- Home »
- My Cursed Heart [ Chapter 7 ]
// Posted by :darakyu706
// On :Monday, November 1, 2010
Chapter seven: Something that Lies Within the Past
“Laporan harus diserahkan besok ketua, mohon untuk diselesaikan malam ini juga”
“Ah.. baiklah..”
“Kalau begitu, aku pulang duluan ya, berjuanglah ketua hahaha”
Lampu ruang OSIS masih terlihat menyala terang, sedangkan waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam hari. Daichi yang sudah tampak terbiasa masih menarikan jarinya pada keyboard komputer, sebagai ketua OSIS memang banyak yang harus diselesaikan. Sejenak, dia meregangkan tangannya, terlihat sangat lelah. Daichi bangkit dari tempat duduknya, mengambil sesuatu dari tasnya, tabung kecil berisikan suplemen. Dia mengambil beberapa butir suplemen itu, meminumnya dan melanjutkan aktivitasnya.
“Kau sepertinya mengantuk hari ini, Daichi. Kau begadang?” tanyaku. Kuperhatikan dia sudah beberapa kali menguap.
Tidak ada jawaban.
“Daichi?!”
“Apa?”, dia tampak terkejut.
“Ya ampun, kau ini!”, aku menabok kepalanya dengan gulungan kertas.
“Maaf, duh. Dan kenapa aku ditabok?”
Pintu klub terbuka. Kaito masuk. Dia langsung mengambil posisi didepanku dan Daichi.
“Mana Kaze?” tanyanya.
Aku menunjuk ke jendela. Kaze sedang bermeditasi di luar. Melakukan persiapan sebelum melatih kami.
“Dengar.” Mata Kaito berubah serius. “Kita mendapati lawan di sekolah ini, namanya Rokku. Dia keturunan Angel dan tampak seperti Angel jadi, kurasa kalian akan mudah mengenalinya. Aku hanya berharap kalian berjaga-jaga untuk selanjutnya. Kita tidak akan tahu kan kapan musuh selanjutnya akan datang. Jadi latihanlah dengan sungguh-sungguh.”
Kaze pun selesai dengan ritualnya dan dia menghampiri kami.
“Aku sudah dengar dan aku membenarkan apa yang dikatakan Kaito. Aku bisa merasakan adanya sesuatu yang besar akan datang, dan..”, Kaze tampak sedikit tegang,”Kalau pun harus berperang maka pertarungan yang selanjutnya akan menjadi pertarunganku yang terakhir.. ”
“Apa?!!” aku terkejut. “Tapi, kenapa? Kau.. tidak akan mati kan ?” tanyaku sedikit cemas.
“Bodoh”, Kaze mengetuk kepalaku,”Aku tidak akan mati semudah itu”
Dia tersenyum misterius. Tapi.. aku bisa merasakan adanya keanehan. Dan aku merasa sedikit, walau tidak sepenuhnya tapi aku merasa cemas dan khawatir. Ada apa? Kenapa dia berbicara seperti itu?
“Yah setidaknya, ada hal lain yang harus kalian cemaskan”, Daichi berbicara dengan mata setengah mengantuk. “Maksudku ujian tengah semester”.
Aku, Kaito dan Kaze saling berpandangan. “Dasar ketua OSIS”. Kami serempak mengucapkan itu.
“Kenapa memangnya?”, Daichi keheranan.
Memasuki pertengahan bulan September akan menjadi hari-hari yang berat bagi para penduduk Raigaku. Tugas yang menumpuk dan ujian jadi hal-hal yang harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh. Raigaku memiliki tradisi kuno, jika ada murid yang gagal di ujian semesternya maka dia tidak akan diperbolehkan mengikuti pesta Halloween di bulan Oktober. Para warga Raigaku yang memang sudah dasarnya mencintai festival berlomba-lomba untuk tidak mendapat nilai terbawah. Perpustakaan pun jadi terasa lebih hidup pada saat-saat seperti ini. walau masih ada saja yang menggunakan perpustakaan sebagai tempat untuk tidur. Aku memutuskan untuk pergi ke perpustakaan hari ini, ada beberapa buku yang akan kupinjam. Perpustakaan jadi terlihat lebih kecil dari biasanya. Aku langsung melesat ke rak paling pojok di sudut ruangan sambil mencari buku yang kuperlukan.
Terkejut, aku melihat ada kaki di samping rak buku. Aku mencoba mendekatinya. Dan disana, aku melihat seseorang tidur, tampak sangat kelelahan. Daichi. Aku memperhatikannya. Dia tertidur lelap, aku ingin membangunkannya tapi aku merasa kasihan. Tapi ini kan perpustakaan. Aku menepuk pundaknya perlahan.
”Daichi.. daichi.. bangunlah.”
“Mmmph?”, perlahan Daichi membuka matanya.
“Kau tidak apa-apa? Sepertinya lelah sekali”
Daichi terlihat bingung menatapku. Dan dia menepuk kepalaku. Lalu dia berdiri dan melihat jam tangannya.
“Astaga, aku harus cepat-cepat ke ruang OSIS, maaf Miyu, terima kasih sudah membangunkanku”. Terhuyung dia mencoba bangkit dan aku menangkapnya dengan sigap.
“Hey, kau tidak apa-apa?”, tanyaku sedikit khawatir.
“Ya, aku baik-baik saja. Jangan khawatir”, Daichi tersenyum dan dia melesat pergi ke ruang OSIS
“Benar-benar orang yang penuh semangat.”
“Hwahh, ujian semakin dekat! Masih banyak yang tidak kumengerti khususnya matematika,” Sakura mulai mengeluh.
“Aku juga tidak suka matematika”, ujarku sambil melirik Hana, “Tolong ajari kami,” ucapku memohon.
“Aku sih boleh-boleh saja. Hmm.. bagaimana kalau Minggu ini kalian datang saja ke rumahku? Kita belajar bersama.” Ucap Hana.
“Benarkah? Asyik!,” Sakura merangkul Hana dan Hana menjitak kepalanya.
“Tapi Hana, boleh aku tanya sesuatu?
“Ya, apa? Tanyakan saja Miyu”
“hmm.. tidak jadi deh,” ucapku. Ragu untuk menanyakannya sekarang. Lebih baik kusimpan untuk lain kali saja.
“Apa sih?” tanya Hana sambil cemberut.
“Tidak, tidak jadi hahahaha,” ucapku mencoba mengalihkan pembicaraan. Pintu kelas bergeser, bersyukur akhirnya ada alasan untuk berhenti berbicara, Hana dengan cepat membalikkan badannya dan pelajaran pun dimulai.
Kaito tampak serius memperhatikan pelajaran kali ini. Entah apa yang terjadi dengannya, aku hanya berpikir semoga dia tidak lupa ingatan. Atau mungkin karena ujian yang semakin dekat Kaito mulai menaikkan intense-nya untuk memperhatikan pelajaran daripada hanya memperhatikan kehidupan di luar. Aku mencoba melirik ke arah sarang burung yang dulu suka diperhatikan Kaito, sekarang sarang itu tampak lebih besar. Lebat lebih tepatnya.
“Jadi, begitulah asal legenda ini muncul dan tetap di turunkan kepada anak cucu kita sampai sekarang. Okay, pelajaran selesai hari ini,”
terdengar para murid menghela nafas dan mulai merapikan bukunya.
“Tolong kalian belajar dengan sungguh-sungguh untuk ujian kali ini, bapak tidak ingin adanya remedial, sampai jumpa,” menggeser pintu kelas, dia keluar sambil membawa setumpuk buku Art of Hierarchynya.
“Kaito, kau sudah siap dengan ujian kali ini?” tanyaku sambil meregangkan tangan.
“Hm? Aku kapan pun siap,” katanya sambil terkekeh.
Hebat. Pikirku. yah, dia memang pintar, aku mengakui itu. tiba-tiba terlintas sesuatu di benakku dan langsung terlontar dari mulutku tanpa aku sadari.
“Mau kah kau mengajariku?”
“Eh? Aku? Hm.. baiklah,” katanya, dan dia memalingkan mukanya menatap para keluarga burung. Dan aku pun bengong, tidak menyangka kalau Kaito akan mengiyakan ajakanku yang bahkan aku tidak menyadari saat mengucapkannya. Beberapa detik setelah itu, aku malu untuk memikirkan apa yang telah kuucapkan, entah mengapa mukaku terasa panas.
“Hah? Jadi kau tidak akan belajar bersama kami?”, Sakura menghardik saat kami berjalan kaki, pulang.
“Uhh.. bukan begitu, tapi aku bahkan tidak sadar apa yang telah aku ucapkan,” ujarku malu,”Aku jadi tidak tahu bagaimana untuk mengcancelnya jadi.. lebih baik kuikuti saja, maaf,” Aku menangkupkan kedua tanganku.
“Yah, aku sih tidak keberatan,” Hana menyeringai, “Tenang saja Miyu, kau bisa belajar denganku kapan saja kau mau”
Dan aku merasa tatapan mereka berdua semakin tajam kepadaku. Cepatlah sampai rumah!
Aku melempar tasku di meja belajarku dan menjatuhkan diriku di atas kasur. Entah kenapa aku merasa begitu lelah, dan aku pun tertidur.
“Miyu, kau harus bersiap-siap,” Eirin duduk di sampingku
“Siap-siap, untuk apa?” tanyaku heran.
“Aku merasakan sesuatu yang kuat datang, dan dia sepertinya akan melakukan sesuatu kepada kalian, para souler”
“Seriuskah bahaya ini?”
“Tidak terlalu, tapi aku bisa merasakan. Dia punya ‘charm’ yang kuat.”
Aku duduk di balkon belakang rumahku, tepatnya di belakang kamarku. Sambil menatap ke langit yang hanya diterangi oleh sinar bulan, tidak terlihat adanya bintang-bintang sedikitpun. Ini, pikirku, kesekian kalinya aku merasakan perasaan ini lagi. Dadaku sakit, tapi aku tidak tahu kenapa. Perasaan bersalah, sama seperti yang kurasakan kepada Yoshiki. Apa ini? aku benar-benar benci perasaan ini.
“Kakak, temanmu menelpon,” Suara Ryuu memanggilku dari lantai bawah. Aku bergegas keluar kamarku dan menuruni anak tangga.
“Siapa?,” Tanyaku ketika sudah menuruni dua anak tangga terakhir.
“Daichi”, Ryuu melempar telepon wirelessnya padaku, dan dia kembali duduk di sofa, memperhatikan iklan. Aku tidak mengerti kebiasaan adikku yang satu ini.
“Halo?”, aku menjawab telefonnya.
“Ah, Miyu? Kau sibuk?”, Ucap Daichi di sebrang sana .
“Aku? Tidak juga sih, kenapa?”
“Kau.. bisa datang ke sekolah sekarang?”
“Eh? Tapi ini kan sudah malam?”, Kenapa dia mengundangku ke sekolah malam-malam?
“Sekolah masih buka kok, lebih tepatnya ruang OSIS, kutunggu ya.” Daichi menutup teleponnya.
Akhirnya kuputuskan untuk pergi juga ke sekolah. sekolah di malam hari, untuk syuting film horror bagus sekali. Aku melangkahkan kakiku dengan cepat ke ruang OSIS. Kulihat lampunya masih menyala. Ini berarti Daichi masih bekerja di ruangannya.
Aku mengetuk pintu ruang OSIS. Daichi langsung membukakannya untukku.
“Masuklah, ada yang ingin kuperlihatkan.”
Sedikit bingung, aku mengikutinya dari belakang. Aku melihat ke sekeliling ruangan, tampak seperti kantor. Tipikal Daichi, pikirku sambil menahan tertawa. Di mejanya kulihat banyak kertas-kertas yang menumpuk, mungkin informasi seluruh sekolah ada di situ. Insting ninjaku mulai menanjak. Tapi kutahan keinginan untuk beraksi malam ini. paling tidak, tidak di depan Daichi.
“Ini,” dia menyerahkanku informasi tentang biodata para siswa, “Aku merasa ada yang aneh dengan ini, coba kau lihat.”
Aku menajamkan mataku pada kertas dokumen biodata seorang siswa itu. Benar kata Daichi, ini aneh. Biodata yang kosong?
“Aku mencoba mencari informasi tentang murid pindahan yang Kaze ceritakan. Aku sudah mencari di setiap dokumen para siwa, ataupun dokumen untuk murid-murid pindahan tapi hanya itu yang bisa kutemukan. Dokumen kosong. Hanya tertulis data nama dan gender. Coba kau bandingkan dengan punyamu.”
Aku berpikir sejenak. Memang rasanya sedikit aneh. Dokumen untuk murid pindahan, rasanya memang sangat aneh kalau tidak dicantumkan apapun pada biodatanya. Aku membalik kertas halaman dokumen itu. Disitu tercantum lengkap informasi tentang diriku. Bahkan disebutkan hobi dan ukuran badanku. Darimana mereka mendapatkan info ini?
“Jadi, maksudmu..”
“Kalau kalkulasiku benar,” ucap Daichi sambil memegang dagunya. Sepertinya dia sudah sedikit keracunan komik-komik detektif, “Besar kemungkinan pihak sekolah sengaja menyembunyikan apapun tentang anak yang bernama Rokku ini.”
“Tapi kenapa?” ucapku sedikit kebingungan.
“Itulah pertanyaan yang sama yang muncul di benakku. Bisa kukatakan, mungkin dan ini hanya mungkin, Raigaku tahu tentang semua yang terjadi pada kita, maksudku.. yah kau tau kan .”
Aku tahu Daichi mengacu pada para Souler. Banyak hal muncul di pikiranku. Kalau Rokku di lindungi oleh pihak sekolah, itu berarti Raigaku akan…
“Maksudmu, kita dalam bahaya?”, alisku terangkat tinggi sekarang. Daichi mondar-mandir di depanku sambil berpikir.
“Seperti yang sudah kukatakan tadi, ini hanya kemungkinan. Bisa saja perkiraanku salah karna kecemasanku yang berlebihan ini”.
Aku menarik nafas sebentar. Apa ini berarti, kalau pihak Raigaku sudah benar-benar menyadari, kami semua menjadi musuh Raigaku?
Daichi melirik ke arlojinya. Jam 20.25.
“Miyu, kurasa cukup untuk hari ini. sudah terlalu malam untuk seorang gadis sepertimu. Aku akan mengantarmu pulang. Kau sudah makan? Aku akan mentraktirmu sembari kita pulang kalau kau belum makan.”
“Ah, tidak usah Daichi. Aku tidak lapar, terima kasih tawarannya hahaha”
Daichi menatapku.
Glek.
“Kau ini, selalu menahan semuanya sendirian.” Daichi maju dan mengusap kepalaku. “Kalau di depanku, kau tidak usah berpura-pura kalau kau kuat.”
Entah kenapa ada perasaan lain yang mengalir di sekitar badanku.
“Jangan khawatir, aku tidak apa-apa kok.” Aku menunduk menatap sepatuku. Aku tidak sanggup melihat matanya. Daichi menghela nafas.
“Kalau begitu temani aku makan, kau mau kan ?”
“Kaito, sebenarnya waktu itu apa yang terjadi?”
Kaze mengepulkan asap rokoknya. Mereka sedang duduk di teras rumah Kaito.
Kaito menatap langit sambil menghembuskan nafas.
“Aku hanya ingat sedikit saja, wajahnya keturunan Eropa dan dia punya 4 sayap”
“Menurutmu, kenapa mereka ceroboh menyerangmu? Atau mungkin sasaran yang sebenarnya.. bukan dirimu?”
“Maksudmu, sasaran utamanya.. kau?”
“Aku hanya sangsi akan hal itu. mereka tidak akan sebodoh itu juga kan ?”
“Yah, lebih baik kita cari tahu.” Kaito bangkit dan berjalan masuk ke dalam rumah.
“Jadi, kenapa yang kau panggil hanya aku?”, tanyaku pada Daichi.
“Hmm,” Daichi berpikir sambil mengunyah steak nya.
“Kenapa?”
“Seperti yang kubilang tadi, Miyu. Ini semua masih kemungkinan, aku masih ragu untuk menyampaikannya kepada Kaze karna aku masih belum punya bukti yang kuat.” Ucapnya sambil menelan beefsteaknya yang terlihat terlalu matang.
Aku memandang keluar jendela. Berpikir apa yang seharusnya kulakukan dalam kelompok ini. Aku masih lemah. Aku tidak bisa apa-apa. Aku justru takut akan memperparah keadaan mereka karna aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku takut kehilangan mereka, dan lagi karna kebodohanku..
“Miyu.. Kenapa kau selalu menahan untuk makan? Itu tidak baik untuk tubuhmu.”. Daichi membuyarkan lamunanku.
“Eh? Aku..”
“Kalau kau terus-terusan seperti ini kau bisa terkena Anorexia.”
“Anorexia?”
“Ya, nanti hati dan tubuhmu jadi tidak bisa menerima makanan. Aku tidak mau kau seperti itu.”
Daichi menggenggam sendoknya dengan sedikit kuat.
“Hati dan tubuhku?”
“Ya.” Tatapan mata Daichi menjadi kosong, “Aku, pernah kehilangan orang yang sangat berarti dalam hidupku karna penyakit Anorexia. Dia telah benar-benar menjadi bagian dari hidupku. Dulu, aku ini sakit-sakitan. Keluar masuk rumah sakit sudah bukan hal yang aneh lagi buatku. Bahkan para dokter dan susternya pun sudah kenal denganku. Aku sampai muak karna harus tetap terikat dengan rumah sakit. Sungguh membosankan berada di tempat itu.”
Daichi menghentikan makannya.
“Saat itu, saaat aku ingin lari dari rumah sakit, aku bertemu seorang perempuan yang mencegahku melakukan itu. Badannya kurus sekali, walau wajahnya pucat tapi terlihat bersinar. Dan entah sejak kapan aku mulai tertarik dengannya,”
Daichi merenung melihat keluar jendela. Entah kenapa aku tidak ingin memecah keheningan ini selain menunggu dia melanjutkan ceritanya.
“Saat aku putus asa untuk menjalani operasi yang hanya mempunyai 20% kemungkinan untuk hidup, dia datang menyemangatiku. Dia selalu mengunjungiku dan memberiku semangat. Meyakinkanku bahwa aku bisa sembuh. Perasaanku semakin berkembang, dan aku pun mulai menyukainya. Saat itu aku menyatakan perasaanku padanya, dia berjanji akan menjawabku ketika kami sama-sama keluar dari rumah sakit. Aku pun menjalani operasiku karna aku sangat ingin mengetahui jawabannya. Operasiku berhasil dan aku diperbolehkan untuk keluar dari rumah sakit. Tapi..”
Daichi terlihat sedih.
“Aku, tidak akan bisa bertemu dengannya lagi.. walau aku menunggunya selama apapun..”
Hening. Perasaan bersalah mulai menjalar di sekujur badanku.
“Aku mengetahuinya dari suster yang merawatku, bahwa dia sudah tidak ada lagi di dunia ini. sebelum meninggal dia menitipkan pesan kepada susterku.”
“Apa.. katanya?”
“Terima kasih dan.. maaf..” Daichi terlihat murung sekarang.
Hening lagi. Aku tidak tahu harus bagaimana sekarang.
“Maaf Daichi.. aku tidak bermaksud untuk mengingatkanmu pada kenanganmu di masa lalu..”
Daichi melihatku. Wajahnya terlihat sudah lebih baik daripada yang tadi.
“Tidak apa-apa. Hanya sebaiknya kau tidak perlu lagi menahan keinginanmu untuk makan. Selagi masih bisa kucegah aku akan mencegahnya. Aku hanya tidak ingin kehilangan orang lain yang kukenal lagi.”
Aku tertunduk. Sedih, bingung, simpati, kesal pada diriku sendiri, aku berjanji untuk tidak melakukan hal seperti ini lagi. Daichi melihat arlojinya lagi.
“Wah, maaf kita jadi pulang larut malam karna ceritaku. Ayo kuantar kau pulang, Miyu.”
Dan kami pun bergegas keluar dari restoran dekat sekolah setelah Daichi membayar Billnya.
Atmosfer sebelum ujian makin terasa meningkat. Para siswa kelas 3 jadi terbiasa membaca buku sambil berjalan di sepanjang koridor. Para murid kelas 2 masih terlihat sedikit santai menghadapi ujian tengah semester sedangkan murid-murid kelas 1 memilih untuk belajar di perpustakaan karna kelas 2 menguasai wilayah Raigaku.
Aku termenung di kebun belakang sekolah sambil menatap langit, merebahkan tubuhku. Cuaca hari ini sejuk, membuatku sedikit mengantuk. Seperti biasa, aku selalu senang memperhatikan awan-awan yang berjalan walaupun pikiranku tidak terfokus pada awan-awan tersebut.
Daichi.. aku tidak tahu ternyata dia punya masa lalu yang kelam.. Kaito, juga Kaze.. aku ingin melindungi mereka.
Aku merasakan seseorang mengawasiku, sontak aku bangun dan memperhatikan pohon beringin di belakangku.
“Heeh, kau suka sekali menatap langit, ya?” cowok dengan rambut berantakan itu muncul lagi di hadapanku.
“Kau, sebenarnya siapa kau?”, aku berdiri mengawasinya.
“Aku? well, aku ini masih murid Raigaku kok, aku bukan hantu jadi tenang saja.” Katanya sambil terkekeh.
Aku menenangkan diriku dan kembali duduk di atas rerumputan.
“Siapa namamu? Namaku Miyu.”
“Panggil saja aku Gin.” Katanya sambil tersenyum.
cowok ini misterius sekali, aku bahkan tidakk bisa merasakan kehadirannya. Aku memperhatikannya untuk sejenak. Penampilannya memeang bisa dibilang agak eksentrik dibanding murid-murid Raigaku yang lain. Dan dia suka sekali menghilang.
“Kau murid Raigaku? Tapi aku tidak pernah melihatmu, selain disini tentunya.”
“Kau kejam sekali Miyu.” Katanya sambil terkekeh. “Padahal kelas kita bersebelahan lho”
Apa? Apa itu artinya, dia selalu melihatku?
“Aku benci keramaian, tempat inilah yang membuatku begitu nyaman di Raigaku. Aku sudah beberapa kali memperhatikanmu. Kau, Kaito, dan dua orang yang lain. Kau mungkin tidak menyadarinya tapi aku sama sepertimu.”
Tempat ini juga membuatku nyaman, pikirku. tapi kenapa bisa kehadirannya tak bisa kudeteksi? Tunggu, apa tadi dia bilang?
“Sama sepertiku? Maksudnya?”
“Ya,” katanya sambil terkekeh. Bel berdering menandakan jam makan siang sudah selesai.
“Ah maaf, ngobrolnya lain kali saja ya, sudah masuk tuh,” dia berdiri dan berjalan menuju pohon beringin, lalu dia menghilang secara misterius, lagi.
Gin. Akan kucari tahu tentangnya nanti.
“Kau tidak boleh lengah, Frau,”
“Aku tahu apa yang harus kulakukan, aku tidak akan gagal sepertimu.”
“Baiklah baiklah, kau masih tidak berubah ya, kau masih kejam seperti dulu. Aku tidak menyangka ada Angel yang kejam sepertimu.” Rokku terkikik.
“Dan aku tidak menyangka ada Angel yang bodoh sepertimu.” Frau menggertak dan dia meninggalkan Rokku yang tertohok dengan kata-kata terakhirnya.
Post a Comment