maaf kita jadi pulang larut malam karna ceritaku. Ayo kuantar kau pulang, Miyu.”
Dan kami pun bergegas keluar dari restoran dekat sekolah setelah Daichi membayar Billnya.
Atmosfer sebelum ujian makin terasa meningkat. Para siswa kelas 3 jadi terbiasa membaca buku sambil berjalan di sepanjang koridor. Para murid kelas 2 masih terlihat sedikit santai menghadapi ujian tengah semester sedangkan murid-murid kelas 1 memilih untuk belajar di perpustakaan karna kelas 2 menguasai wilayah Raigaku.
Aku termenung di kebun belakang sekolah sambil menatap langit, merebahkan tubuhku. Cuaca hari ini sejuk, membuatku sedikit mengantuk. Seperti biasa, aku selalu senang memperhatikan awan-awan yang berjalan walaupun pikiranku tidak terfokus pada awan-awan tersebut.
Daichi.. aku tidak tahu ternyata dia punya masa lalu yang kelam.. Kaito, juga Kaze.. aku ingin melindungi mereka.
Aku merasakan seseorang mengawasiku, sontak aku bangun dan memperhatikan pohon beringin di belakangku.
“Heeh, kau suka sekali menatap langit, ya?” cowok dengan rambut berantakan itu muncul lagi di hadapanku.
“Kau, sebenarnya siapa kau?”, aku berdiri mengawasinya.
“Aku? well, aku ini masih murid Raigaku kok, aku bukan hantu jadi tenang saja.” Katanya sambil terkekeh.
Aku menenangkan diriku dan kembali duduk di atas rerumputan.
“Siapa namamu? Namaku Miyu.”
“Panggil saja aku Gin.” Katanya sambil tersenyum.
cowok ini misterius sekali, aku bahkan tidakk bisa merasakan kehadirannya. Aku memperhatikannya untuk sejenak. Penampilannya memeang bisa dibilang agak eksentrik dibanding murid-murid Raigaku yang lain. Dan dia suka sekali menghilang.
“Kau murid Raigaku? Tapi aku tidak pernah melihatmu, selain disini tentunya.”
“Kau kejam sekali Miyu.” Katanya sambil terkekeh. “Padahal kelas kita bersebelahan lho”
Apa? Apa itu artinya, dia selalu melihatku?
“Aku benci keramaian, tempat inilah yang membuatku begitu nyaman di Raigaku. Aku sudah beberapa kali memperhatikanmu. Kau, Kaito, dan dua orang yang lain. Kau mungkin tidak menyadarinya tapi aku sama sepertimu.”
Tempat ini juga membuatku nyaman, pikirku. tapi kenapa bisa kehadirannya tak bisa kudeteksi? Tunggu, apa tadi dia bilang?
“Sama sepertiku? Maksudnya?”
“Ya,” katanya sambil terkekeh. Bel berdering menandakan jam makan siang sudah selesai.
“Ah maaf, ngobrolnya lain kali saja ya, sudah masuk tuh,” dia berdiri dan berjalan menuju pohon beringin, lalu dia menghilang secara misterius, lagi.
Gin. Akan kucari tahu tentangnya nanti.
“Kau tidak boleh lengah, Frau,”
“Aku tahu apa yang harus kulakukan, aku tidak akan gagal sepertimu.”
“Baiklah baiklah, kau masih tidak berubah ya, kau masih kejam seperti dulu. Aku tidak menyangka ada Angel yang kejam sepertimu.” Rokku terkikik.
“Dan aku tidak menyangka ada Angel yang bodoh sepertimu.” Frau menggertak dan dia meninggalkan Rokku yang tertohok dengan kata-kata terakhirnya.
-Author's blabberings-
Nahh! selagi menunggu authornya menggodok Chapter 7, baca side storynya dulu yaaa sembari atur napas lagi abis baca Chapter 6 hehe :D
story ini ditulis oleh Kaze sendiri, Author aja ga nyangka ternyata Kaze bisa bikin juga hahaha *Digetok death sycthe Kaze*
okehhh langsung aja cekidot XD
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
My Cursed Heart : Side Story ( Kaze : The Unknown Dream & The Water )
”…..Ingat tugas mu adalah memilih dan membimbing mereka….”
”Ya My Lord...”
KRIIIINGGGGGGGGGGGGGG!!!!!!!!!!!!!!
Jam weker kembali berbunyi, menandakan jam untuk malas2an harus berakhir.
Ya beginilah setiap pagi , namaku Kurouki Kaze , seorang pemuda pendek dan berambut agak panjang, ya beginilah nasib aku hanya bisa menerimanya.
Lagi aku melihat jam weker ku , kulihat waktu sudah menunjukkan jam 6.13
”SIAL AKU TELAT BANGUN LAGIIIIIII !!!! ”
Ya begitulah jam weker ku yg telah lama aku pakai
Selalu terlambat menyala
Aku berlari ke kamar mandi untuk mandi dan setelah itu bersiap2 untuk ke sekolah
Aku bersekolah di Raigaku atau lengkapnya SMU Rainen gakuen.
”ah kenapa nyaris setiap pagi harus begini sih ” keluhku...
Setelah semua siap aku berlari ke sekolah
Sambil berlari aku melihat jam..
”wah sial , jam 6.45 aku harus cepat ”
Aku berlari sekencang kencang nya tapi aku baru ingat kalau aku bisa menggunakan kekuatan angin.
”Bodohnya aku ... kenapa aku tidak memakai Speed ?!”
Lalu aku kumpulkan energi ke kaki dan ku gumamkan bbrp kata dalam bahasa soul
”Aerio esniara venturio...”
Ku rasakan kaki ku seperti tidak ada beban sama sekali
” huh begini kan bisa lebih cepat ”
YIHHAAAAAA
Aku berlari secepat angin dan tiba di gerbang sekolah tepat jam 6.55
”wah msh sisa 5 menit ah santai aja , paling juga kaito seperti biasa terlambat”
Aku berjalan di lobby dengan santai.
tiba – tiba dari belakang ku seseorang menegur ku
” Yo Kaze, Speed lagi seperti biasa ? ”
Aku berbalik dan melihat Daichi , dia adalah ketua OSIS dan teman baik ku
” Ya mau bagamaina lagi , jam weker itu rusak terus....”
Kami berjalan sambil mengobrol
Hingga akhirnya Daichi berbelok masuk ke kelasnya
Dan aku terus berjalan lagi masih sekitar 6 kelas lagi hingga sampai kelas ku
”yap tepat waktu...”
Aku masuk kelas dan duduk di kelas ku tepat bel pelajaran dimulai.
Menjelang siang , ada pelajaran yang paling membosankan bagiku
Yaitu Fisika.
”huh sial fisika lagi fisika lagi...”gumamku
Makin lama mata semakin berat dan
Aku tertidur....
”…..Ingat tugas mu adalah memilih dan membimbing mereka….”
”Ya My Lord...”
”Aku percaya engkau dapat menjalankan tugas ini...”
”Tenang saja Neir... ini hanyalah tugas sederhana ”
”KAZE , Lagi lagi kau tidur , dasar pemalas !”
Suara itu membangunkan ku dari mimpi yg sama semalam....
Aku membuka mata dan melihat guru fisika ku marah kepadaku...
”sebagai hukuman mu kali ini , kamu berdiri di koridor !”
Aku hanya diam dan keluar dari kelas...
Namun di benakku masih terbayang – bayang mimpi aneh itu
Siapa suara yang memenangkan dan penuh dengan kuasa itu ?
Lalu siapa gadis cantik dan elegant itu yang percaya padaku itu ?
Kuingat – ingat namanya Neir...
Siapa itu Neir ?
Kenapa senyuman itu sungguh indah sekali... ?
Tiba – tiba dari kegelapan muncul seseorang yang aku kenal
”Sesuatu mengganggu mu Tuan ? ”
” ah tidak ada apa – apa kok Lucifer... mungkin hanyalah ilusi mimpi..”
Lucifer The Fallen Angel , dia adalah Demon yang selalu membantu ku semenjak tragedi kecelakaan dimana aku mati dan bangkit lagi....
” mungkin mimpi bisa membantu membuka gerbang ingatan mu kembali Tuan..”
”mungkin... hanya mungkin...”
Jam pun berlalu lalu saatnya pulang tiba
Aku pulang dengan santai....
Lalu aku masuk kamar dan tidur dengan pulas
Hingga HP ku menyala dan ada pesan
”hooaammmm... siapa sih sore – sore begini... ”
Ku membaca pesan singkat itu
” Kaito berkelahi lagi , pulang – pulang badannya panas sekali seperti terbakar...
Tolong kamu kesini dan bantu aku merawat dia ”
”ah lagi – lagi Azuki terlalu berlebihan , huff baiklah aku kesana drpd tidak ada kerjaan ”
Aku berjalan ke rumah kaito
Sesampainya disana aku melihat kaito terbaring di kamarnya...
Aku menyapanya ” hey , kau berulah apa lagi hingga panas seperti ini ? masak hanya gara – gara berkelahi kau jadi seperti ini ? ”
Kaito menjawab ” ck aku menemukan Water.... dia ada di kelas ku.. “
”Ceritakan detailnya ”
Kaito menceritakan kejadian dimana dia berkelahi dan ditolong oleh seseorang gadis yang menjadi teman sekelasnya , dia adalah murid pindahan baru....
Namanya adalah Miyu.
Setelah lama dia bercerita tentang gadis itu dia berkata
”Kaze aku mau pergi dulu ke Netherworld , mungkin besok aku tidak akan masuk sekolah , badan ku tidak enak juga rasanya ”
”bah , pergi sana , kalo begitu besok pagi aku juga kesini lagi ”
Aku tau mangsut dari ucapan Kaito pergi ke Netherworld
Dia mengeluarkan Soul nya dari tubuh lalu pergi ke Netherworld....
Aku keluar dan mau pulang
Lalu aku melihat Azuki dan berkata ” Hey Azuki rawat yang benar adikmu , sakit lagi tuh ”
” ya kamu harusnya yang merawat dia , dasar pasangan homo ” goda Azuki
” wah sial kau... , ya sudah aku pulang dulu , besok pagi aku kesini lagi ”
” gak pergi sekolah kamu ? ” tanya Azuki
” malas , bolos enak ” jawabku seenaknya
Keesokan hari nya aku kembali lagi ke rumah Kaito
Ketika aku sedang merawat Kaito , Lucifer datang dan memberitahukan bahwa sebentar lagi akan ada yang datang.
Benar , Bell rumah Kaito berbunyi lalu aku mendengar Azuki berbicara dengan seorang gadis.
”Hmm siapa ya , lebih baik aku keluar ”
Begitu keluar aku melihat gadis yang diceritakan oleh Kaito yaitu Miyu.
Setelah itu aku membiarkan dia masuk ke kamar Kaito sendirian dan menyuruh dia merawatnya.
”hmm aku penasaran lebih baik aku amati dulu dia ” gumamku sambil berbaring di sofa
Aku kemudian memusatkan pikiran ku di kamar Kaito lalu aku membuat keberadaan ku seperti di dalam kamarnya Kaito.
Aku mengamati mereka dan aku merasakan ada hubungan antar energi mereka
Yang menandakan bahwa benar apa Kaito.
Lalu aku kembali ke tubuh ku.
Dan sebuah tragedi terjadi dimana Kaito membentak nya dalam keadaan tidak sadar.
Miyu keluar dengan muka kecewa dan sedih
Hmmm dia butuh seseorang yang menghiburnya
Kupanggil dia dan aku membuat sebuah ilusi kegelapan untuk membuat dia supaya
Tidak malu – malu untuk menangis....
Kuperhatikan tetesan air matanya.
Penuh dengan kesedihan , dan matanya seperti lautan luas.
Aku meyakinkan diriku bahwa dialah Water yang selama ini kami cari.
Nahh! selagi menunggu authornya menggodok Chapter 7, baca side storynya dulu yaaa sembari atur napas lagi abis baca Chapter 6 hehe :D
story ini ditulis oleh Kaze sendiri, Author aja ga nyangka ternyata Kaze bisa bikin juga hahaha *Digetok death sycthe Kaze*
okehhh langsung aja cekidot XD
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
My Cursed Heart : Side Story ( Kaze : The Unknown Dream & The Water )
”…..Ingat tugas mu adalah memilih dan membimbing mereka….”
”Ya My Lord...”
KRIIIINGGGGGGGGGGGGGG!!!!!!!!!!!!!!
Jam weker kembali berbunyi, menandakan jam untuk malas2an harus berakhir.
Ya beginilah setiap pagi , namaku Kurouki Kaze , seorang pemuda pendek dan berambut agak panjang, ya beginilah nasib aku hanya bisa menerimanya.
Lagi aku melihat jam weker ku , kulihat waktu sudah menunjukkan jam 6.13
”SIAL AKU TELAT BANGUN LAGIIIIIII !!!! ”
Ya begitulah jam weker ku yg telah lama aku pakai
Selalu terlambat menyala
Aku berlari ke kamar mandi untuk mandi dan setelah itu bersiap2 untuk ke sekolah
Aku bersekolah di Raigaku atau lengkapnya SMU Rainen gakuen.
”ah kenapa nyaris setiap pagi harus begini sih ” keluhku...
Setelah semua siap aku berlari ke sekolah
Sambil berlari aku melihat jam..
”wah sial , jam 6.45 aku harus cepat ”
Aku berlari sekencang kencang nya tapi aku baru ingat kalau aku bisa menggunakan kekuatan angin.
”Bodohnya aku ... kenapa aku tidak memakai Speed ?!”
Lalu aku kumpulkan energi ke kaki dan ku gumamkan bbrp kata dalam bahasa soul
”Aerio esniara venturio...”
Ku rasakan kaki ku seperti tidak ada beban sama sekali
” huh begini kan bisa lebih cepat ”
YIHHAAAAAA
Aku berlari secepat angin dan tiba di gerbang sekolah tepat jam 6.55
”wah msh sisa 5 menit ah santai aja , paling juga kaito seperti biasa terlambat”
Aku berjalan di lobby dengan santai.
tiba – tiba dari belakang ku seseorang menegur ku
” Yo Kaze, Speed lagi seperti biasa ? ”
Aku berbalik dan melihat Daichi , dia adalah ketua OSIS dan teman baik ku
” Ya mau bagamaina lagi , jam weker itu rusak terus....”
Kami berjalan sambil mengobrol
Hingga akhirnya Daichi berbelok masuk ke kelasnya
Dan aku terus berjalan lagi masih sekitar 6 kelas lagi hingga sampai kelas ku
”yap tepat waktu...”
Aku masuk kelas dan duduk di kelas ku tepat bel pelajaran dimulai.
Menjelang siang , ada pelajaran yang paling membosankan bagiku
Yaitu Fisika.
”huh sial fisika lagi fisika lagi...”gumamku
Makin lama mata semakin berat dan
Aku tertidur....
”…..Ingat tugas mu adalah memilih dan membimbing mereka….”
”Ya My Lord...”
”Aku percaya engkau dapat menjalankan tugas ini...”
”Tenang saja Neir... ini hanyalah tugas sederhana ”
”KAZE , Lagi lagi kau tidur , dasar pemalas !”
Suara itu membangunkan ku dari mimpi yg sama semalam....
Aku membuka mata dan melihat guru fisika ku marah kepadaku...
”sebagai hukuman mu kali ini , kamu berdiri di koridor !”
Aku hanya diam dan keluar dari kelas...
Namun di benakku masih terbayang – bayang mimpi aneh itu
Siapa suara yang memenangkan dan penuh dengan kuasa itu ?
Lalu siapa gadis cantik dan elegant itu yang percaya padaku itu ?
Kuingat – ingat namanya Neir...
Siapa itu Neir ?
Kenapa senyuman itu sungguh indah sekali... ?
Tiba – tiba dari kegelapan muncul seseorang yang aku kenal
”Sesuatu mengganggu mu Tuan ? ”
” ah tidak ada apa – apa kok Lucifer... mungkin hanyalah ilusi mimpi..”
Lucifer The Fallen Angel , dia adalah Demon yang selalu membantu ku semenjak tragedi kecelakaan dimana aku mati dan bangkit lagi....
” mungkin mimpi bisa membantu membuka gerbang ingatan mu kembali Tuan..”
”mungkin... hanya mungkin...”
Jam pun berlalu lalu saatnya pulang tiba
Aku pulang dengan santai....
Lalu aku masuk kamar dan tidur dengan pulas
Hingga HP ku menyala dan ada pesan
”hooaammmm... siapa sih sore – sore begini... ”
Ku membaca pesan singkat itu
” Kaito berkelahi lagi , pulang – pulang badannya panas sekali seperti terbakar...
Tolong kamu kesini dan bantu aku merawat dia ”
”ah lagi – lagi Azuki terlalu berlebihan , huff baiklah aku kesana drpd tidak ada kerjaan ”
Aku berjalan ke rumah kaito
Sesampainya disana aku melihat kaito terbaring di kamarnya...
Aku menyapanya ” hey , kau berulah apa lagi hingga panas seperti ini ? masak hanya gara – gara berkelahi kau jadi seperti ini ? ”
Kaito menjawab ” ck aku menemukan Water.... dia ada di kelas ku.. “
”Ceritakan detailnya ”
Kaito menceritakan kejadian dimana dia berkelahi dan ditolong oleh seseorang gadis yang menjadi teman sekelasnya , dia adalah murid pindahan baru....
Namanya adalah Miyu.
Setelah lama dia bercerita tentang gadis itu dia berkata
”Kaze aku mau pergi dulu ke Netherworld , mungkin besok aku tidak akan masuk sekolah , badan ku tidak enak juga rasanya ”
”bah , pergi sana , kalo begitu besok pagi aku juga kesini lagi ”
Aku tau mangsut dari ucapan Kaito pergi ke Netherworld
Dia mengeluarkan Soul nya dari tubuh lalu pergi ke Netherworld....
Aku keluar dan mau pulang
Lalu aku melihat Azuki dan berkata ” Hey Azuki rawat yang benar adikmu , sakit lagi tuh ”
” ya kamu harusnya yang merawat dia , dasar pasangan homo ” goda Azuki
” wah sial kau... , ya sudah aku pulang dulu , besok pagi aku kesini lagi ”
” gak pergi sekolah kamu ? ” tanya Azuki
” malas , bolos enak ” jawabku seenaknya
Keesokan hari nya aku kembali lagi ke rumah Kaito
Ketika aku sedang merawat Kaito , Lucifer datang dan memberitahukan bahwa sebentar lagi akan ada yang datang.
Benar , Bell rumah Kaito berbunyi lalu aku mendengar Azuki berbicara dengan seorang gadis.
”Hmm siapa ya , lebih baik aku keluar ”
Begitu keluar aku melihat gadis yang diceritakan oleh Kaito yaitu Miyu.
Setelah itu aku membiarkan dia masuk ke kamar Kaito sendirian dan menyuruh dia merawatnya.
”hmm aku penasaran lebih baik aku amati dulu dia ” gumamku sambil berbaring di sofa
Aku kemudian memusatkan pikiran ku di kamar Kaito lalu aku membuat keberadaan ku seperti di dalam kamarnya Kaito.
Aku mengamati mereka dan aku merasakan ada hubungan antar energi mereka
Yang menandakan bahwa benar apa Kaito.
Lalu aku kembali ke tubuh ku.
Dan sebuah tragedi terjadi dimana Kaito membentak nya dalam keadaan tidak sadar.
Miyu keluar dengan muka kecewa dan sedih
Hmmm dia butuh seseorang yang menghiburnya
Kupanggil dia dan aku membuat sebuah ilusi kegelapan untuk membuat dia supaya
Tidak malu – malu untuk menangis....
Kuperhatikan tetesan air matanya.
Penuh dengan kesedihan , dan matanya seperti lautan luas.
Aku meyakinkan diriku bahwa dialah Water yang selama ini kami cari.
Chapter six: Another Foe’s Approaching!
Matahari terlihat malas untuk mengeluarkan sinarnya hari ini. Langit yang tertutup awan mendung seolah mensugesti para murid-murid Raigaku untuk kembali ke tempat tidur mereka. Para staff sekolah tampak masih menyapu lapangan sekolah dan beberapa diantara mereka bermain basket di lapangan sebelahnya. Seorang lelaki blondie berjalan di koridor kelas menuju ke gedung sekolah lama. Beberapa gadis anak kelas 1 yang melihatnya langsung melotot dan mengikutinya. Rokku makin mempercepat langkahnya kemudian menghilang di tikungan. Para gadis yang sepertinya merupakan kumpulan anak-anak yang gemar berdandan itu tampak kecewa dan berteriakan memanggil-manggil namanya.
Rokku menginjakan kakinya di depan ruang klub Magic, mengerutkan alisnya pada poster di pintu berbunyi “KLUB MAGIC. DILARANG MASUK BAGI NON ANGGOTA.” Dia meraih gagang pintu tetapi seseorang yang lain menghentikan gerakannya.
“Siapa kau?” Kaito menahan Rokku.
Rokku memperhatikan Kaito untuk beberapa saat. “Aku akan membersihkan tempat ini dari kegelapan seperti kalian.”
Aku berdiri di balkon kelas. Aku memikirkan banyak hal yang terjadi setelah aku pindah ke Raigaku. Sepertinya baru kemarin aku pindah ke sekolah ini tapi rasanya sudah seperti bertahun-tahun, banyak kejadian yang terus menimpaku. Aku butuh udara segar.
Kaze berjalan mendekatiku. Dia tampak kelihatan sedikit cemas.
“Miyu-chan.” Dia berdiri di sampingku. “Kau melihat Kaito?”
“Eh? Aku tidak melihatnya semenjak aku berdiri disini, entah lah mungkin dia ada di dalam kelas?”
“Aku sudah mencarinya tapi dia tidak ada”.
“Memangnya ada apa sih?” aku keheranan melihat Kaze yang tampak cemas akan Kaito. Dia kan cowok.
“Sesuatu terjadi, aku yakin itu”, Kaze sekarang melihatku tajam, menyesal aku sudah berpikiran yang tidak-tidak karna sepertinya Kaze bisa membaca pikiranku. “Aku merasakan apinya menguat”.
Aku merasakan firasat yang tidak enak. “Kaze, ayo kita cari dia!”
“Apa maksudmu?”, Kaito menatap tajam Rokku.
“Jangan bercanda.” Katanya tertawa meledek, “Kau tidak tahu siapa aku?”
“Aku tidak pernah mengganggumu dan aku tidak mengenalmu”, Aura merah mulai keluar dan mengelilingi tubuh Kaito.
“Tapi kegelapan yang diciptakan oleh kalian bisa merusak umat manusia. Aku adalah cahaya. Tugaskulah membuat manusia terhindar dari iblis seperti kalian!”, Rokku menggumamkan sesuatu seperti mantra dan seketika itu cahaya mengelilinginya dan dia bertranformasi. “Darkness should be vanished! I will purify you by the justice of God!”
“Kau yang memulai”, Kaito menyentuh earringnya dan dia mengucapkan mantra. Aura merah menelannya. Gedung sekolah lama seperti terangkat ke angkasa dan berubah menjadi galaksi yang hitam pekat.
“All Darkness is just a sins!”, Rokku mengepakkan ke empat sayap sucinya. Sayapnya yang putih menyinari galaksi yang pekat. Dia mengeluarkan Rapiernya. “Sword of light”, Menggoyangkannya kebawah dan sekarang pedang itu mengeluarkan cahaya yang sangat terang.
“Will you just shut up?”, Kaito pun mengeluarkan Double Daggernya.
Rokku melesat menuju Kaito dan terjadi adu pedang. Terjadi pertarungan sengit antara mereka dan kilatan-kilatan cahaya keluar dari masing-masing senjata. Rokku mencoba menebas Kaito dengan Sword of Lightnya tapi Kaito menahan dengan Daggernya. Terdengar bunyi pedang yang bercatrukan, Dagger Kaito menebas Rapier Rokku dan dia pun terjerembab.
“Oho”, Rokku tertawa, terlihat senang karna dia menemukan lawan yang kuat. Berdiri bangun, dia mulai menguatkan cahaya di Rapiernya.
“Taste this!”, Kaito terkunci. Pedang Rokku terbagi tujuh di angkasa mengelilingi Kaito. 1..2..3..4 tebasan secepat kilat menebas Kaito dan mengenai telak di tubuhnya. Sekarang Rokku menghilang, Menahan sakit, Kaito menyapu pandangannya berkeliling, tiba-tiba Rokku muncul di belakangnya dan menebasnya. Kaito tempak kesakitan. “Did my light purify you?” melesat dengan cepat Rokku menebas Kaito untuk yang terakhir kalinya dan salib putih pun terlihat menempel pada Kaito. “Taste my Dancing of Seven Light!”. Salib yang menempel pada Kaito menebas tubuh Kaito dari berbagai sisi.
“Arrhhh!!!” serangan Rokku melukai Kaito, dia terjatuh dan batuk darah.
Rokku berdiri di depan Kaito sambil mengacungkan pedangnya di depan muka Kaito. “Give up?”
Kaito tampak terengah-engah. Dia menyapu darah dari bibirnya. Kaito mengucapkan mantra. Energi dari galaksi yang pekat tampak tersedot masuk ke dalam tubuh Kaito. Tiba-tiba tubuh Kaito mengeluarkan ledakan yang membuat Rokku jatuh terjungkal. Ada sedikit api yang membakar sayap kirinya. Kaito menghilang.
Rokku tampak kebingungan mencari di mana Kaito sekarang, berusaha bediri dan dia berusaha menghilangkan api di sayapnya. Tanpa pernah terduga dan dia tidak memperhatikannya, Kaito ada di sana, di atasnya. Kaito muncul dengan badan yang di penuhi api dan di kedua tangannya tampak gelang api hitam berpijar..
“Now, me. Prepare your death.” Selagi Rokku sibuk memadamkan api di sayapnya Kaito melesat kebawah dengan cepat bagai meteor, dan menembus Rokku. Rokku yang masih sibuk dengan api di sayapnya, tidak sempat menangkis serangan Kaito.
“Revelation of Dark Fire”, Kaito berdiri di depan Rokku setelah menembus badannya yang sekarang terbakar seperti kertas.
“ARRRRGGGGGHHHHH!!!!!”. Rokku sepenuhnya terbakar oleh api Kaito. “You completely are sins!!!” api menyala besar di badan Rokku yang sekarang terlihat seperti api unggun. Api mulai membakar seluruh bagian tubuh Rokku, kepakan sayapnya tidak bisa menahan keganasan api Kaito, justru membuatnya semakin bertambah besar.
“I swear I’ll be back!!!!” api menelan habis Rokku. Dan Rokku pun menghilang menjadi abu.
Semua kembali seperti normal. Kaito kembali mengenakan Blazer sekolah tapi tampaknya badannya penuh goresan luka karna Dancing-Rokku. Dia berusaha berdiri, terbatuk-batuk lemas, dan dia jatuh terduduk. Kaito kehilangan kesadarannya dan dia akhirnya pingsan.
“Ruang klub! Miyu-chan ayo cepat!”
Aku berlarian dibelakang Kaze. Sumpah! Aku sangat membenci olahraga!
Bel tanda masuk sekolah sudah berbunyi. Tapi aku dan Kaze tidak mempedulikan hal itu, toh bolos 1 mata pelajaran saja kami tidak akan rugi. Sekarang yang penting adalah Kaito. Aku tertinggal jauh di belakang Kaze, paru-paruku sekarang rasanya sesak.
“Kaito!!”, pintu ruang klub terbuka dan terlihat disana Kaito yang pingsan. Aku baru sampai ketika Kaze sudah berusaha memapah Kaito, mengatur kembali nafasku, aku menyeruak masuk untuk membantu Kaze.
“Dia kenapa?” Aku memapah bahu kiri Kaito berusaha menjaga keseimbangan berat badannya.
“Aku merasakan adanya Angel. Aku mendengar dari temanku bahwa ada anak baru pindahan yang keturunan Kanada. Desas-desusnya wajahnya sangat tampan seperti malaikat”, aku membatin, Daichi punya saingan. ”Aku rasa Kaito baru saja bertarung dengannya”.
Kami berdua memapah Kaito ke ruang UKS, lagi. Menidurkannya di salah satu tempat tidur disitu dan Kaze memanggil guru kesehatan.
Aku berdiri di sebelah tempat tidurnya. Aku melihat ada bekas darah di bibirnya. Aku sedikit merasa pening. Aku phobia darah.
Kuberanikan diriku maju untuk mengelap darah di bibirnya menggunkan jempolku walau aku sendiri merasa pening dan tulangku ngilu. Aku melihat ke tangannya tampak sayatan-sayatan yang disebabkan oleh benda tajam. Pedang. Pikirku.
Guru kesehatan pun datang. Dia tampak menghela napas saat melihat Kaito.
“Dia berkelahi?”
Aku tidak tau harus menjawab apa, aku mengedikkan kepalaku kepada Kaze.
“Dia.. diserang”, Kaze menjelaskan dengan tenang. Pak guru itu pun hanya menghela nafas, kemudian dia membersihkan luka-luka Kaito dengan desinfektan.
“Masa muda”, Pak guru itu membalurkan perban di tangan Kaito, “Seharusnya kalian menikmati waktu kalian dengan membuat memori kebahagiaan, bukan dengan kekerasan”.
Aku menunduk mendengar pak guru itu berkhotbah. Tunggu. Kenapa jadi kami yang dimarahi?.
Pak guru itu selesai dengan semua pekerjaan membalur dan melingkarkan perbannya. Aku dan Kaze diminta olehnya untuk tetap menemani Kaito sampai dia tersadar.
“Nikmatilah masa mudamu selagi kau bisa. Buat banyak kenangan indah supaya ada hal yang bisa kau kenang di masa depan nanti. Karna masa depan tidak akan terjadi tanpa adanya masa lalu.” Pak guru yang tampak bersemangat itu pun melenggang keluar. Dia tampak menyeringai. Aku dan Kaze saling berpandangan, keheranan.
“Thou really are a fool, thou shall be punished..”
“I’m sorry.. my Lord”
Rokku menunduk kepada seseorang dengan cahaya yang pekat. Terlihat sangat besar.
“Those who lose to the sins will lost his keen..”
Suara yang menggelegar tampak menaungi Rokku. Rokku pasrah untuk diberikan hukuman. Dia pun berdiri dan hanya terdiam ketika 2 dari 4 sayapnya di musnahkan. Yang menandakan bahwa dia sekarang hanya Angel biasa.
“For Heaven’s sake”, air mata terlihat jatuh di pipi Rokku.
Matahari terlihat malas untuk mengeluarkan sinarnya hari ini. Langit yang tertutup awan mendung seolah mensugesti para murid-murid Raigaku untuk kembali ke tempat tidur mereka. Para staff sekolah tampak masih menyapu lapangan sekolah dan beberapa diantara mereka bermain basket di lapangan sebelahnya. Seorang lelaki blondie berjalan di koridor kelas menuju ke gedung sekolah lama. Beberapa gadis anak kelas 1 yang melihatnya langsung melotot dan mengikutinya. Rokku makin mempercepat langkahnya kemudian menghilang di tikungan. Para gadis yang sepertinya merupakan kumpulan anak-anak yang gemar berdandan itu tampak kecewa dan berteriakan memanggil-manggil namanya.
Rokku menginjakan kakinya di depan ruang klub Magic, mengerutkan alisnya pada poster di pintu berbunyi “KLUB MAGIC. DILARANG MASUK BAGI NON ANGGOTA.” Dia meraih gagang pintu tetapi seseorang yang lain menghentikan gerakannya.
“Siapa kau?” Kaito menahan Rokku.
Rokku memperhatikan Kaito untuk beberapa saat. “Aku akan membersihkan tempat ini dari kegelapan seperti kalian.”
Aku berdiri di balkon kelas. Aku memikirkan banyak hal yang terjadi setelah aku pindah ke Raigaku. Sepertinya baru kemarin aku pindah ke sekolah ini tapi rasanya sudah seperti bertahun-tahun, banyak kejadian yang terus menimpaku. Aku butuh udara segar.
Kaze berjalan mendekatiku. Dia tampak kelihatan sedikit cemas.
“Miyu-chan.” Dia berdiri di sampingku. “Kau melihat Kaito?”
“Eh? Aku tidak melihatnya semenjak aku berdiri disini, entah lah mungkin dia ada di dalam kelas?”
“Aku sudah mencarinya tapi dia tidak ada”.
“Memangnya ada apa sih?” aku keheranan melihat Kaze yang tampak cemas akan Kaito. Dia kan cowok.
“Sesuatu terjadi, aku yakin itu”, Kaze sekarang melihatku tajam, menyesal aku sudah berpikiran yang tidak-tidak karna sepertinya Kaze bisa membaca pikiranku. “Aku merasakan apinya menguat”.
Aku merasakan firasat yang tidak enak. “Kaze, ayo kita cari dia!”
“Apa maksudmu?”, Kaito menatap tajam Rokku.
“Jangan bercanda.” Katanya tertawa meledek, “Kau tidak tahu siapa aku?”
“Aku tidak pernah mengganggumu dan aku tidak mengenalmu”, Aura merah mulai keluar dan mengelilingi tubuh Kaito.
“Tapi kegelapan yang diciptakan oleh kalian bisa merusak umat manusia. Aku adalah cahaya. Tugaskulah membuat manusia terhindar dari iblis seperti kalian!”, Rokku menggumamkan sesuatu seperti mantra dan seketika itu cahaya mengelilinginya dan dia bertranformasi. “Darkness should be vanished! I will purify you by the justice of God!”
“Kau yang memulai”, Kaito menyentuh earringnya dan dia mengucapkan mantra. Aura merah menelannya. Gedung sekolah lama seperti terangkat ke angkasa dan berubah menjadi galaksi yang hitam pekat.
“All Darkness is just a sins!”, Rokku mengepakkan ke empat sayap sucinya. Sayapnya yang putih menyinari galaksi yang pekat. Dia mengeluarkan Rapiernya. “Sword of light”, Menggoyangkannya kebawah dan sekarang pedang itu mengeluarkan cahaya yang sangat terang.
“Will you just shut up?”, Kaito pun mengeluarkan Double Daggernya.
Rokku melesat menuju Kaito dan terjadi adu pedang. Terjadi pertarungan sengit antara mereka dan kilatan-kilatan cahaya keluar dari masing-masing senjata. Rokku mencoba menebas Kaito dengan Sword of Lightnya tapi Kaito menahan dengan Daggernya. Terdengar bunyi pedang yang bercatrukan, Dagger Kaito menebas Rapier Rokku dan dia pun terjerembab.
“Oho”, Rokku tertawa, terlihat senang karna dia menemukan lawan yang kuat. Berdiri bangun, dia mulai menguatkan cahaya di Rapiernya.
“Taste this!”, Kaito terkunci. Pedang Rokku terbagi tujuh di angkasa mengelilingi Kaito. 1..2..3..4 tebasan secepat kilat menebas Kaito dan mengenai telak di tubuhnya. Sekarang Rokku menghilang, Menahan sakit, Kaito menyapu pandangannya berkeliling, tiba-tiba Rokku muncul di belakangnya dan menebasnya. Kaito tempak kesakitan. “Did my light purify you?” melesat dengan cepat Rokku menebas Kaito untuk yang terakhir kalinya dan salib putih pun terlihat menempel pada Kaito. “Taste my Dancing of Seven Light!”. Salib yang menempel pada Kaito menebas tubuh Kaito dari berbagai sisi.
“Arrhhh!!!” serangan Rokku melukai Kaito, dia terjatuh dan batuk darah.
Rokku berdiri di depan Kaito sambil mengacungkan pedangnya di depan muka Kaito. “Give up?”
Kaito tampak terengah-engah. Dia menyapu darah dari bibirnya. Kaito mengucapkan mantra. Energi dari galaksi yang pekat tampak tersedot masuk ke dalam tubuh Kaito. Tiba-tiba tubuh Kaito mengeluarkan ledakan yang membuat Rokku jatuh terjungkal. Ada sedikit api yang membakar sayap kirinya. Kaito menghilang.
Rokku tampak kebingungan mencari di mana Kaito sekarang, berusaha bediri dan dia berusaha menghilangkan api di sayapnya. Tanpa pernah terduga dan dia tidak memperhatikannya, Kaito ada di sana, di atasnya. Kaito muncul dengan badan yang di penuhi api dan di kedua tangannya tampak gelang api hitam berpijar..
“Now, me. Prepare your death.” Selagi Rokku sibuk memadamkan api di sayapnya Kaito melesat kebawah dengan cepat bagai meteor, dan menembus Rokku. Rokku yang masih sibuk dengan api di sayapnya, tidak sempat menangkis serangan Kaito.
“Revelation of Dark Fire”, Kaito berdiri di depan Rokku setelah menembus badannya yang sekarang terbakar seperti kertas.
“ARRRRGGGGGHHHHH!!!!!”. Rokku sepenuhnya terbakar oleh api Kaito. “You completely are sins!!!” api menyala besar di badan Rokku yang sekarang terlihat seperti api unggun. Api mulai membakar seluruh bagian tubuh Rokku, kepakan sayapnya tidak bisa menahan keganasan api Kaito, justru membuatnya semakin bertambah besar.
“I swear I’ll be back!!!!” api menelan habis Rokku. Dan Rokku pun menghilang menjadi abu.
Semua kembali seperti normal. Kaito kembali mengenakan Blazer sekolah tapi tampaknya badannya penuh goresan luka karna Dancing-Rokku. Dia berusaha berdiri, terbatuk-batuk lemas, dan dia jatuh terduduk. Kaito kehilangan kesadarannya dan dia akhirnya pingsan.
“Ruang klub! Miyu-chan ayo cepat!”
Aku berlarian dibelakang Kaze. Sumpah! Aku sangat membenci olahraga!
Bel tanda masuk sekolah sudah berbunyi. Tapi aku dan Kaze tidak mempedulikan hal itu, toh bolos 1 mata pelajaran saja kami tidak akan rugi. Sekarang yang penting adalah Kaito. Aku tertinggal jauh di belakang Kaze, paru-paruku sekarang rasanya sesak.
“Kaito!!”, pintu ruang klub terbuka dan terlihat disana Kaito yang pingsan. Aku baru sampai ketika Kaze sudah berusaha memapah Kaito, mengatur kembali nafasku, aku menyeruak masuk untuk membantu Kaze.
“Dia kenapa?” Aku memapah bahu kiri Kaito berusaha menjaga keseimbangan berat badannya.
“Aku merasakan adanya Angel. Aku mendengar dari temanku bahwa ada anak baru pindahan yang keturunan Kanada. Desas-desusnya wajahnya sangat tampan seperti malaikat”, aku membatin, Daichi punya saingan. ”Aku rasa Kaito baru saja bertarung dengannya”.
Kami berdua memapah Kaito ke ruang UKS, lagi. Menidurkannya di salah satu tempat tidur disitu dan Kaze memanggil guru kesehatan.
Aku berdiri di sebelah tempat tidurnya. Aku melihat ada bekas darah di bibirnya. Aku sedikit merasa pening. Aku phobia darah.
Kuberanikan diriku maju untuk mengelap darah di bibirnya menggunkan jempolku walau aku sendiri merasa pening dan tulangku ngilu. Aku melihat ke tangannya tampak sayatan-sayatan yang disebabkan oleh benda tajam. Pedang. Pikirku.
Guru kesehatan pun datang. Dia tampak menghela napas saat melihat Kaito.
“Dia berkelahi?”
Aku tidak tau harus menjawab apa, aku mengedikkan kepalaku kepada Kaze.
“Dia.. diserang”, Kaze menjelaskan dengan tenang. Pak guru itu pun hanya menghela nafas, kemudian dia membersihkan luka-luka Kaito dengan desinfektan.
“Masa muda”, Pak guru itu membalurkan perban di tangan Kaito, “Seharusnya kalian menikmati waktu kalian dengan membuat memori kebahagiaan, bukan dengan kekerasan”.
Aku menunduk mendengar pak guru itu berkhotbah. Tunggu. Kenapa jadi kami yang dimarahi?.
Pak guru itu selesai dengan semua pekerjaan membalur dan melingkarkan perbannya. Aku dan Kaze diminta olehnya untuk tetap menemani Kaito sampai dia tersadar.
“Nikmatilah masa mudamu selagi kau bisa. Buat banyak kenangan indah supaya ada hal yang bisa kau kenang di masa depan nanti. Karna masa depan tidak akan terjadi tanpa adanya masa lalu.” Pak guru yang tampak bersemangat itu pun melenggang keluar. Dia tampak menyeringai. Aku dan Kaze saling berpandangan, keheranan.
“Thou really are a fool, thou shall be punished..”
“I’m sorry.. my Lord”
Rokku menunduk kepada seseorang dengan cahaya yang pekat. Terlihat sangat besar.
“Those who lose to the sins will lost his keen..”
Suara yang menggelegar tampak menaungi Rokku. Rokku pasrah untuk diberikan hukuman. Dia pun berdiri dan hanya terdiam ketika 2 dari 4 sayapnya di musnahkan. Yang menandakan bahwa dia sekarang hanya Angel biasa.
“For Heaven’s sake”, air mata terlihat jatuh di pipi Rokku.
CHAPTER FIVE: Miyu’s Alter-ego.
Jam istirahat. Tapi hari ini aku sedang ingin menyendiri. Aku menemukan tempat yang nyaman. Halaman belakang sekolah. Jarang sekali murid Raigaku yang pernah singgah di tempat ini. kebanyakan dari mereka lebih suka berdiam di kantin atau perpustakaan, temapt yang dijadikan alasan untuk tidur di jam istirahat. Halaman ini dipenuhi rumput seperti karpet. Aku merebahkan tubuhku diatasnya. Aku mengambil roti melon yang selalu menjadi menuku saat jam makan siang, sambil mengunyahnya aku memperhatikan awan-awan yang bergerak pelan.
“Kenapa dadaku sesak tiap kali aku memikirkannya?”. Aku berbicara kepada langit.
“Itu tandanya kau menyukainya”
Seseorang menjawabku. Aku kaget. Kukira hanya aku sendiri disini. Aku tidak merasakan adanya orang lain. Kapan dia muncul?
“Maaf?”, aku mencoba mencari darimana asal suara itu.
Seorang laki-laki dengan rambut berantakan yang bersandar di balik pohon beringin yang bersebrangan namun berdekatan dari tempatku duduk itu tersenyum menatapku. “Aku bilang itu tanda kau menyukainya”
Aku kembali merebahkan tubuhku di atas rerumputan. “Benarkah?” kataku sambil kembali mengunyah roti melonku dan kembali memandangi awan.
“Apa kau tidak bisa berhenti memikirkannya? Apa kau merasa sakit ketika melihatnya? Apa kau merasa bodoh ketika memikirkannya?” katanya seperti menginterogasiku.
“Uhm..” Aku tidak tahu harus menjawab apa.
“Tidak apa-apa. Lama kelamaan kau akan menyadarinya bahwa itu perasaan yang istimewa”
Aku memejamkan mataku. Kaito muncul di benakku. Aku membuka mataku dan menatap lurus kepada awan-awan yang sekarang bentuknya sudah seperti Neptune yang membawa trisula.
“Benarkah aku menyukainya?” aku mengangkat tanganku untuk menutupi sinar matahari.”Kau tahu seperti apa itu cinta?” tanyaku pada orang itu. Tapi tidak ada jawaban. Aku menoleh kepadanya, Lho? Kemana dia? Dia menghilang! Rasanya tadi dia masih ada disini. Aku melihat ke sekeliling halaman tapi keberadaanya seperti ditelan angin. Masa sih dia hantu?!
“HEYYY!!!”
Aku mencoba memanggil dia lagi. Sunyi. Tidak ada jawaban. Aku berdiri dan menepuk-nepuk bajuku. Sedikit merinding, aku memutuskan untuk kembali ke kelas.
“Konsentrasikan pikiranmu pada gelang auramu. Pusatkan semua chakramu ke gelang tersebut dan paksa dia untuk membuka aliran watermu”. Ucap Kaze.
Hari ini aku memutuskan untuk berlatih meningkatkan levelku. Bersama Kaze di ruang gedung sekolah lama aku mengikuti setiap perintahnya. Aku memejamkan mataku dan mengatur pikiranku. Berusaha untuk mengosongkan pikiranku dan memusatkannya pada gelangku. Konsentrasi Miyu! Aku berusaha menyemangati diriku sendiri.
Aku merasakan aliran sejuk di sekeliling badanku. Aku tau chakraku sedang terbuka. Aku berusaha mengalirkannya pada gelangku.
Tiba-tiba.
“Kyaaaaaaaaaaaa!!!!!”
Sesuatu yang aneh terjadi padaku. Badanku dipenuhi cahaya sampai penglihatanku kabur. Badanku seperti dicabik-cabik. Aku tenggelam di cahaya putih yang menyilaukan itu.
“Miyu.”
Aku mengedipkan mataku, berusaha menajamkan penglihatanku pada suatu bentuk di depanku. Seorang gadis. Sebentar. Dia mirip denganku, ah tidak dia lebih cantik. Lalu aku sadar bahwa aku berdiri di tengah rawa. Air menggenangi sampai pinggangku. Ini sedikit menakutkanku, ada apa ini?
“Siapa.. kau?” tanyaku pada gadis berambut biru itu.
“Aku adalah bagian darimu, perwujudan gelangmu, aku adalah air, the queen of Aqua”. Katanya lalu tersenyum padaku.
“Ratu air?”
“Bisa dibilang seperti itu”. Dia menggerakan tangannya dan air mengalir dari jarinya dan mengelilingi badannya seperti lingkaran suci.
“Dimana ini?”
“Ini adalah dimensi lain, dimensi arwah”. Katanya.
“Dimensi arwah? Aku sudah mati?”
Dia tertawa mendengarku berbicara seperti itu. “Tidak anak bodoh, kau hanya mengunjungi dimensi kami”
Aku gugup. Dimensi arwah? Bukankah itu tempatnya orang-orang yang sudah mati? Aku melihat sekelilingku dan melihat kakiku. Sadar bahwa rawa ini seperti tak berujung, tapi entah mengapa aku masih terapung. Padahal aku tidak bisa berenang dan tidak tau caranya mengapungkan diri.
“Baiklah Miyu, dengarkan. Aku adalah bagian dari dirimu. Aku adalah kekuatanmu. Aku adalah pembuka kunci aliran chakramu. Jadi kita harus berteman supaya kau bisa mengeluarkan energimu”.
“Syaratnya?”, ucapku cemas.
“Apa kau selalu mengajukan syarat kalau ingin berteman dengan seseorang?”. Katanya sambil tersenyum.
Sekarang pusaran air mengelilingi tubuhku. Aku seperti berada di tengah topan air. Aku merasa melebur menjadi satu dengan air tersebut. Air ini aneh, terlihat lebih pekat dari air biasa. Dan mereka menelanku. Aneh. Di setiap latihan menahan nafas di dalam air aku hanya kuat bertahan selama 5 detik. Tapi, disini aku bisa bernafas. Di dalam air.
Lalu aku melihat sesuatu muncul, sesuatu yang seperti naga. Begitu besar dan bersisik dan kedua sayapnya berduri. Energiku seperti tersedot olehnya. Pusaran air yang mengelilingiku pun menghilang. Tersedot ke dalam rawa.
Tiba-tiba aku kembali ke ruang klub. Kaze di depanku.
“Maaf, tadi itu salahku, aku seharusnya menahan Leviathan juga mengunjungi itu di dalam dirimu.” Kaze menangkupkan kedua tangannya padaku.
“Leviathan?” engahku.
“Dewa air.” Katanya, “Dia adalah kekuatan spiritualmu, tapi dia tidak sama seperti gadis yang hadir di alam peralihanmu itu tadi. Dia memang ada di dalam dirimu tetapi Leviathan.. dia punya pemikiran sendiri. Namun disaat kau membutuhkan bantuannya kau bisa mensummonnya”
“Gadis itu, rawa itu, sebenarnya apa yang terjadi”.
“Seperti yang sudah dikatakan olehnya. Dia adalah bagian dari dirimu sekarang. Dia yang akan membantumu mengeluarkan kekuatanmu.” Lanjutnya, “Namanya Eirin”
Hari sudah gelap ketika aku memutuskan untuk pulang dan sekolah sudah sangat kosong. Aku melangkah menuju gedung Raigaku modern, berjalan memutari gedung olahraga yang lebih terang. Sekolah di malam hari sungguh menakutkan!
“BERIKAN UANGMU!”
Aku tersentak. Di depanku ada orang yang sedang dipalak oleh kakak kelas. Lagi, sepertinya aku mengenalnya.
“Belagak sekali memasukan tangan di kantung, cepat bagi kami uang!”
Kaito diam. Tidak melakukan apapun. Aku teringat sesuatu. Aku mengambil minuman soda di tasku yang siang tadi kubeli di kantin. Kukocok kaleng itu dan mendekati mereka.
“Hey! Kau tuli ya?” Salah seorang dari mereka yang terlihat memakai tindikan di bibirnya mulai mendekati Kaito.
“Tunggu! Ada seseorang”. Sepertinya ketua genk mereka melihatku.
Aku mendekati mereka dengan penuh keyakinan.
“Hmph, kakak-kakak yang baik aku punya hadiah untuk kalian”, ucapku sambil mendekati mereka.
“Apa?!”,
Kubuka tutup kaleng minuman soda itu tepat di depan muka kakak-kakak kelas yang besar itu. Isi kaleng soda muncrat mengenai mata mereka semua.
“ARGH!! MATAKU!!”
“Sial, awas kalian!” si ketua genk yang rambutnya setengah botak itu melarikan diri sambil mengucek-ucek matanya, diikuti 2 orang lainnya.
“Dasar, kelas 3 belajarlah yang benar seperti murid kelas 3”, kataku sambil meminum soda yang tersisa, dan kembali menoleh ke Kaito.
“Kenapa sih kau selalu berkelahi? Memangnya kau akan mati kalau tidak berkelahi ya?”
Kaito menunduk. Entah apa yang ada di pikirannya.
Aku melihat aliran merah di sekelilingnya. Aura seperti api yang mengelilinginya. Apa ini?
“Kaito? Kau tidak apa-apa?”, tanyaku cemas. Aku melihat matanya mulai berubah menjadi merah. Kaito seketika berdiri dan berlari, menghilang di tengah kegelapan. Aku seperti mendengar kepakan sayap dan ada seekor burung gagak terbang di atasku. Bulu kudukku berdiri. Keheranan, Aku buru-buru beranjak dari tempatku dan berlari pulang.
“Aku pulang, bu”. Sahutku sambil melepas sepatuku.
“Selamat datang”. Ibuku menjawab tapi aku merasakan hal yang aneh dari nada suaranya.
Aku mendekatinya. Dia menunduk lesu seperti baru saja terkena serangan listrik.
“Bu? Ibu kenapa?”, aku memegang pundaknya. Kuangkat wajahnya supaya aku bisa melihat wajahnya dan, dia seperti baru saja menangis.
“Orang itu, dia bilang dia akan menikah bulan ini”.
Aku mengepalkan tanganku. Orang itu. Orang yang seharusnya aku panggil ayah. Aku yang memberinya nomor telepon rumah kami berharap dia akan kembali seperti dulu. Kalau saja bukan ibuku yang menyuruhku, aku tidak akan sudi untuk berhubungan lagi dengan dia, karna tahu akan menyakitkan. Dan itu terbukti.
“Sudahlah, dia itu tidak penting bu. Tidak usah dipikirkan dan tidak usah datang!”
Ibuku melangkah menuju kamarnya dan aku mendengar isakannya. Kenapa sih, dia suka sekali menyiksa kami?
Aku tidak bisa tidur. Orang itu membuatku muak. Aku menatap gelang waterku. Memejamkan mata di tempat tidurku. Aku berkonsentrasi memusatkan energiku di gelang tersebut. Eirin, apa kau dengar? Apa kau bersamaku?
Suasana menjadi gelap. Tubuhku terasa melayang. Aku membuka mataku, sekarang aku berdiri di pertengahan danau. Ya danau, penuh air dan terlihat pekat.
“Eirin?”, aku mencoba memanggilnya.
Tidak ada jawaban.
Aku mencelupkan tanganku ke dalam air danau dan memusatkan pikiranku pada air tersebut. “Eirin, kau dengar aku?”
“Ya”, dia berdiri di hadapanku sekarang.
“Jadi kau benar-benar hidup di dalam diriku?”
“Miyu, tentu saja. Dan biarkan aku menjelaskan ini, aku lahir dari rasa kebencianmu. Aku terus menguat ketika perasaan bencimu semakin pekat. Aku selalu menunggu sampai akhirnya kau menyadari keberadaanku. Aku sungguh sangat berharap bisa membantumu membunuh kebencianmu itu.”
“Kebencianku?”, aku berpikir. Apa hal yang paling kubenci.. yang begitu kuat selain.. orang itu?
“Jika kau mau aku bisa membantumu memusnahkannya, lewat air”, Eirin menjentikkan tangannya dan sebuah spear muncul di tangannya. “Aku bisa mensummon sesuatu, tapi sepertinya badan manusiamu tidak cukup kuat untuk menahannya.” Katanya terlihat sedih,” tapi kita masih bisa melakukan hal yang lebih ringan”
Melakukan sesuatu? Itukah yang kuinginkan? Walau aku membencinya tapi bagaimanapun juga dia masih tetap ayahku.
“Eirin terima kasih, tapi.. aku tidak ingin melakukannya.. paling tidak untuk sekarang”.
Aku melihat bekerku. 05.45 pagi. Ahh, badanku terasa sangat pegal, inikah efek aku memanggilnya? Badan manusiaku tidak cukup kuat menahannya.
Dengan memaksakan diri aku beranjak dari tempat tidurku dan melakukan aktivitas rutinku.
Aku tidak melihat ibuku hari ini. kemana dia?
“Ryuu, mana ibu?”, tanyaku pada adik semata wayangku.
“Ibu.. pergi, ketempat ayah, subuh ini”
APA? Apa ibu sudah gila? Apa yang mau dia lakukan disana?!
“Ryuu, kau pergilah sekolah aku akan menjemput ibu, okay?!” nadaku meninggi, aku tidak bisa lagi menutupi kemarahanku.
Aku menyambar tasku dan berlari keluar berlawanan dari arah menuju sekolah.
Dang! Apa yang ibu pikirkan? Apa dia bersedia terluka demi melihat ayah dan calon istrinya?. Aku berlari menuju halte bis. 07.15. aku melirik jamku, semoga aku masih bisa berpapasan dengannya.
Hal yang biasa terjadi di siang hari yang sangat tidak kusukai. Macet. Aku menggigit kuku jempolku. Lama sekali!
Aku memutuskan untuk turun dari bis dan berlari menuju rumah mantan ayahku. Aku berlari dan berlari. Aku tidak pernah menyukai olahraga! Napasku seperti ingin habis. Aku tidak peduli aku terus berlari.
Melewati beberapa blok, sekarang aku melihatnya, ibu. Aku berlari ke arahnya dan menarik tangannya.
“Ibu!”, aku terengah-engah mencoba menangkap kembali nafasku.
”Ibu sudah gila? Ibu mau mati? Untuk apa ibu menemuinya? Untuk apa? Untuk kembali terluka? Untuk apa, bu? UNTUK APA MELIHAT ORANG YANG SUDAH MENYAKITI KITA!!”
Plak. Tamparan keras mendarat di pipiku.
Ibu menatapku dengan bibir gemetar. Aku meraba pipiku.
“Ibu..”
Air mata ibuku menetes di pipinya. Aku bisa melihat matanya, mata yang menahan sakit selama beberapa tahun. Rasanya sangat menyakitkan. Kesedihan yang dalam.
“Ibu hanya ingin memastikannya. Ibu ingin memastikan dengan mata ibu sendiri. Memastikan bahwa dia lebih baik dari ibu.” Suara ibu gemetar diselingi isak tangisnya yang tertahan.
Aku memeluknya. Tangisan ibu tumpah di bahuku. Aku mengelus punggungnya. Aku menggigit bibirku, berusaha untuk tegar. Ibu..
Gerimis mulai turun membasahi kami. Aku berjalan di depan ibuku. hanya memastikannya saja. Aku mendengar ada suara mobil mendekati kami. Kutarik tangan ibuku dan bersembunyi di balik tembok. Mobil Rolls Royce itu pun melewati kami. Aku mencoba mengintipnya, setelah memastikannya aman. Aku mengajak ibuku keluar dan mencoba mendekat.
Mobil itu berhenti. Seorang lelaki bertubuh tegap, memakai jas hitam keluar dari mobil. Melangkah menuju pintu kap-mobil yang lain dan membukakan pintu untuk seorang yang lain. Seorang wanita. Wanita yang berambut panjang mengenakan cardigan berwarna ungu. Dia terlihat muda. Wanita itu memeluk dan mencium ayahku mesra. Aku melihat ibu, dia membeku. Aku menarik tangannya.
“Sudah cukup”.
Aku mengajaknya pergi dari sana. Hujan mulai deras. Aku menutupi kepala ibuku dengan jaketku. Kami tidak bawa payung. Bagus sekali, ramalan cuaca menipu.
“Ibu, sekarang ibu puas?”
Ibu tidak menjawabku. Aku melihat wajahnya. Pucat sekali!
Perlahan-lahan aku merasa tangan ibu mengendur di tanganku. Dan dia pingsan. Oh, god.
Aku panik. Dengan susah payah aku memapah ibuku. Sekarang aku yang pucat.
“Bu! Ibu! Bangun!”
Aku semakin panik. Aku terus berjalan, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan selain berjalan. Aku lega sekali ketika melihat disana ada rumah sakit.
“Iya, aku tidak apa-apa, Ryuu. bisakah kau mengantarkan baju ganti untukku?, baiklah sudah ya”. Aku menutup handphone-ku.
Aku berdiri di depan ruang ICU sekarang, berharap bahwa ibuku akan baik-baik saja.
Aku mengetik pesan yang kutujukan untuk Hana dan Sakura.
Maaf hari ini aku tidak bisa masuk. Ibuku sedang sakit. –Miyu
Send. Aku menarik nafas. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku basah kuyup dan kedinginan.
“Miyu?”
Aku mendongakkan kepalaku, ”Daichi?”
“Kenapa kau disini? Kenapa kau basah kuyup?”, dia melepaskan blazernya dan menaruhnya di badanku.
“Ibuku sakit, kenapa kau disini?” tanyaku balik.
“ah aku hanya check-up rutin. Punggungku selalu sakit”
Aku sedang tidak ingin melakukan apapun kali ini. aku hanya diam saja ketika dia mengelap wajahku dengan sapu tangannya. Aku harus kuat.
“Sepertinya lebih baik kau mengganti bajumu. Kau bisa terkena flu. Jangan sampai malah kau yang harus dirawat disini.”
“Aku menunggu adikku, dia akan mengantarkan baju untukku”.
“Kalau begitu aku akan menunggu disini bersamamu”.
Aku terkekeh, “Kau ini terlalu baik hati. Aku tidak mau kalau kau menawariku formulir untuk menjadi fans mu”
Wajah Daichi memerah,”Aku tidak pernah menyuruh mereka membentuk klub untuk mengidolakanku”
Aku terkekeh. Ryuu datang dengan sweater abu-abunya dan membawa tas punggung yang dipenuhi stiker tokoh kesayangannya, seorang anak kecil berambut kuning yang di sebut sebagai ninja.
“Baiklah aku permisi dulu” aku meminta izin pada Daichi untuk mengganti bajuku di kamar mandi.
Di sudut kelas yang tak jauh dari kelas Miyu dan Kaito namun tak juga terlalu dekat dengan kelas Kaze terdengar keributan. Entah apa yang terjadi di kelas tersebut tetapi suara para wanita berhasil memekakkan telinga.
“Jadi anak-anak perkenalkan murid baru kita namanya Rokku.”
Pemuda tinggi itu terlihat berkilau. Para gadis melotot, melihat wajah tampannya. Senyumnya menyapu seisi kelas bagai menghipnotis para wanita. Rambutnya blonde berkilau dan matanya biru. Seperti Angel.
“Saya adalah keturunan Kanada, and now my daddy have some business here, jadi mohon bantuannya.” Ucapnya dengan logat Indonesia yang diacak-acak.
Para gadis terkikik mendengar nada bicaranya yang masih kental terukir khas Canada. Dan anehnya, dia menyeringai, terlihat puas.
TBC
Jam istirahat. Tapi hari ini aku sedang ingin menyendiri. Aku menemukan tempat yang nyaman. Halaman belakang sekolah. Jarang sekali murid Raigaku yang pernah singgah di tempat ini. kebanyakan dari mereka lebih suka berdiam di kantin atau perpustakaan, temapt yang dijadikan alasan untuk tidur di jam istirahat. Halaman ini dipenuhi rumput seperti karpet. Aku merebahkan tubuhku diatasnya. Aku mengambil roti melon yang selalu menjadi menuku saat jam makan siang, sambil mengunyahnya aku memperhatikan awan-awan yang bergerak pelan.
“Kenapa dadaku sesak tiap kali aku memikirkannya?”. Aku berbicara kepada langit.
“Itu tandanya kau menyukainya”
Seseorang menjawabku. Aku kaget. Kukira hanya aku sendiri disini. Aku tidak merasakan adanya orang lain. Kapan dia muncul?
“Maaf?”, aku mencoba mencari darimana asal suara itu.
Seorang laki-laki dengan rambut berantakan yang bersandar di balik pohon beringin yang bersebrangan namun berdekatan dari tempatku duduk itu tersenyum menatapku. “Aku bilang itu tanda kau menyukainya”
Aku kembali merebahkan tubuhku di atas rerumputan. “Benarkah?” kataku sambil kembali mengunyah roti melonku dan kembali memandangi awan.
“Apa kau tidak bisa berhenti memikirkannya? Apa kau merasa sakit ketika melihatnya? Apa kau merasa bodoh ketika memikirkannya?” katanya seperti menginterogasiku.
“Uhm..” Aku tidak tahu harus menjawab apa.
“Tidak apa-apa. Lama kelamaan kau akan menyadarinya bahwa itu perasaan yang istimewa”
Aku memejamkan mataku. Kaito muncul di benakku. Aku membuka mataku dan menatap lurus kepada awan-awan yang sekarang bentuknya sudah seperti Neptune yang membawa trisula.
“Benarkah aku menyukainya?” aku mengangkat tanganku untuk menutupi sinar matahari.”Kau tahu seperti apa itu cinta?” tanyaku pada orang itu. Tapi tidak ada jawaban. Aku menoleh kepadanya, Lho? Kemana dia? Dia menghilang! Rasanya tadi dia masih ada disini. Aku melihat ke sekeliling halaman tapi keberadaanya seperti ditelan angin. Masa sih dia hantu?!
“HEYYY!!!”
Aku mencoba memanggil dia lagi. Sunyi. Tidak ada jawaban. Aku berdiri dan menepuk-nepuk bajuku. Sedikit merinding, aku memutuskan untuk kembali ke kelas.
“Konsentrasikan pikiranmu pada gelang auramu. Pusatkan semua chakramu ke gelang tersebut dan paksa dia untuk membuka aliran watermu”. Ucap Kaze.
Hari ini aku memutuskan untuk berlatih meningkatkan levelku. Bersama Kaze di ruang gedung sekolah lama aku mengikuti setiap perintahnya. Aku memejamkan mataku dan mengatur pikiranku. Berusaha untuk mengosongkan pikiranku dan memusatkannya pada gelangku. Konsentrasi Miyu! Aku berusaha menyemangati diriku sendiri.
Aku merasakan aliran sejuk di sekeliling badanku. Aku tau chakraku sedang terbuka. Aku berusaha mengalirkannya pada gelangku.
Tiba-tiba.
“Kyaaaaaaaaaaaa!!!!!”
Sesuatu yang aneh terjadi padaku. Badanku dipenuhi cahaya sampai penglihatanku kabur. Badanku seperti dicabik-cabik. Aku tenggelam di cahaya putih yang menyilaukan itu.
“Miyu.”
Aku mengedipkan mataku, berusaha menajamkan penglihatanku pada suatu bentuk di depanku. Seorang gadis. Sebentar. Dia mirip denganku, ah tidak dia lebih cantik. Lalu aku sadar bahwa aku berdiri di tengah rawa. Air menggenangi sampai pinggangku. Ini sedikit menakutkanku, ada apa ini?
“Siapa.. kau?” tanyaku pada gadis berambut biru itu.
“Aku adalah bagian darimu, perwujudan gelangmu, aku adalah air, the queen of Aqua”. Katanya lalu tersenyum padaku.
“Ratu air?”
“Bisa dibilang seperti itu”. Dia menggerakan tangannya dan air mengalir dari jarinya dan mengelilingi badannya seperti lingkaran suci.
“Dimana ini?”
“Ini adalah dimensi lain, dimensi arwah”. Katanya.
“Dimensi arwah? Aku sudah mati?”
Dia tertawa mendengarku berbicara seperti itu. “Tidak anak bodoh, kau hanya mengunjungi dimensi kami”
Aku gugup. Dimensi arwah? Bukankah itu tempatnya orang-orang yang sudah mati? Aku melihat sekelilingku dan melihat kakiku. Sadar bahwa rawa ini seperti tak berujung, tapi entah mengapa aku masih terapung. Padahal aku tidak bisa berenang dan tidak tau caranya mengapungkan diri.
“Baiklah Miyu, dengarkan. Aku adalah bagian dari dirimu. Aku adalah kekuatanmu. Aku adalah pembuka kunci aliran chakramu. Jadi kita harus berteman supaya kau bisa mengeluarkan energimu”.
“Syaratnya?”, ucapku cemas.
“Apa kau selalu mengajukan syarat kalau ingin berteman dengan seseorang?”. Katanya sambil tersenyum.
Sekarang pusaran air mengelilingi tubuhku. Aku seperti berada di tengah topan air. Aku merasa melebur menjadi satu dengan air tersebut. Air ini aneh, terlihat lebih pekat dari air biasa. Dan mereka menelanku. Aneh. Di setiap latihan menahan nafas di dalam air aku hanya kuat bertahan selama 5 detik. Tapi, disini aku bisa bernafas. Di dalam air.
Lalu aku melihat sesuatu muncul, sesuatu yang seperti naga. Begitu besar dan bersisik dan kedua sayapnya berduri. Energiku seperti tersedot olehnya. Pusaran air yang mengelilingiku pun menghilang. Tersedot ke dalam rawa.
Tiba-tiba aku kembali ke ruang klub. Kaze di depanku.
“Maaf, tadi itu salahku, aku seharusnya menahan Leviathan juga mengunjungi itu di dalam dirimu.” Kaze menangkupkan kedua tangannya padaku.
“Leviathan?” engahku.
“Dewa air.” Katanya, “Dia adalah kekuatan spiritualmu, tapi dia tidak sama seperti gadis yang hadir di alam peralihanmu itu tadi. Dia memang ada di dalam dirimu tetapi Leviathan.. dia punya pemikiran sendiri. Namun disaat kau membutuhkan bantuannya kau bisa mensummonnya”
“Gadis itu, rawa itu, sebenarnya apa yang terjadi”.
“Seperti yang sudah dikatakan olehnya. Dia adalah bagian dari dirimu sekarang. Dia yang akan membantumu mengeluarkan kekuatanmu.” Lanjutnya, “Namanya Eirin”
Hari sudah gelap ketika aku memutuskan untuk pulang dan sekolah sudah sangat kosong. Aku melangkah menuju gedung Raigaku modern, berjalan memutari gedung olahraga yang lebih terang. Sekolah di malam hari sungguh menakutkan!
“BERIKAN UANGMU!”
Aku tersentak. Di depanku ada orang yang sedang dipalak oleh kakak kelas. Lagi, sepertinya aku mengenalnya.
“Belagak sekali memasukan tangan di kantung, cepat bagi kami uang!”
Kaito diam. Tidak melakukan apapun. Aku teringat sesuatu. Aku mengambil minuman soda di tasku yang siang tadi kubeli di kantin. Kukocok kaleng itu dan mendekati mereka.
“Hey! Kau tuli ya?” Salah seorang dari mereka yang terlihat memakai tindikan di bibirnya mulai mendekati Kaito.
“Tunggu! Ada seseorang”. Sepertinya ketua genk mereka melihatku.
Aku mendekati mereka dengan penuh keyakinan.
“Hmph, kakak-kakak yang baik aku punya hadiah untuk kalian”, ucapku sambil mendekati mereka.
“Apa?!”,
Kubuka tutup kaleng minuman soda itu tepat di depan muka kakak-kakak kelas yang besar itu. Isi kaleng soda muncrat mengenai mata mereka semua.
“ARGH!! MATAKU!!”
“Sial, awas kalian!” si ketua genk yang rambutnya setengah botak itu melarikan diri sambil mengucek-ucek matanya, diikuti 2 orang lainnya.
“Dasar, kelas 3 belajarlah yang benar seperti murid kelas 3”, kataku sambil meminum soda yang tersisa, dan kembali menoleh ke Kaito.
“Kenapa sih kau selalu berkelahi? Memangnya kau akan mati kalau tidak berkelahi ya?”
Kaito menunduk. Entah apa yang ada di pikirannya.
Aku melihat aliran merah di sekelilingnya. Aura seperti api yang mengelilinginya. Apa ini?
“Kaito? Kau tidak apa-apa?”, tanyaku cemas. Aku melihat matanya mulai berubah menjadi merah. Kaito seketika berdiri dan berlari, menghilang di tengah kegelapan. Aku seperti mendengar kepakan sayap dan ada seekor burung gagak terbang di atasku. Bulu kudukku berdiri. Keheranan, Aku buru-buru beranjak dari tempatku dan berlari pulang.
“Aku pulang, bu”. Sahutku sambil melepas sepatuku.
“Selamat datang”. Ibuku menjawab tapi aku merasakan hal yang aneh dari nada suaranya.
Aku mendekatinya. Dia menunduk lesu seperti baru saja terkena serangan listrik.
“Bu? Ibu kenapa?”, aku memegang pundaknya. Kuangkat wajahnya supaya aku bisa melihat wajahnya dan, dia seperti baru saja menangis.
“Orang itu, dia bilang dia akan menikah bulan ini”.
Aku mengepalkan tanganku. Orang itu. Orang yang seharusnya aku panggil ayah. Aku yang memberinya nomor telepon rumah kami berharap dia akan kembali seperti dulu. Kalau saja bukan ibuku yang menyuruhku, aku tidak akan sudi untuk berhubungan lagi dengan dia, karna tahu akan menyakitkan. Dan itu terbukti.
“Sudahlah, dia itu tidak penting bu. Tidak usah dipikirkan dan tidak usah datang!”
Ibuku melangkah menuju kamarnya dan aku mendengar isakannya. Kenapa sih, dia suka sekali menyiksa kami?
Aku tidak bisa tidur. Orang itu membuatku muak. Aku menatap gelang waterku. Memejamkan mata di tempat tidurku. Aku berkonsentrasi memusatkan energiku di gelang tersebut. Eirin, apa kau dengar? Apa kau bersamaku?
Suasana menjadi gelap. Tubuhku terasa melayang. Aku membuka mataku, sekarang aku berdiri di pertengahan danau. Ya danau, penuh air dan terlihat pekat.
“Eirin?”, aku mencoba memanggilnya.
Tidak ada jawaban.
Aku mencelupkan tanganku ke dalam air danau dan memusatkan pikiranku pada air tersebut. “Eirin, kau dengar aku?”
“Ya”, dia berdiri di hadapanku sekarang.
“Jadi kau benar-benar hidup di dalam diriku?”
“Miyu, tentu saja. Dan biarkan aku menjelaskan ini, aku lahir dari rasa kebencianmu. Aku terus menguat ketika perasaan bencimu semakin pekat. Aku selalu menunggu sampai akhirnya kau menyadari keberadaanku. Aku sungguh sangat berharap bisa membantumu membunuh kebencianmu itu.”
“Kebencianku?”, aku berpikir. Apa hal yang paling kubenci.. yang begitu kuat selain.. orang itu?
“Jika kau mau aku bisa membantumu memusnahkannya, lewat air”, Eirin menjentikkan tangannya dan sebuah spear muncul di tangannya. “Aku bisa mensummon sesuatu, tapi sepertinya badan manusiamu tidak cukup kuat untuk menahannya.” Katanya terlihat sedih,” tapi kita masih bisa melakukan hal yang lebih ringan”
Melakukan sesuatu? Itukah yang kuinginkan? Walau aku membencinya tapi bagaimanapun juga dia masih tetap ayahku.
“Eirin terima kasih, tapi.. aku tidak ingin melakukannya.. paling tidak untuk sekarang”.
Aku melihat bekerku. 05.45 pagi. Ahh, badanku terasa sangat pegal, inikah efek aku memanggilnya? Badan manusiaku tidak cukup kuat menahannya.
Dengan memaksakan diri aku beranjak dari tempat tidurku dan melakukan aktivitas rutinku.
Aku tidak melihat ibuku hari ini. kemana dia?
“Ryuu, mana ibu?”, tanyaku pada adik semata wayangku.
“Ibu.. pergi, ketempat ayah, subuh ini”
APA? Apa ibu sudah gila? Apa yang mau dia lakukan disana?!
“Ryuu, kau pergilah sekolah aku akan menjemput ibu, okay?!” nadaku meninggi, aku tidak bisa lagi menutupi kemarahanku.
Aku menyambar tasku dan berlari keluar berlawanan dari arah menuju sekolah.
Dang! Apa yang ibu pikirkan? Apa dia bersedia terluka demi melihat ayah dan calon istrinya?. Aku berlari menuju halte bis. 07.15. aku melirik jamku, semoga aku masih bisa berpapasan dengannya.
Hal yang biasa terjadi di siang hari yang sangat tidak kusukai. Macet. Aku menggigit kuku jempolku. Lama sekali!
Aku memutuskan untuk turun dari bis dan berlari menuju rumah mantan ayahku. Aku berlari dan berlari. Aku tidak pernah menyukai olahraga! Napasku seperti ingin habis. Aku tidak peduli aku terus berlari.
Melewati beberapa blok, sekarang aku melihatnya, ibu. Aku berlari ke arahnya dan menarik tangannya.
“Ibu!”, aku terengah-engah mencoba menangkap kembali nafasku.
”Ibu sudah gila? Ibu mau mati? Untuk apa ibu menemuinya? Untuk apa? Untuk kembali terluka? Untuk apa, bu? UNTUK APA MELIHAT ORANG YANG SUDAH MENYAKITI KITA!!”
Plak. Tamparan keras mendarat di pipiku.
Ibu menatapku dengan bibir gemetar. Aku meraba pipiku.
“Ibu..”
Air mata ibuku menetes di pipinya. Aku bisa melihat matanya, mata yang menahan sakit selama beberapa tahun. Rasanya sangat menyakitkan. Kesedihan yang dalam.
“Ibu hanya ingin memastikannya. Ibu ingin memastikan dengan mata ibu sendiri. Memastikan bahwa dia lebih baik dari ibu.” Suara ibu gemetar diselingi isak tangisnya yang tertahan.
Aku memeluknya. Tangisan ibu tumpah di bahuku. Aku mengelus punggungnya. Aku menggigit bibirku, berusaha untuk tegar. Ibu..
Gerimis mulai turun membasahi kami. Aku berjalan di depan ibuku. hanya memastikannya saja. Aku mendengar ada suara mobil mendekati kami. Kutarik tangan ibuku dan bersembunyi di balik tembok. Mobil Rolls Royce itu pun melewati kami. Aku mencoba mengintipnya, setelah memastikannya aman. Aku mengajak ibuku keluar dan mencoba mendekat.
Mobil itu berhenti. Seorang lelaki bertubuh tegap, memakai jas hitam keluar dari mobil. Melangkah menuju pintu kap-mobil yang lain dan membukakan pintu untuk seorang yang lain. Seorang wanita. Wanita yang berambut panjang mengenakan cardigan berwarna ungu. Dia terlihat muda. Wanita itu memeluk dan mencium ayahku mesra. Aku melihat ibu, dia membeku. Aku menarik tangannya.
“Sudah cukup”.
Aku mengajaknya pergi dari sana. Hujan mulai deras. Aku menutupi kepala ibuku dengan jaketku. Kami tidak bawa payung. Bagus sekali, ramalan cuaca menipu.
“Ibu, sekarang ibu puas?”
Ibu tidak menjawabku. Aku melihat wajahnya. Pucat sekali!
Perlahan-lahan aku merasa tangan ibu mengendur di tanganku. Dan dia pingsan. Oh, god.
Aku panik. Dengan susah payah aku memapah ibuku. Sekarang aku yang pucat.
“Bu! Ibu! Bangun!”
Aku semakin panik. Aku terus berjalan, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan selain berjalan. Aku lega sekali ketika melihat disana ada rumah sakit.
“Iya, aku tidak apa-apa, Ryuu. bisakah kau mengantarkan baju ganti untukku?, baiklah sudah ya”. Aku menutup handphone-ku.
Aku berdiri di depan ruang ICU sekarang, berharap bahwa ibuku akan baik-baik saja.
Aku mengetik pesan yang kutujukan untuk Hana dan Sakura.
Maaf hari ini aku tidak bisa masuk. Ibuku sedang sakit. –Miyu
Send. Aku menarik nafas. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku basah kuyup dan kedinginan.
“Miyu?”
Aku mendongakkan kepalaku, ”Daichi?”
“Kenapa kau disini? Kenapa kau basah kuyup?”, dia melepaskan blazernya dan menaruhnya di badanku.
“Ibuku sakit, kenapa kau disini?” tanyaku balik.
“ah aku hanya check-up rutin. Punggungku selalu sakit”
Aku sedang tidak ingin melakukan apapun kali ini. aku hanya diam saja ketika dia mengelap wajahku dengan sapu tangannya. Aku harus kuat.
“Sepertinya lebih baik kau mengganti bajumu. Kau bisa terkena flu. Jangan sampai malah kau yang harus dirawat disini.”
“Aku menunggu adikku, dia akan mengantarkan baju untukku”.
“Kalau begitu aku akan menunggu disini bersamamu”.
Aku terkekeh, “Kau ini terlalu baik hati. Aku tidak mau kalau kau menawariku formulir untuk menjadi fans mu”
Wajah Daichi memerah,”Aku tidak pernah menyuruh mereka membentuk klub untuk mengidolakanku”
Aku terkekeh. Ryuu datang dengan sweater abu-abunya dan membawa tas punggung yang dipenuhi stiker tokoh kesayangannya, seorang anak kecil berambut kuning yang di sebut sebagai ninja.
“Baiklah aku permisi dulu” aku meminta izin pada Daichi untuk mengganti bajuku di kamar mandi.
Di sudut kelas yang tak jauh dari kelas Miyu dan Kaito namun tak juga terlalu dekat dengan kelas Kaze terdengar keributan. Entah apa yang terjadi di kelas tersebut tetapi suara para wanita berhasil memekakkan telinga.
“Jadi anak-anak perkenalkan murid baru kita namanya Rokku.”
Pemuda tinggi itu terlihat berkilau. Para gadis melotot, melihat wajah tampannya. Senyumnya menyapu seisi kelas bagai menghipnotis para wanita. Rambutnya blonde berkilau dan matanya biru. Seperti Angel.
“Saya adalah keturunan Kanada, and now my daddy have some business here, jadi mohon bantuannya.” Ucapnya dengan logat Indonesia yang diacak-acak.
Para gadis terkikik mendengar nada bicaranya yang masih kental terukir khas Canada. Dan anehnya, dia menyeringai, terlihat puas.
TBC
Chapter Four: He’s Returned!
Hah. Bagus benar. Kehidupanku di sekolah ini yang kukira akan berjalan normal ternyata jauh dari kesan seperti itu. Aku malu sekali. Aku paling tidak suka untuk tampil di depan umum. Aku tidak suka tatapan orang-orang yang menatapku tajam.
“Miyu! Miyu! Kami ukur dulu ya!” kata anak-anak bagian kostum memulai pengerjaan membuat kostumku untuk pentas. Aku pun pasrah untuk diambil ukuran tubuhku.
Aku melirik ke Kaito. Padahal dia bilang malas tapi toh, dia menghapalkan dialog dengan sungguh-sungguh. Cih. Aku tidak bisa menghindar lagi.
“Miyu! Kemari! Kemari!” ucap Sakura memanggilku. Nampaknya dia akan berperan sebagai kurcaci.
“Ada apa?”
“Ini naskahmu”, katanya,”aku tidak menduga ternyata Kaito mengerjakannya dengan sungguh-sungguh, ini bisa jadi kesempatanmu kan?”, katanya sambil berkedip kepadaku.
“Hah?”
“Miyu, sebentar aku ukur lenganmu”, ucap Hana. Dia membantu di bagian kostum. Hana mengukur panjang lenganku. Memang sih, pikirku. Kaito tampak mengerjakannya dengan sungguh-sungguh, Kaito yang suka tidur itu. Hebat. Aku tidak pernah bisa menebak bagaimana jalan pikirannya.
“Miyu, apa kau sudah baca naskahnya?” tanya Hana.
“Eh? Belum sih, memang kenapa?”.
“Coba kau baca bagian akhirnya.”
Aku membuka beberapa lembar naskah untuk peranku. “Dan pangeran pun mencium Snow white untuk mematahkan kutukan sihir sang ratu.” Ucapku. Tunggu. APA?!
“Jadi, Miyu, kau sudah siap?” tanya Hana sambil terkekeh.
Tunggu. Ini bercanda kan? Ini kan pentas seni sekolah, masa sih ada adegan berciuman?
“Hana, ini tidak mungkin terjadi kan? Ini kan pentas sekolah semua guru akan melihat. Pasti akan dihilangkan kan?”
“Yah, aku tidak tahu pasti yang menulis cerita naskahnya kan bukan aku. Coba kau tanya sutradara”.
Mataku menyapu aula sekolah mencari sang ketua kelas, dia bertugas sebagai sang sutradara. Lalu aku menghampirinya.
“Ketua, ada yang ingin aku tanyakan”. Ucapku.
“Ya, silahkan saja, Miyu”
“Ini, aku membaca di bagian akhir naskah, ada adegan berciuman, apakah.. apakah itu harus aku lakukan?” tanyaku berharap agar adegan itu dihapus saja.
“Hmm.. bagaimana ya, ini pentas sekolah tapi kami sudah terlanjur menulis naskah seperti itu.”
Tolonglah kau kan sutradara, batinku geram.
“Cermin oh cermin, beritahu aku siapakah yang paling cantik di dunia ini?”, rupanya anak yang memerankan sang Ratu sedang latihan drama.
“Tambang-tambang kita harus pergi menambang”. Aku melihat Sakura yang juga sedang berlatih menghafal naskah.
Ah. Apa aku terlalu egois kalau aku seenaknya meminta sutradara mengganti naskahku? Bagaimana nasib yang lain? Mereka sudah bersusah payah tidak pedulu apapun peran mereka, tapi aku?
“Miyu, nanti aku akan berdiskusi dengan sang penulis naskah, kau mau ikut?”, tanya sutradara.
“Uhm.. maaf aku berubah pikiran. Sebaiknya biarkan saja naskahnya seperti itu”. Senyumku. Lalu aku melenggang pergi.
Fwah. Rasanya badanku pegal semua. Tulang-tulangku serasa ingin copot dari sendinya.
“Bolehkah aku tinggal disini?”, aku berlatih menghafal naskah. Haaaah, semoga saja semuanya bisa berjalan lancar nanti.
Drama, pikirku sambil memperhatikan atap. Aku belum pernah seaklipun menjadi peran utama, apalagi tampil di depan panggung ditonton oleh satu sekolah, ah tidak, banyak orang akan muncul di festival ini. Argh, aku malu sekali. Merinding membayangkan hal itu.
My heart cursed at me, because I can’t even say I love you
Handphone ku berdering. Ada pesan masuk.
Miyu-chan, kau sudah mendapatkan gelangnya? Kalau sudah besok kutunggu di kantin. –Kaze
Ya Tuhan. Aku hampir lupa, aku menyambar tasku dan mengaduk-aduk isinya yang sudah seperti tong sampah. Itu dia. Syukurlah gelangnya tidak hilang. Sifat pelupaku ini benar-benar harus dihilangkan. Kupakai gelang itu di tangan kananku. Ada ukiran di gelang itu. Aqua. Kalau tidak salah itu adalah bahasa Latin dari air? Batinku. Kira-kira gelang ini untuk apa ya? Sambil memikirkannya aku pun tertidur.
“Aku menyukaimu”
“Maaf aku… tidak bisa”
“….”
“Kalau begitu jangan salahkan aku kalau aku sudah tidak ada lagi di dunia ini.”
Tiba-tiba kabut muncul dalam mimpiku. Aku merasakan tubuhku seperti membeku. Dingin sekali sampai aku tidak bisa bergerak. Seseorang muncul di mimpiku.
“Miyu.. aku rindu sekali padamu”
“Yoshiki.. bagaimana bisa.. kau kan sudah lama.. mati.”
“Ya, aku sudah mati. Tapi aku tetap ingin bersamamu ,Miyu. Aku mencintaimu. Kemarilah bersamaku.”
“Tidak, aku tidak mau”
“Ayolah Miyu, kau tega membiarkanku kedinginan disini?”
“Tidak. Ini hanya ilusi.”
TIDAAAAAAAAAAAAAAAAAAKKKKKK
Aku tersentak bangun. Mimpi. Syukurlah, tapi terasa begitu nyata. Kakiku masih terasa membeku. Dingin sekali. Ada apa ini? Kenapa bisa Yoshiki hadir di mimpiku? Aku sudah berusaha menguburnya dalam-dalam 2 tahun terakhir ini, tapi kenapa?
Aku terus memikirkannya beberapa hari ini. Kakiku juga terus-terusan terasa dingin. Padahal orang-orang di sekitarku merasa kepanasan karena Matahari begitu terik tapi aku malah kedinginan. Kenapa Yoshiki mengajakku bersamanya? kenapa dia masih bisa mengontakku? Dia sudah lama mati dan aku sudah berhenti memikirkannya, tapi kenapa?
Aku mengacak-acak rambutku karena kesal.
“Ada apa?”.
Aku kaget sampai terjatuh dari kursiku. Kelas ini kan harusnya kosong. Sekarang pelajaran olahraga tapi badanku sangat lemas dan aku merasa kedinginan. Maka aku izin untuk tetap tinggal di kelas. Aku mendongakkan kepalaku untuk melihat siapa yang barusan bertanya kepadaku.
“Kaito? Kau tidak ikut pelajaran olahraga?”,
“Aku sudah selesai. Hanya mengambil nilai sprint.”
Ohh. Pasti dia pemegang rekor tercepat, pikirku.
“Miyu.. kau..” Kaito memperhatikanku.
Entah kenapa tapi aku merasa ada yang aneh.
“Pegang tanganku”, ucapnya setelah menatapku tajam.
“Eh?”
“Cepat!”
Aku memegang tangan Kaito, dan dia mengucapkan kalimat-kalimat aneh seperti mantra yang tidak kumengerti. Seperti Kaze.
Dan tubuhku pun mulai menghangat. Hawa dingin yang menyerangku tadi terasa memudar. Lagi, Kaito mengucapkan hal yang tidak kumengerti, dia tampak berkonsentrasi. Badanku seperti terbakar. Dan sepertinya dia selesai dengan semua itu. Dia melepaskan tanganku. Aku kehabisan nafas. Entah kenapa terjadi seperti ini.
“Dark Ice menginginkanmu”, katanya, “Apa kau merasa kedinginan akhir-akhir ini?”.
“Iya”, ucapku.
“Begitu. Kau harus hati-hati. Cobalah merendam kakimu di air hangat kalau kau merasa kedinginan lagi.”
Aku merasakan kehangatan yang lain di sekitar wajahku. Berbeda dengan saat Kaito mengucapkan mantra. Perasaan yang hangat.
“Dark ice?”
“Ya, begitu kata Kaito”
Kaze mengulum sedotannya. Sepertinya dia berpikir sesuatu.
“Apa ada seseorang yang kau kenal di masa lalu yang adalah dark ice?”, tanya Kaze.
”Aku tidak tahu”.
“Kau bawa gelangnya? Ah aku lihat kau sudah memakainya”
“Gelang ini, untuk apa?”, tanyaku
“Itu kunci untuk membuka aliran watermu”, katanya sambil menggigit-gigit sedotannya lagi. “Kau pernah melihat punya Kaito? Dia memakai earring untuk membuka fire nya. Yang seperti tindikan di telinga kirinya. Sedangkan aku,” dia mengeluarkan benda yang seperti kalung dari dalam blazernya,”dan Daichi, dia menggunakan cincin”.
“Kau harus lebih banyak bermeditasi untuk membuka kuncinya. Pusatkan pikiranmu pada gelang itu, maka dia akan membuka chakra yang ada di dalam tubuhmu, lalu kau bisa mengalirkan energi water”.
“I see, baiklah akan kucoba nanti! Aja aja hwaiting!!”, kataku menyemangati diri sendiri. Kaze tertawa,”Dasar aneh”.
Hari pertunjukkan, orang-orang makin sibuk menyiapkan perlengkapan untuk pentas hari ini. Aku duduk di kursiku. Aku mulai merasa kedinginan lagi, kali ini lebih dingin dari sebelumnya.mukaku pucat dan badanku lemas. Rasanya aku mau pingsan.
“Miyu”, seseorang menghampiriku. “Maaf tapi untuk sementara jangan jauh-jauh dariku”. Ucap Kaito.
Badanku pun membeku. Aku sudah tidak tahan lagi. Aku mulai kehilangan kesadaranku.
“Miyu, bertahanlah! Pegang tanganku!”, samar-samar kudengar suaranya. Dia menarik tanganku. Badanku mulai menghangat lagi.
”Shit! Dia menantangku!”, entah kenapa Kaito marah.
“Kaito..” , aku mencoba bertahan tapi entah kenapa untuk tetap sadar rasanya sulit sekali.
“Khh!”, Kaito mencoba bertahan.
Aku merasakan aliran panas dan dingin di badanku. Bagian atas tubuhku terasa sangat panas tetapi kakiku membeku. Aku sudah tidak sanggup untuk bertahan. Aku hilang kesadaran.
“Miyu!!”, aku mendengar suara Hana berteriak, dan suara orang-orang yang mulai ribut.
“Miyu, ayo tinggalah bersamaku, disini kita akan bisa tetap bersama selamanya”
“Yoshiki, kumohon hentikan. Kau hanya masa laluku dan akan tetap seperti itu. Perasaanku padamu sudah hilang!”
Kabut mulai menyelimuti badanku.Masih setengah sadar, Aku membuka mulutku tapi rasanya suaraku tertahan di tenggorokan ku
“Ini hanya mimpi”, ucapku panik, “hanya mimpi.. bangun Miyu! Bangun!”
“Kau sudah terkunci disini bersamaku Miyu, kau tidak akan bisa kembali ke alam nyata”
“Tidak! Tolong! Tolong!! KAITO!!!
Entah darimana dia muncul di mimpiku. Mengenakan jubah berwarna merah, tetapi dia tetap misterius seperti di kehidupan nyata.
“KAU!!!”, Kaito tampak marah dan menyerang Yoshiki. Dia membakarnya.
“Kau tidak bisa mengalahkanku! Dia milikku jangan ganggu!”, Yoshiki mencoba memadamkan api Kaito dengan ice-nya. Kaito mulai terdesak. Dia mundur dan melesat menghampiriku. Lalu dia menarik tubuhku, atau jiwaku lebih tepatnya. Dan kami pun menghilang ditengah kemarahan Yoshiki.
“Miyu! Miyu! Sadarlah!!”, Hana berteriak-teriak di sampingku.
“Ukhh…”, perlahan-lahan kubuka mataku. Langit rasanya berkunang-kunang. Aku mencoba mengumpulkan kesadaranku. Aku berusaha untuk duduk dan Sakura memberiku obat penghilang demam.
“Miyu, kau tidak apa-apa? Kau sakit?”, tanya Hana. “Kalau kau sakit bilang saja. Kami akan berusaha mencari penggantimu”
“Aku tidak apa-apa Hana, jangan khawatir”, aku meminum obat yang diberikan Sakura.”Terima kasih”, ucapku pada Sakura.
“Apa yang sebenarnya terjadi? Kau terlihat berdua dengan Kaito dan kau tiba-tiba pingsan!”, Hana terlihat sangat cemas.
“Aku juga tidak tahu apa persisnya Hana, aku merasa terjebak di alam mimpi”.
“Miyu, kau sudah tidak apa-apa?”, Sutradara menanyaiku.”Waktumu sepuluh menit lagi sebelum pentas”.
“Iya aku sudah siap”.
“Miyu”, Hana menatapku dengan cemas. Aku tersenyum padanya seolah mengatakan jangan khawatir padanya.
Dan waktuku tiba. Disana ada banyak orang berkumpul. Oh tidak aku gugup!. Tenang Miyu, tenang. Aku berusaha menyemangati diriku sendiri. Aku tidak akan mengecewakan ibu yang sudah mengorbankan waktunya untuk menonton pertunjukanku. Aku tidak mau mengecewakan teman-teman yang sudah bersusah payah demi panggung ini.
Dan aku pun mulai berperan sebagai Snow White.
“Bolehkah aku tinggal disini?”, tanyaku pada kurcaci ketika adegan dimana Snow White tinggal di Kotej pada para kurcaci.
Lalu sampai pada adeganku memakan apel beracun. Aku berpura-pura pingsan dan aku bisa melihat Sakura membopongku untuk ditidurkan di peti kaca karena dia berperan sebagai kurcaci. Rasakan kau, Sakura. Batinku.
“Kasihan sekali putri yang cantik ini, seandainya saja dia bisa hidup kembali aku akan menikahinya”, Kaito bermonolog.
Aku menahan tawaku.
“Snow White. Biarkan aku menjadi penawar racunmu”.
Tunggu. Seriously. Dia benar-benar ingin melakukannya? Aku menahan keinginanku untuk membuka mataku. Aku bisa merasakan Kaito mendekatiku. Aku bisa merasakan nafasnya di wajahku. Dia benar-benar melakukannya!. Aku merasakan basah di bibirku. Kami berciuman.sontak aku membuka mataku. Aku tidak bisa menutup mataku!.
“Putri telah sadar!”, Sakura berteriak dan di ikuti oleh kurcaci-kurcaci yang lain.
Aku berdiri dan para kurcaci menari-nari di sekelilingku. Aku bisa melihat Sakura menyeringai kepadaku, aku tidak sadar Kaito masih ada di sana, memegang tanganku.
“Putri, biarkan aku menikahimu”, ucapnya sambil membungkuk dan mencium tanganku.
Jantungku berdebar kencang sekali serasa ingin keluar dan lari dari tubuhku. God! Aku lupa dialogku!
“Ba-baiklah”, wajahku sangat panas. Wajahku langsung memerah tanpa melewati berseri-seri terlebih dulu.
Lalu setting panggung berubah menjadi pernikahan Snow White dan Pangeran. Dan tirai pun menutup. Aku terpaku. Wajahku masih panas. Aku masih terpaku di panggung.
“Yuk”, Kaito menarik tanganku untuk turun dari panggung. Tolong! Jantungku terasa ingin meledak!
Aku diam. Aku tidak tahu harus berkata apa. Yang tadi itu, mimpikah? Tanpa sadar aku mengusap bibirku.
“Miyu,” tiba-tiba Kaito berbalik memandangku.
“Y-Ya?”,
“Apa kau merasa ada bagian tubuhmu yang mati rasa?”
“Uhm.. tidak juga”.
Dia melihatku tajam untuk beberapa saat. “Baguslah”. katanya, lalu pergi.
Begitu saja? Pikirku. Apa-apaan dia, jantungku sudah hampir meledak tapi dia masih bisa bersikap seakan tidak terjadi apa-apa? Kenapa dia bisa berbuat begitu padaku? Dia hanya main-mainkah tadi? Tapi itu ciuman pertamaku!
Argh. Entah kenapa aku menjadi kesal.
“Miyu, kau capek tidak?”, Hana membantuku melepas kostumku.
“Sangat”, ucapku sambil menghela nafas.
“Baiklah hari ini aku akan mentraktirmu dan juga Sakura makan enak!”,
“Benarkah? Makasih Hanaaaa”, aku memeluknya dan dia memelukku.
“Ups. Maaf aku mengganggu”, Sakura datang.
“Sakuraaaa”, aku juga memeluknya juga dan Hana mengikutiku.
“Hey lepaskan! Aku bukan Tingky Wingky”.
“Miyu, Hana, Sakura, ayo kita lakukan toss”, sang sekretaris menyuruh kami menghadiri acara penutupan pentas. Kami pun segera berlari kesana.
“Terima kasih untuk kalian semua, berkat kalian pentas kita sukses besar! Terima kasih semuanyaaaa, kampaaiii”, sang sutradara melakukan toss.
“Dan juga terima kasih untuk Miyu dan Kaito, sepertinya bakal ada pasangan baru di kelas kita nih!” ucap seorang cowok yang tadi memerankan kurcaci ungu. Dan semuanya pun tertawa. Wajahku sangat memerah, aku ingin kabur!
Sudah malam, badanku rasanya hancur. Aku terlalu takut untuk tidur. Bagaimana kalau Yoshiki datang lagi ke dalam mimpiku?
Aku melihat handphone ku tegeletak di depanku. Aku menekan tombol tanpa sadar dan menelefonnya. Lalu aku melihat monitor telponku. Kaito. Aishhh.. kenapa malah aku memanggilnya?
“Halo?”, ucap suara di sebrang sana.
Bagaimana ini, bagaimana. Oh tuhan apa boleh buat sudah terlanjur.
“Ha-halo. Kaito? Ini aku Miyu.”
“Oh. Ada apa?”
“Apa aku aman untuk tidur?” eh? Apa yang kukatakan?!
“Kau mau aku menemanimu tidur? Ha ha ha”.
Baru kali ini aku mendengar Kaito tertawa, aku tertegun.
“Aku serius, aku takut, dia tidak akan datang lagi kan?”
“Hmm. Aku tidak bisa menjamin. Tidurlah, aku akan menjagamu. Aku akan membuatkanmu perlindungan”.
“Begitu, baiklah. Terima kasih dan.. good night”. Aku merasa lebih tenang dan tertidur.
Bekerku selalu setia membangunkanku. Ahh, aku tidur lelap sekali. Sampai tidak ingat semalam mimpi apa. Aku merasa nyaman sekali. Hangat. aku bergegas mandi dan turun ke bawah untuk membantu ibuku.
“Kak Miyu, kau tidak pernah sarapan?”, tanya Ryuu, Adikku.
“Aku malas, Ryuu. Ini”. Aku menyerahkan kotak bekal makanannya.
“Bu, aku berangkat”
Hari ini hari Rabu, batinku. Hari yang selalu kusukai, entah mengapa tapi hari Rabu selalu menjadi hari yang berarti buatku. Aku mengingat-ingat kejadian kemarin. Uhh. Tanpa sadar aku megelus bibirku. Ciuman pertamaku. Jantungku berdegup kencang. Sakit. Aku mengelus dadaku. Jantungku rasanya sangat ingin berlari keluar dari tubuhku.
“Miyu”, tiba-tiba aku hampir menabrak seseorang. Untung remku pakem.
“Kaito? Ada apa?”, kenapa orang yang paling tidak ingin aku temui malah muncul di hadapanku sih?
“Jangan jauh-jauh dariku, untuk sementara ini, sampai aku punya cara untuk mengalahkan dark ice”
Aku terpaku. Yah, aku tahu aku masih lemah, aku tidak keberatan kalau dia ingin menolongku mengusir Yoshiki, aku malah senang. Tapi..
Kami berjalan bersama menuju sekolah. Dalam diam. Jantungku berpacu sangat kencang. Aku berharap Kaito tidak mendengarnya.
“Yang kemarin”, dia memulai percakapan,”Tolong jangan terlalu dipikirkan, itu hanya akting”.
Apa? Bagaimana bisa aku tidak memikirkannya? Itu ciuman pertamaku! Dan aku harus menganggapnya hanya akting? Ya, hanya akting. Aku menghela napas. Mencoba tegar. Kaito bodoh!
“Miyu, kau sudah jadian dengan dia?” tanya Sakura.
“Dia siapa maksudmu?” tanyaku sambil melahap roti melonku.
“Kaito”, Hana nyengir.
“Siapa bilang? Kami hanya berteman, seperti aku dan kalian saja”.
“Tapi aku merasa akhir-akhir ini kalian sangat dekat”. Hana menyatap sushi-nya lagi.
Ya, dia mendekatiku karna Yoshiki. Dark ice! Bukan aku. What an irony.
Aku mulai merasakannya lagi. Kakiku dingin! Oh tidak, Yoshiki. Jangan lagi!
Aku membungkuk. Mencoba menggosok lenganku. Dingin. Aku kembali ke kelas dan mengambil jaketku. Sial tidak mempan! Kaito. Dimana dia?
Kakiku membeku. Aku duduk di kursiku. Mencoba menghangatkan diriku sendiri. Aku melihat gelang waterku. Konsentrasi Miyu! Konsentrasi!
Aku menunduk sambil memeluk lenganku. Dingin sekali! Kumohon hentikan! Aku membeku!
Kesadaranku mulai menjauh lagi. Mataku mulai buram melihat ke papan tulis kelas. Tidak.. seseorang tolong aku!
“Miyu…”. Samar-samar aku mendengar suara Yoshiki memanggilku.
Kesadaranku semakin menjauh. Aku mencoba berteriak tetapi suaraku tertahan di tenggorokanku. Semua orang sedang di kantin. Aku membaringkan kepalaku di meja. Badanku semakin membeku. Aku pasrah. Ahh, mungkin sudah waktunya.. aku akan mati di dalam mimpiku sendiri.. aku mulai menutup mataku. Rasanya dingin sekali sampai aku tak tahan untuk terus membuka mataku.
Aku melihat seseorang, berlari menghampiriku. Siapa dia? Aku sudah tak sanggup lagi bertahan. Aku kehilangan kesadaranku.
“Miyu. Aku sangat mencintaimu. Kita bisa bahagia hidup bersama di dunia ini”
“Yoshiki, maaf.. aku tidak bisa. Kau hanya bagian dari masa laluku. Kembalikan aku ke dunia nyata!”
“Bagaimana kalau aku tidak mau?”
“Yoshiki, kumohon..”
Yoshiki menatap ke atas. Aku bingung apa yang sedang terjadi.
“KAU LAGI! MENGGANGGU SAJA!!!” dia berteriak, tampaknya seseorang mengganggu dia.
Aku melihat sesuatu. Cahaya. 2 orang! Yang satu menaiki naga api dan satunya membawa death scythe. Kaito dan Kaze.
Aku tidak tahu pasti, tapi lagi-lagi mereka menggumamkan hal yang tidak kumengerti.
Kaze mendekati jiwaku dan me-lock-ku pada sealnya. Tatapannya padaku seolah mengatakan “diam saja disitu”. Dan mereka pun bertarung. Yoshiki mengerahkan ice-nya, Kaito membakarnya dan Kaze membesarkan apinya dengan anginnya.
Aku tidak tahu persis apa yang terjadi selanjutnya. Aku merasa seperti di dalam kristal, aku tidak sanggup lagi membuka mataku. Aku tidak merasakan apapun. Aku rasa aku sekarat.
Selewat beberapa jam, atau menit, aku tidak tahu pasti. Tapi aku mulai bisa merasakan lagi tubuhku. Dan aku tahu pasti, Kaito dan Kaze memenangkan pertarungan itu. Yoshiki menghilang. Aku membuka mataku. Hawa dingin masih menyerangku walau kali ini terasa lebih tipis dari sebelumnya. Aku tersadar. Ruang UKS, pikirku.
Sejak kapan aku berada di sini? Aku mulai mencium bau obat-obatan. Aku benci ini. Aku berusaha untuk duduk, tanpa menyadari ada orang yang juga mendiami UKS ini, tertidur di samping tempat tidurku. Kaito. Sepertinya dia terluka? Apa karna Yoshiki?
Aku memperhatikannya. Dia sudah menyelamatkan nyawaku. Dia terluka demi aku. Aku sungguh lemah. Aku benci diriku sendiri. Seharusnya ini masalahku. Seharusnya aku tidak usah melibatkan orang lain. Apalagi sampai mempertaruhkan nyawa demi orang bodoh sepertiku? Aku menahan air mataku.
“Miyu, kau sudah sadar?”, Kaze masuk sambil membawa obat-obatan. “Hmm? Tidak usah ditahan”. Katanya setelah melihat mataku.
“Kaze.. maaf..”. Air mataku mulai mengalir.
“Maaf? Untuk apa?” katanya sambil menepuk kepalaku.
“Karena aku.. kalian terluka. Demi aku yang bodoh ini, kau.. Kaito..”, aku memandang dia yang terbaring di tempat tidurnya.
“Sudahlah, tidak apa-apa. Lagipula Kaito itu kuat, dia tidak akan mati semudah itu, jangan khawatir”, Kaze melangkah ke arah Kaito dan mengobati lukanya.
“Biar aku saja”, aku melompat dari tempat tidurku, Kaze memberiku desinfektan-nya, dan aku mengoleskannya pada luka Kaito lalu menutupnya dengan plester.
Aku menghapus air mataku. “Kaze, terima kasih sekali kalian sudah menyelamatkan nyawaku”, aku membungkuk dalam.
“Haha, tidak perlu berterima kasih padaku, sudah lah sesama teman kita harus saling membantu kan?”,
Aku beruntung sekali mempunyai teman seperti mereka. Pintu ruang UKS menjeblak terbuka. Daichi tampak kehabisan nafas.
“Kudengar Miyu dan Kaito jatuh pingsan dan kalian ada di ruang UKS, ada apa ini?”, tanya Daichi kepada Kaze. “eh.. Miyu ternyata kau sudah sadar”, katanya setelah menyadari aku berdiri di belakangnya. Aku terkikik.
“Aku sudah tidak apa-apa”.
“Kau terlambat sekali Daichi”. Kaze menjentikkan jarinya di dahi Daichi. “Tadi kami perang, seru sekali lho”.
Kaito membuka matanya, dia sudah tersadar. Dia berusaha duduk.
“Kaito.. kau tidak apa-apa?”, tanyaku sedikit cemas.
“Yeah”
“Maafkan aku.. seharusnya aku tidak membiarkanmu melawannya. Maaf… dan terimakasih”, ucapku sambil membungkukkan badan lagi.
Pagi ini aku berangkat terlalu pagi, kelas masih sangat kosong, hanya terlihat beberapa orang saja yang hilir mudik di halaman sekolah. Aku berdiri di balkon kelas, entah kemana pandanganku mengarah, yang pasti aku hanya memikirkan 1 hal. Kaito. Mengapa aku tidak bisa berhenti memikirkannya akhir-akhir ini. Kenapa dia mau menolongku? Bukankah dia membenciku? Apa yang harus kulakukan? Tapi berkat dia Yoshiki tidak pernah muncul lagi dimimpiku. Heeeh banyak sekali hal di pikiranku akhir-akhir ini.
Sighs. Apa yang harus kulakukan sekarang. Bengong memikirkan sesuatu aku tidak sadar ada orang mendekatiku.
“Miyu, bengong itu tidak baik lho”, Daichi menepuk pundakku.
“Daichi!”, ucapku kaget.”Hampir saja aku kena serangan jantung!”
“Maaf maaf”, katanya sambil terkekeh, “Kau sudah tidak apa-apa?”
“Yah, aku merasa sangat baik”
“Kau ini selalu datang pagi, ya”, ucap Daichi akhirnya berdiri di sampingku di balkon kelas.
Aku melihat ke kiri dan kanan. Aku takut fans-fans Daichi melihat. Aku bisa mati di bangku SMA.
“Yahh, aku suka udara pagi”, ucapku, “Kau juga selalu datang pagi, sibukkah menjadi ketua OSIS?”, ucapku terkikik.
“Begitulah, tapi menjadi ketua OSIS itu menyengkan loh. Kau bisa mengenal dan dikenal oleh banyak orang. Kau punya kekuasaan atas murid-murid di sekolah ini, rasanya seperti seorang raja. Kau harus coba juga tahun depan”
“Tidak terima kasih, aku tidak ingin menjadi artis”, ucapku sambil tertawa.
TBC
Hah. Bagus benar. Kehidupanku di sekolah ini yang kukira akan berjalan normal ternyata jauh dari kesan seperti itu. Aku malu sekali. Aku paling tidak suka untuk tampil di depan umum. Aku tidak suka tatapan orang-orang yang menatapku tajam.
“Miyu! Miyu! Kami ukur dulu ya!” kata anak-anak bagian kostum memulai pengerjaan membuat kostumku untuk pentas. Aku pun pasrah untuk diambil ukuran tubuhku.
Aku melirik ke Kaito. Padahal dia bilang malas tapi toh, dia menghapalkan dialog dengan sungguh-sungguh. Cih. Aku tidak bisa menghindar lagi.
“Miyu! Kemari! Kemari!” ucap Sakura memanggilku. Nampaknya dia akan berperan sebagai kurcaci.
“Ada apa?”
“Ini naskahmu”, katanya,”aku tidak menduga ternyata Kaito mengerjakannya dengan sungguh-sungguh, ini bisa jadi kesempatanmu kan?”, katanya sambil berkedip kepadaku.
“Hah?”
“Miyu, sebentar aku ukur lenganmu”, ucap Hana. Dia membantu di bagian kostum. Hana mengukur panjang lenganku. Memang sih, pikirku. Kaito tampak mengerjakannya dengan sungguh-sungguh, Kaito yang suka tidur itu. Hebat. Aku tidak pernah bisa menebak bagaimana jalan pikirannya.
“Miyu, apa kau sudah baca naskahnya?” tanya Hana.
“Eh? Belum sih, memang kenapa?”.
“Coba kau baca bagian akhirnya.”
Aku membuka beberapa lembar naskah untuk peranku. “Dan pangeran pun mencium Snow white untuk mematahkan kutukan sihir sang ratu.” Ucapku. Tunggu. APA?!
“Jadi, Miyu, kau sudah siap?” tanya Hana sambil terkekeh.
Tunggu. Ini bercanda kan? Ini kan pentas seni sekolah, masa sih ada adegan berciuman?
“Hana, ini tidak mungkin terjadi kan? Ini kan pentas sekolah semua guru akan melihat. Pasti akan dihilangkan kan?”
“Yah, aku tidak tahu pasti yang menulis cerita naskahnya kan bukan aku. Coba kau tanya sutradara”.
Mataku menyapu aula sekolah mencari sang ketua kelas, dia bertugas sebagai sang sutradara. Lalu aku menghampirinya.
“Ketua, ada yang ingin aku tanyakan”. Ucapku.
“Ya, silahkan saja, Miyu”
“Ini, aku membaca di bagian akhir naskah, ada adegan berciuman, apakah.. apakah itu harus aku lakukan?” tanyaku berharap agar adegan itu dihapus saja.
“Hmm.. bagaimana ya, ini pentas sekolah tapi kami sudah terlanjur menulis naskah seperti itu.”
Tolonglah kau kan sutradara, batinku geram.
“Cermin oh cermin, beritahu aku siapakah yang paling cantik di dunia ini?”, rupanya anak yang memerankan sang Ratu sedang latihan drama.
“Tambang-tambang kita harus pergi menambang”. Aku melihat Sakura yang juga sedang berlatih menghafal naskah.
Ah. Apa aku terlalu egois kalau aku seenaknya meminta sutradara mengganti naskahku? Bagaimana nasib yang lain? Mereka sudah bersusah payah tidak pedulu apapun peran mereka, tapi aku?
“Miyu, nanti aku akan berdiskusi dengan sang penulis naskah, kau mau ikut?”, tanya sutradara.
“Uhm.. maaf aku berubah pikiran. Sebaiknya biarkan saja naskahnya seperti itu”. Senyumku. Lalu aku melenggang pergi.
Fwah. Rasanya badanku pegal semua. Tulang-tulangku serasa ingin copot dari sendinya.
“Bolehkah aku tinggal disini?”, aku berlatih menghafal naskah. Haaaah, semoga saja semuanya bisa berjalan lancar nanti.
Drama, pikirku sambil memperhatikan atap. Aku belum pernah seaklipun menjadi peran utama, apalagi tampil di depan panggung ditonton oleh satu sekolah, ah tidak, banyak orang akan muncul di festival ini. Argh, aku malu sekali. Merinding membayangkan hal itu.
My heart cursed at me, because I can’t even say I love you
Handphone ku berdering. Ada pesan masuk.
Miyu-chan, kau sudah mendapatkan gelangnya? Kalau sudah besok kutunggu di kantin. –Kaze
Ya Tuhan. Aku hampir lupa, aku menyambar tasku dan mengaduk-aduk isinya yang sudah seperti tong sampah. Itu dia. Syukurlah gelangnya tidak hilang. Sifat pelupaku ini benar-benar harus dihilangkan. Kupakai gelang itu di tangan kananku. Ada ukiran di gelang itu. Aqua. Kalau tidak salah itu adalah bahasa Latin dari air? Batinku. Kira-kira gelang ini untuk apa ya? Sambil memikirkannya aku pun tertidur.
“Aku menyukaimu”
“Maaf aku… tidak bisa”
“….”
“Kalau begitu jangan salahkan aku kalau aku sudah tidak ada lagi di dunia ini.”
Tiba-tiba kabut muncul dalam mimpiku. Aku merasakan tubuhku seperti membeku. Dingin sekali sampai aku tidak bisa bergerak. Seseorang muncul di mimpiku.
“Miyu.. aku rindu sekali padamu”
“Yoshiki.. bagaimana bisa.. kau kan sudah lama.. mati.”
“Ya, aku sudah mati. Tapi aku tetap ingin bersamamu ,Miyu. Aku mencintaimu. Kemarilah bersamaku.”
“Tidak, aku tidak mau”
“Ayolah Miyu, kau tega membiarkanku kedinginan disini?”
“Tidak. Ini hanya ilusi.”
TIDAAAAAAAAAAAAAAAAAAKKKKKK
Aku tersentak bangun. Mimpi. Syukurlah, tapi terasa begitu nyata. Kakiku masih terasa membeku. Dingin sekali. Ada apa ini? Kenapa bisa Yoshiki hadir di mimpiku? Aku sudah berusaha menguburnya dalam-dalam 2 tahun terakhir ini, tapi kenapa?
Aku terus memikirkannya beberapa hari ini. Kakiku juga terus-terusan terasa dingin. Padahal orang-orang di sekitarku merasa kepanasan karena Matahari begitu terik tapi aku malah kedinginan. Kenapa Yoshiki mengajakku bersamanya? kenapa dia masih bisa mengontakku? Dia sudah lama mati dan aku sudah berhenti memikirkannya, tapi kenapa?
Aku mengacak-acak rambutku karena kesal.
“Ada apa?”.
Aku kaget sampai terjatuh dari kursiku. Kelas ini kan harusnya kosong. Sekarang pelajaran olahraga tapi badanku sangat lemas dan aku merasa kedinginan. Maka aku izin untuk tetap tinggal di kelas. Aku mendongakkan kepalaku untuk melihat siapa yang barusan bertanya kepadaku.
“Kaito? Kau tidak ikut pelajaran olahraga?”,
“Aku sudah selesai. Hanya mengambil nilai sprint.”
Ohh. Pasti dia pemegang rekor tercepat, pikirku.
“Miyu.. kau..” Kaito memperhatikanku.
Entah kenapa tapi aku merasa ada yang aneh.
“Pegang tanganku”, ucapnya setelah menatapku tajam.
“Eh?”
“Cepat!”
Aku memegang tangan Kaito, dan dia mengucapkan kalimat-kalimat aneh seperti mantra yang tidak kumengerti. Seperti Kaze.
Dan tubuhku pun mulai menghangat. Hawa dingin yang menyerangku tadi terasa memudar. Lagi, Kaito mengucapkan hal yang tidak kumengerti, dia tampak berkonsentrasi. Badanku seperti terbakar. Dan sepertinya dia selesai dengan semua itu. Dia melepaskan tanganku. Aku kehabisan nafas. Entah kenapa terjadi seperti ini.
“Dark Ice menginginkanmu”, katanya, “Apa kau merasa kedinginan akhir-akhir ini?”.
“Iya”, ucapku.
“Begitu. Kau harus hati-hati. Cobalah merendam kakimu di air hangat kalau kau merasa kedinginan lagi.”
Aku merasakan kehangatan yang lain di sekitar wajahku. Berbeda dengan saat Kaito mengucapkan mantra. Perasaan yang hangat.
“Dark ice?”
“Ya, begitu kata Kaito”
Kaze mengulum sedotannya. Sepertinya dia berpikir sesuatu.
“Apa ada seseorang yang kau kenal di masa lalu yang adalah dark ice?”, tanya Kaze.
”Aku tidak tahu”.
“Kau bawa gelangnya? Ah aku lihat kau sudah memakainya”
“Gelang ini, untuk apa?”, tanyaku
“Itu kunci untuk membuka aliran watermu”, katanya sambil menggigit-gigit sedotannya lagi. “Kau pernah melihat punya Kaito? Dia memakai earring untuk membuka fire nya. Yang seperti tindikan di telinga kirinya. Sedangkan aku,” dia mengeluarkan benda yang seperti kalung dari dalam blazernya,”dan Daichi, dia menggunakan cincin”.
“Kau harus lebih banyak bermeditasi untuk membuka kuncinya. Pusatkan pikiranmu pada gelang itu, maka dia akan membuka chakra yang ada di dalam tubuhmu, lalu kau bisa mengalirkan energi water”.
“I see, baiklah akan kucoba nanti! Aja aja hwaiting!!”, kataku menyemangati diri sendiri. Kaze tertawa,”Dasar aneh”.
Hari pertunjukkan, orang-orang makin sibuk menyiapkan perlengkapan untuk pentas hari ini. Aku duduk di kursiku. Aku mulai merasa kedinginan lagi, kali ini lebih dingin dari sebelumnya.mukaku pucat dan badanku lemas. Rasanya aku mau pingsan.
“Miyu”, seseorang menghampiriku. “Maaf tapi untuk sementara jangan jauh-jauh dariku”. Ucap Kaito.
Badanku pun membeku. Aku sudah tidak tahan lagi. Aku mulai kehilangan kesadaranku.
“Miyu, bertahanlah! Pegang tanganku!”, samar-samar kudengar suaranya. Dia menarik tanganku. Badanku mulai menghangat lagi.
”Shit! Dia menantangku!”, entah kenapa Kaito marah.
“Kaito..” , aku mencoba bertahan tapi entah kenapa untuk tetap sadar rasanya sulit sekali.
“Khh!”, Kaito mencoba bertahan.
Aku merasakan aliran panas dan dingin di badanku. Bagian atas tubuhku terasa sangat panas tetapi kakiku membeku. Aku sudah tidak sanggup untuk bertahan. Aku hilang kesadaran.
“Miyu!!”, aku mendengar suara Hana berteriak, dan suara orang-orang yang mulai ribut.
“Miyu, ayo tinggalah bersamaku, disini kita akan bisa tetap bersama selamanya”
“Yoshiki, kumohon hentikan. Kau hanya masa laluku dan akan tetap seperti itu. Perasaanku padamu sudah hilang!”
Kabut mulai menyelimuti badanku.Masih setengah sadar, Aku membuka mulutku tapi rasanya suaraku tertahan di tenggorokan ku
“Ini hanya mimpi”, ucapku panik, “hanya mimpi.. bangun Miyu! Bangun!”
“Kau sudah terkunci disini bersamaku Miyu, kau tidak akan bisa kembali ke alam nyata”
“Tidak! Tolong! Tolong!! KAITO!!!
Entah darimana dia muncul di mimpiku. Mengenakan jubah berwarna merah, tetapi dia tetap misterius seperti di kehidupan nyata.
“KAU!!!”, Kaito tampak marah dan menyerang Yoshiki. Dia membakarnya.
“Kau tidak bisa mengalahkanku! Dia milikku jangan ganggu!”, Yoshiki mencoba memadamkan api Kaito dengan ice-nya. Kaito mulai terdesak. Dia mundur dan melesat menghampiriku. Lalu dia menarik tubuhku, atau jiwaku lebih tepatnya. Dan kami pun menghilang ditengah kemarahan Yoshiki.
“Miyu! Miyu! Sadarlah!!”, Hana berteriak-teriak di sampingku.
“Ukhh…”, perlahan-lahan kubuka mataku. Langit rasanya berkunang-kunang. Aku mencoba mengumpulkan kesadaranku. Aku berusaha untuk duduk dan Sakura memberiku obat penghilang demam.
“Miyu, kau tidak apa-apa? Kau sakit?”, tanya Hana. “Kalau kau sakit bilang saja. Kami akan berusaha mencari penggantimu”
“Aku tidak apa-apa Hana, jangan khawatir”, aku meminum obat yang diberikan Sakura.”Terima kasih”, ucapku pada Sakura.
“Apa yang sebenarnya terjadi? Kau terlihat berdua dengan Kaito dan kau tiba-tiba pingsan!”, Hana terlihat sangat cemas.
“Aku juga tidak tahu apa persisnya Hana, aku merasa terjebak di alam mimpi”.
“Miyu, kau sudah tidak apa-apa?”, Sutradara menanyaiku.”Waktumu sepuluh menit lagi sebelum pentas”.
“Iya aku sudah siap”.
“Miyu”, Hana menatapku dengan cemas. Aku tersenyum padanya seolah mengatakan jangan khawatir padanya.
Dan waktuku tiba. Disana ada banyak orang berkumpul. Oh tidak aku gugup!. Tenang Miyu, tenang. Aku berusaha menyemangati diriku sendiri. Aku tidak akan mengecewakan ibu yang sudah mengorbankan waktunya untuk menonton pertunjukanku. Aku tidak mau mengecewakan teman-teman yang sudah bersusah payah demi panggung ini.
Dan aku pun mulai berperan sebagai Snow White.
“Bolehkah aku tinggal disini?”, tanyaku pada kurcaci ketika adegan dimana Snow White tinggal di Kotej pada para kurcaci.
Lalu sampai pada adeganku memakan apel beracun. Aku berpura-pura pingsan dan aku bisa melihat Sakura membopongku untuk ditidurkan di peti kaca karena dia berperan sebagai kurcaci. Rasakan kau, Sakura. Batinku.
“Kasihan sekali putri yang cantik ini, seandainya saja dia bisa hidup kembali aku akan menikahinya”, Kaito bermonolog.
Aku menahan tawaku.
“Snow White. Biarkan aku menjadi penawar racunmu”.
Tunggu. Seriously. Dia benar-benar ingin melakukannya? Aku menahan keinginanku untuk membuka mataku. Aku bisa merasakan Kaito mendekatiku. Aku bisa merasakan nafasnya di wajahku. Dia benar-benar melakukannya!. Aku merasakan basah di bibirku. Kami berciuman.sontak aku membuka mataku. Aku tidak bisa menutup mataku!.
“Putri telah sadar!”, Sakura berteriak dan di ikuti oleh kurcaci-kurcaci yang lain.
Aku berdiri dan para kurcaci menari-nari di sekelilingku. Aku bisa melihat Sakura menyeringai kepadaku, aku tidak sadar Kaito masih ada di sana, memegang tanganku.
“Putri, biarkan aku menikahimu”, ucapnya sambil membungkuk dan mencium tanganku.
Jantungku berdebar kencang sekali serasa ingin keluar dan lari dari tubuhku. God! Aku lupa dialogku!
“Ba-baiklah”, wajahku sangat panas. Wajahku langsung memerah tanpa melewati berseri-seri terlebih dulu.
Lalu setting panggung berubah menjadi pernikahan Snow White dan Pangeran. Dan tirai pun menutup. Aku terpaku. Wajahku masih panas. Aku masih terpaku di panggung.
“Yuk”, Kaito menarik tanganku untuk turun dari panggung. Tolong! Jantungku terasa ingin meledak!
Aku diam. Aku tidak tahu harus berkata apa. Yang tadi itu, mimpikah? Tanpa sadar aku mengusap bibirku.
“Miyu,” tiba-tiba Kaito berbalik memandangku.
“Y-Ya?”,
“Apa kau merasa ada bagian tubuhmu yang mati rasa?”
“Uhm.. tidak juga”.
Dia melihatku tajam untuk beberapa saat. “Baguslah”. katanya, lalu pergi.
Begitu saja? Pikirku. Apa-apaan dia, jantungku sudah hampir meledak tapi dia masih bisa bersikap seakan tidak terjadi apa-apa? Kenapa dia bisa berbuat begitu padaku? Dia hanya main-mainkah tadi? Tapi itu ciuman pertamaku!
Argh. Entah kenapa aku menjadi kesal.
“Miyu, kau capek tidak?”, Hana membantuku melepas kostumku.
“Sangat”, ucapku sambil menghela nafas.
“Baiklah hari ini aku akan mentraktirmu dan juga Sakura makan enak!”,
“Benarkah? Makasih Hanaaaa”, aku memeluknya dan dia memelukku.
“Ups. Maaf aku mengganggu”, Sakura datang.
“Sakuraaaa”, aku juga memeluknya juga dan Hana mengikutiku.
“Hey lepaskan! Aku bukan Tingky Wingky”.
“Miyu, Hana, Sakura, ayo kita lakukan toss”, sang sekretaris menyuruh kami menghadiri acara penutupan pentas. Kami pun segera berlari kesana.
“Terima kasih untuk kalian semua, berkat kalian pentas kita sukses besar! Terima kasih semuanyaaaa, kampaaiii”, sang sutradara melakukan toss.
“Dan juga terima kasih untuk Miyu dan Kaito, sepertinya bakal ada pasangan baru di kelas kita nih!” ucap seorang cowok yang tadi memerankan kurcaci ungu. Dan semuanya pun tertawa. Wajahku sangat memerah, aku ingin kabur!
Sudah malam, badanku rasanya hancur. Aku terlalu takut untuk tidur. Bagaimana kalau Yoshiki datang lagi ke dalam mimpiku?
Aku melihat handphone ku tegeletak di depanku. Aku menekan tombol tanpa sadar dan menelefonnya. Lalu aku melihat monitor telponku. Kaito. Aishhh.. kenapa malah aku memanggilnya?
“Halo?”, ucap suara di sebrang sana.
Bagaimana ini, bagaimana. Oh tuhan apa boleh buat sudah terlanjur.
“Ha-halo. Kaito? Ini aku Miyu.”
“Oh. Ada apa?”
“Apa aku aman untuk tidur?” eh? Apa yang kukatakan?!
“Kau mau aku menemanimu tidur? Ha ha ha”.
Baru kali ini aku mendengar Kaito tertawa, aku tertegun.
“Aku serius, aku takut, dia tidak akan datang lagi kan?”
“Hmm. Aku tidak bisa menjamin. Tidurlah, aku akan menjagamu. Aku akan membuatkanmu perlindungan”.
“Begitu, baiklah. Terima kasih dan.. good night”. Aku merasa lebih tenang dan tertidur.
Bekerku selalu setia membangunkanku. Ahh, aku tidur lelap sekali. Sampai tidak ingat semalam mimpi apa. Aku merasa nyaman sekali. Hangat. aku bergegas mandi dan turun ke bawah untuk membantu ibuku.
“Kak Miyu, kau tidak pernah sarapan?”, tanya Ryuu, Adikku.
“Aku malas, Ryuu. Ini”. Aku menyerahkan kotak bekal makanannya.
“Bu, aku berangkat”
Hari ini hari Rabu, batinku. Hari yang selalu kusukai, entah mengapa tapi hari Rabu selalu menjadi hari yang berarti buatku. Aku mengingat-ingat kejadian kemarin. Uhh. Tanpa sadar aku megelus bibirku. Ciuman pertamaku. Jantungku berdegup kencang. Sakit. Aku mengelus dadaku. Jantungku rasanya sangat ingin berlari keluar dari tubuhku.
“Miyu”, tiba-tiba aku hampir menabrak seseorang. Untung remku pakem.
“Kaito? Ada apa?”, kenapa orang yang paling tidak ingin aku temui malah muncul di hadapanku sih?
“Jangan jauh-jauh dariku, untuk sementara ini, sampai aku punya cara untuk mengalahkan dark ice”
Aku terpaku. Yah, aku tahu aku masih lemah, aku tidak keberatan kalau dia ingin menolongku mengusir Yoshiki, aku malah senang. Tapi..
Kami berjalan bersama menuju sekolah. Dalam diam. Jantungku berpacu sangat kencang. Aku berharap Kaito tidak mendengarnya.
“Yang kemarin”, dia memulai percakapan,”Tolong jangan terlalu dipikirkan, itu hanya akting”.
Apa? Bagaimana bisa aku tidak memikirkannya? Itu ciuman pertamaku! Dan aku harus menganggapnya hanya akting? Ya, hanya akting. Aku menghela napas. Mencoba tegar. Kaito bodoh!
“Miyu, kau sudah jadian dengan dia?” tanya Sakura.
“Dia siapa maksudmu?” tanyaku sambil melahap roti melonku.
“Kaito”, Hana nyengir.
“Siapa bilang? Kami hanya berteman, seperti aku dan kalian saja”.
“Tapi aku merasa akhir-akhir ini kalian sangat dekat”. Hana menyatap sushi-nya lagi.
Ya, dia mendekatiku karna Yoshiki. Dark ice! Bukan aku. What an irony.
Aku mulai merasakannya lagi. Kakiku dingin! Oh tidak, Yoshiki. Jangan lagi!
Aku membungkuk. Mencoba menggosok lenganku. Dingin. Aku kembali ke kelas dan mengambil jaketku. Sial tidak mempan! Kaito. Dimana dia?
Kakiku membeku. Aku duduk di kursiku. Mencoba menghangatkan diriku sendiri. Aku melihat gelang waterku. Konsentrasi Miyu! Konsentrasi!
Aku menunduk sambil memeluk lenganku. Dingin sekali! Kumohon hentikan! Aku membeku!
Kesadaranku mulai menjauh lagi. Mataku mulai buram melihat ke papan tulis kelas. Tidak.. seseorang tolong aku!
“Miyu…”. Samar-samar aku mendengar suara Yoshiki memanggilku.
Kesadaranku semakin menjauh. Aku mencoba berteriak tetapi suaraku tertahan di tenggorokanku. Semua orang sedang di kantin. Aku membaringkan kepalaku di meja. Badanku semakin membeku. Aku pasrah. Ahh, mungkin sudah waktunya.. aku akan mati di dalam mimpiku sendiri.. aku mulai menutup mataku. Rasanya dingin sekali sampai aku tak tahan untuk terus membuka mataku.
Aku melihat seseorang, berlari menghampiriku. Siapa dia? Aku sudah tak sanggup lagi bertahan. Aku kehilangan kesadaranku.
“Miyu. Aku sangat mencintaimu. Kita bisa bahagia hidup bersama di dunia ini”
“Yoshiki, maaf.. aku tidak bisa. Kau hanya bagian dari masa laluku. Kembalikan aku ke dunia nyata!”
“Bagaimana kalau aku tidak mau?”
“Yoshiki, kumohon..”
Yoshiki menatap ke atas. Aku bingung apa yang sedang terjadi.
“KAU LAGI! MENGGANGGU SAJA!!!” dia berteriak, tampaknya seseorang mengganggu dia.
Aku melihat sesuatu. Cahaya. 2 orang! Yang satu menaiki naga api dan satunya membawa death scythe. Kaito dan Kaze.
Aku tidak tahu pasti, tapi lagi-lagi mereka menggumamkan hal yang tidak kumengerti.
Kaze mendekati jiwaku dan me-lock-ku pada sealnya. Tatapannya padaku seolah mengatakan “diam saja disitu”. Dan mereka pun bertarung. Yoshiki mengerahkan ice-nya, Kaito membakarnya dan Kaze membesarkan apinya dengan anginnya.
Aku tidak tahu persis apa yang terjadi selanjutnya. Aku merasa seperti di dalam kristal, aku tidak sanggup lagi membuka mataku. Aku tidak merasakan apapun. Aku rasa aku sekarat.
Selewat beberapa jam, atau menit, aku tidak tahu pasti. Tapi aku mulai bisa merasakan lagi tubuhku. Dan aku tahu pasti, Kaito dan Kaze memenangkan pertarungan itu. Yoshiki menghilang. Aku membuka mataku. Hawa dingin masih menyerangku walau kali ini terasa lebih tipis dari sebelumnya. Aku tersadar. Ruang UKS, pikirku.
Sejak kapan aku berada di sini? Aku mulai mencium bau obat-obatan. Aku benci ini. Aku berusaha untuk duduk, tanpa menyadari ada orang yang juga mendiami UKS ini, tertidur di samping tempat tidurku. Kaito. Sepertinya dia terluka? Apa karna Yoshiki?
Aku memperhatikannya. Dia sudah menyelamatkan nyawaku. Dia terluka demi aku. Aku sungguh lemah. Aku benci diriku sendiri. Seharusnya ini masalahku. Seharusnya aku tidak usah melibatkan orang lain. Apalagi sampai mempertaruhkan nyawa demi orang bodoh sepertiku? Aku menahan air mataku.
“Miyu, kau sudah sadar?”, Kaze masuk sambil membawa obat-obatan. “Hmm? Tidak usah ditahan”. Katanya setelah melihat mataku.
“Kaze.. maaf..”. Air mataku mulai mengalir.
“Maaf? Untuk apa?” katanya sambil menepuk kepalaku.
“Karena aku.. kalian terluka. Demi aku yang bodoh ini, kau.. Kaito..”, aku memandang dia yang terbaring di tempat tidurnya.
“Sudahlah, tidak apa-apa. Lagipula Kaito itu kuat, dia tidak akan mati semudah itu, jangan khawatir”, Kaze melangkah ke arah Kaito dan mengobati lukanya.
“Biar aku saja”, aku melompat dari tempat tidurku, Kaze memberiku desinfektan-nya, dan aku mengoleskannya pada luka Kaito lalu menutupnya dengan plester.
Aku menghapus air mataku. “Kaze, terima kasih sekali kalian sudah menyelamatkan nyawaku”, aku membungkuk dalam.
“Haha, tidak perlu berterima kasih padaku, sudah lah sesama teman kita harus saling membantu kan?”,
Aku beruntung sekali mempunyai teman seperti mereka. Pintu ruang UKS menjeblak terbuka. Daichi tampak kehabisan nafas.
“Kudengar Miyu dan Kaito jatuh pingsan dan kalian ada di ruang UKS, ada apa ini?”, tanya Daichi kepada Kaze. “eh.. Miyu ternyata kau sudah sadar”, katanya setelah menyadari aku berdiri di belakangnya. Aku terkikik.
“Aku sudah tidak apa-apa”.
“Kau terlambat sekali Daichi”. Kaze menjentikkan jarinya di dahi Daichi. “Tadi kami perang, seru sekali lho”.
Kaito membuka matanya, dia sudah tersadar. Dia berusaha duduk.
“Kaito.. kau tidak apa-apa?”, tanyaku sedikit cemas.
“Yeah”
“Maafkan aku.. seharusnya aku tidak membiarkanmu melawannya. Maaf… dan terimakasih”, ucapku sambil membungkukkan badan lagi.
Pagi ini aku berangkat terlalu pagi, kelas masih sangat kosong, hanya terlihat beberapa orang saja yang hilir mudik di halaman sekolah. Aku berdiri di balkon kelas, entah kemana pandanganku mengarah, yang pasti aku hanya memikirkan 1 hal. Kaito. Mengapa aku tidak bisa berhenti memikirkannya akhir-akhir ini. Kenapa dia mau menolongku? Bukankah dia membenciku? Apa yang harus kulakukan? Tapi berkat dia Yoshiki tidak pernah muncul lagi dimimpiku. Heeeh banyak sekali hal di pikiranku akhir-akhir ini.
Sighs. Apa yang harus kulakukan sekarang. Bengong memikirkan sesuatu aku tidak sadar ada orang mendekatiku.
“Miyu, bengong itu tidak baik lho”, Daichi menepuk pundakku.
“Daichi!”, ucapku kaget.”Hampir saja aku kena serangan jantung!”
“Maaf maaf”, katanya sambil terkekeh, “Kau sudah tidak apa-apa?”
“Yah, aku merasa sangat baik”
“Kau ini selalu datang pagi, ya”, ucap Daichi akhirnya berdiri di sampingku di balkon kelas.
Aku melihat ke kiri dan kanan. Aku takut fans-fans Daichi melihat. Aku bisa mati di bangku SMA.
“Yahh, aku suka udara pagi”, ucapku, “Kau juga selalu datang pagi, sibukkah menjadi ketua OSIS?”, ucapku terkikik.
“Begitulah, tapi menjadi ketua OSIS itu menyengkan loh. Kau bisa mengenal dan dikenal oleh banyak orang. Kau punya kekuasaan atas murid-murid di sekolah ini, rasanya seperti seorang raja. Kau harus coba juga tahun depan”
“Tidak terima kasih, aku tidak ingin menjadi artis”, ucapku sambil tertawa.
TBC