Archive for 2011
New Year's Eve, or is it?
2011. I recall many things happened.
What do I miss a lot?
When I think that I don't even have any friends for real, who accept me as who I am, not because I'm needed. I know it's such melancholic, but having a feeling that you are exist because there is something from you that needed or I simply say it, being used.
but then, it is just a part of my life. I thankful that I found someone whom always there for me. Yep, my boyfriend. Although, we have not meet each other in person but, we've fallen in love.. in days. Sounds weird? Nah, but I truly love him. Even sometimes, I feel... something, (I'd rather not to write it, lol~)
that's that..
Chapter 13. Door to the Past
“Apa?!”, Aku tersedak roti melonku. Sakura memberiku Lemon sodanya. Aku meneguknya, mengambil napas dan kembali mengulang pertanyaanku. “Kau bilang apa tadi, Sakura?”
“Hana, dikabarkan menghilang. Kamarnya kosong ketika Suster jaganya masuk.”
Aku menelan roti melonku yang sekarang rasanya seperti karet melewati tenggorokanku. Hilang?
Sakura tampak murung kembali. Dia merogoh sakunya, dan mengeluarkan sesuatu ke dalam genggamannya yang tampak seperti bandul.
“Ini ditemukan diatas kasurnya. Suster itu memberikannya padaku pagi ini ketika aku berniat menjenguknya.”
Aku meraih bandul dengan rantai coklat keemasan dari tangan Sakura. Di sisi kiri dan kanannya terukir sayap kecil yang melengkung dan sebuah batu biru sapphire melengkapi keindahannya di tengah guratan yang tampak seperti aliran air. Aku mencoba membalikkan bandul tersebut, ada sederet kecil kalimat tertulis diatasnya.
“Coloro che seguono il flusso sarà schiacciato dal ruolo... Ma coloro che sono sopravvissuti contro il flusso condurrà questi dolore.…”
Huh? Aku tidak mengerti sama sekali. Kembali aku memperhatikan sapphire yang ada di sisi depan bandul. Tiba-tiba kesadaranku rasanya seperti tersedot. Damn! Apa ini! Batu Sapphire ini rasanya punya kekuatan lain. Aku merasa dikelilingi oleh sorrow. Aku mencoba berontak dari perasaan ini dan dengan cepat aku menyimpan bandul Hana di dalam sakuku. Akan kutanyakan pada Kaze lebih lanjut apa arti dari kalimat itu dan apa sebenarnya kekuatan batu Sapphire ini.
------
“Markas baru?”, Kaito mengalihkan pandangannya dari laba-laba yang sedang berusaha melengketkan mangsanya.
“Yeah, kau sudah dengar? Gedung sekolah lama ini akan segera dirobohkan.” Kata Daichi dengan tenang.
Hening.
“Kenapa?” aku mencoba memecahkan kesunyian diantara yang lain.
“Yang pasti karna gedung ini sudah tak terpakai tentunya, dan lagi sudah tak terawat, kemungkinan yang lain, mungkin…” Daichi memotong pembicaraannya.
“Mungkin apa?” Aku mengernyitkan alisku.
“Kau ingat Rokku kan? Apa yang pernah kita diskusikan, kalian masih ingat?” Daichi memutar matanya ke arahku dan Kaito.
“Ah… silsilah keluarga di sekolah ini? Dengan kata lain mereka ingin melihat kita menderita, kan?” Kaito mengungkapkan analisinya.
“Tepat seperti yang kupikirkan.” Daichi menggosok lehernya.
“Hanya butuh markas baru kan? Toh kukira itu takkan mempengaruhi kita.” Aku mencoba mengeluarkan aspirasiku, “Bukankah ini untung buat kita? Dengan begini Kaze tak perlu susah payah lagi menyelinap ke sekolah ini. Bagus kan?”
“Mungkin… tapi..” Kaito menatap kearahku. Rasanya sekelilingku membeku.
“Apa?” Aku mencoba tenang.
“Tahukah kau mengapa kami memilih gedung ini sebagai markas? Gedung yang sudah sangat usang ini?”
Daichi bergerak ke arah lemari. Laba-laba yang tadi sedang berusaha memintal mangsanya terpaksa sekarang harus mencari mangsa baru karna Daichi baru saja merusak sarangnya. Daichi mencoba membersihkan lemari yang sudah sangat berdebu itu dan mengumpulkan tenaganya untuk bisa menggesernya ke samping.
“Bantu aku sedikit, Kaito”
“Kau kan Earth, masa tidak kuat mendorong lemari?”
“Sudahlah cepat bantu aku. Kan ini berhubungan dengan Misi kita juga, kau tidak ingat?”
Kaito berjalan dengan malas kearah Daichi, dan sekarang mereka berdua mencoba untuk mendorong lemari kayu berdebu yang bahkan kupikir seharusnya tidak seberat itu untuk digeser. Mereka berdua bersusah payah menggeser dengan mengerahkan seluruh tenaga manusia mereka dan selang beberapa menit kemudian, dengan penuh keringat, mereka berhasil menggeser lemari berdebu si laba-laba itu. Pintu. Di belakang lemari itu ternyata ada sebuah pintu. Pintu dari kayu yang terukir gambar symbol-simbol yunani yang aku tidak mengerti tapi tetap menunjukkan keindahan buatku. Aku menelan ludah. Penasaran dengan apa yang ada di balik pintu tersebut.
Daichi melirik kearah Kaito, dan Kaito mengangguk seakan dia mengerti apa yang ada di pikiran Daichi. Daichi menggumamkan mantra, perlahan-lahan gambar naga yang tertempel di pintu yang bersimbolkan huruf Yunani itu bergerak. Naga itu seolah menjauh.
Klek.
Pintu itu pun terbuka. Angin dingin menyeruak keluar menghujam kulitku. Sebuah lorong yang panjang sekarang membentang di hadapanku.
“Apa.. ini?” Aku bertanya kepada Daichi dan Kaito.
“Lorong waktu. Cepat masuk ” Kaito menjawab. Dan dia mulai masuk kedalam lorong tersebut.
“What?” Aku tidak mengerti. Bagaimana bisa? aku mengikuti di belakang Daichi.
“Somehow, gedung sekolah lama ini menciptakan dimensi tertentu dimana semua aliran waktu melewati dan bergerak ke tempat ini. Kaze yang menemukan lorong ini.” Daichi berjaan di belakangku.
“Aku tetap tak mengerti.” Aku mengernyitkan dahiku. “Kalau ini adalah lorong waktu, berarti kita sekarang berjalan di tengah aliran waktu? Bagaimana bisa kita tidak bertabrakan dengan waktu yang lain?”
“Seperti yang kau lihat.” Daichi menyentuh dinding lorong tersebut. “Masa depan, masa lalu, dan masa kini. Lorong ini lah pembatasnya. Kita sedang berjalan diantara dimensi waktu dan alam astral kita. Ini membuat soul kita menciptakan proteksi tersendiri dari hentaman aliran waktu sehingga kita—para souler¬, bisa dengan mudah menembus waktu. Manusia biasa tentu tidak bisa melihat ini. Waktu, adalah benda abstrak. Seperti cinta.” Daichi menyeringai.
Aku semakin bingung dengan penjelasan Daichi. Jadi sekarang, aku sedang jalan-jalan diantara waktu? Diamanakah aku sekarang? Masa depan? Masa lalu? Masa kini?
“Lalu.. sekarang kita mau apa di lorong waktu ini?” aku mencoba mencari jawaban atas apa yang sedang kami perbuat.
“Kita harus menemukan tubuh Kaze. Ini misi kita. ” Kaito berjalan dengan cepat di depanku. Rasanya lorong ini begitu panjang dan aku merasa takut kalau tidak ada ujungnya. Napasku rasanya sedikit sesak.
“Tubuh Kaze? Dimana? Misi?” sekarang aku terengah-engah. Entah karna tekanan dari waktu yang mengalir di sekitarku atau karna aku yang mencoba mengejar Kaito. Dia punya kaki yang lebih panjang dariku, dan dia berjalan sangat cepat. Hell.
“Celestia.” Daichi bergumam.
Aku menghentikan langkahku tiba-tiba dan Daichi berhenti secara tiba-tiba sebelum menabrakku. Kaget akan apa yang baru saja diucapkan Daichi aku menoleh kearahnya.
“Celestia katamu? Tempat perang kita terakhir itu? Disana kan banyak Angel dan Kaze pun tidak ada, bagaimana kalau kita tertangkap?”
“Karna itulah kita punya mata-mata.” Kaito mulai bersemangat. “Dan teruslah berjalan, jangan berhenti disana atau kau akan kehilangan waktu mudamu!”
Aku berlari mengejar Kaito.
“Mata-mata? Siapa? Kenapa kalian tidak pernah memberi tahuku kalian punya mata-mata?”
“Kukira kau sudah pernah bertemu dengannya Miyu.” Daichi berjalan lagi dengan cepat di belakangku.
“Benarkah?” aku semakin bingung dengan semua ini.
“Ya, dan kita akan bertemu dengannya di ujung lorong ini.”
----
Kaze menguap. Ah, mereka mengunjungi Time Tunnel rupanya, pikir Kaze.
“Dasar Kaito. Aku sudah bilang akan lakukan sendiri. Yasudah lah, toh Sai juga disana.”
Kaze melompat keatas tempat tidur Miyu. Berbaring disana seolah tidak ada beban berat dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari misi mereka kali ini.
-----
Aku menghembuskan nafasku. Rasanya aku sudah berlari sekuat tenaga di lorong ini. tapi mana ujungnya?
“Kaito, perjalanan kita masih jauh kah?” aku mencoba mengatur nafasku.
“Sedikit lagi..” dan dia tiba-tiba berbelok. Aku pun mengikutinya.
Dan itu dia. Cahaya. Aku merasa paru-paruku melebar lagi.
“Lama sekali..”
Seseorang dengan memakai tudung transparan menunggu kami di ujung terowongan waktu. Dia sedang bertransformasi rupanya. Dan.. tunggu. Aku kenal dia..
“Gin? Kenapa kau ada disini?”
“Wah, Miyu, apa Daichi atau Kaito tidak memberitahumu? Kalian jahat sekali.” Gin merengut kearah Kaito. Kaito melengos tidak peduli.
Aku melihat seseorang yang lain disana. Seseorang yang tinggi dan sedikit berkulit hitam. Siapa?
“Ah, aku lupa memberitahumu. Dia Sai. Wind.” Kaito seakan bisa membaca pikiranku.
“Heeeeyyy! Kalian memperkenalkan Sai tapi tidak memperkenalkan diriku! Dasar! Padahal aku juga punya jabatan penting disini!” Gin menghardik.
Kaito menghela nafas. “Baiklah baiklah, ini dia sang mata-mata. Gin. Angel. Happy?” Kaito bersikap dingin. Gin masih cemberut.
Gin mata-mata?! Angel?
Aku seperti menerima pukulan di kepalaku. Gin seorang Angel?
“Tenang. Dia berpihak pada kita, yah.. saat ini.” Daichi mengusap kepalaku.
“Hai Miyu, Aku Sai, senang bertemu denganmu. Water eh? Terlihat jelas.” Sai terkikik.
“Baiklah cukup basa-basinya, kita punya misi penting sekarang.” Kaito bersiap bertransformasi.
“Jadi, adakah seseorang yang bisa menjelaskan apa yang sedang terjadi disini, apa yang kita lakukan, dan dimana ini?” Aku benar-benar depresi.
“Haha, Miyu. Kau lucu sekali.” Sai tertawa.
“Kita sedang kembali ke masa lalu Miyu, saat di Celestia. Sekarang, kita akan merebut kembali tubuh Kaze yang tersegel.” Daichi sudah bertransformasi rupanya.
“Miyu, cobalah bertransformasi.” Kaito menatapku
“A-aku? Aku belum bisa bertransformasi penuh.” Aku gugup.
“Kau bisa.” Sai menyentuh kepalaku.
Aku merasa seperti terlempar. Eirin muncul di hadapanku.
“Ayo ucapkan sama-sama.. Miyu..”
“Animus vinctus in aquam fluere, influit!”
Aliran energi berkumpul menyeruak ke dalam badanku. Eirin menyatu dengan jiwaku. Aku merasakan sensasi yang seperti merobek tulangku. Aku membuka mataku. Aku tampak seperti Eirin.
“Baik, mulai dari sini. Aku yang akan memimpin. Ingat untuk berjarak setidaknya 100 meter dariku, okay?” Gin maju.
“Hmph.” Kaito menyetujui.
“Kalian siap?” Sai mengerling kearahku dan Daichi. Aku mengangguk.
“Let’s go to Celestia..”
Gin menghentakan kakinya dan kami semua masuk kedalam lingkaran yang tampak seperti gerbang putih.
“Apa?!”, Aku tersedak roti melonku. Sakura memberiku Lemon sodanya. Aku meneguknya, mengambil napas dan kembali mengulang pertanyaanku. “Kau bilang apa tadi, Sakura?”
“Hana, dikabarkan menghilang. Kamarnya kosong ketika Suster jaganya masuk.”
Aku menelan roti melonku yang sekarang rasanya seperti karet melewati tenggorokanku. Hilang?
Sakura tampak murung kembali. Dia merogoh sakunya, dan mengeluarkan sesuatu ke dalam genggamannya yang tampak seperti bandul.
“Ini ditemukan diatas kasurnya. Suster itu memberikannya padaku pagi ini ketika aku berniat menjenguknya.”
Aku meraih bandul dengan rantai coklat keemasan dari tangan Sakura. Di sisi kiri dan kanannya terukir sayap kecil yang melengkung dan sebuah batu biru sapphire melengkapi keindahannya di tengah guratan yang tampak seperti aliran air. Aku mencoba membalikkan bandul tersebut, ada sederet kecil kalimat tertulis diatasnya.
“Coloro che seguono il flusso sarà schiacciato dal ruolo... Ma coloro che sono sopravvissuti contro il flusso condurrà questi dolore.…”
Huh? Aku tidak mengerti sama sekali. Kembali aku memperhatikan sapphire yang ada di sisi depan bandul. Tiba-tiba kesadaranku rasanya seperti tersedot. Damn! Apa ini! Batu Sapphire ini rasanya punya kekuatan lain. Aku merasa dikelilingi oleh sorrow. Aku mencoba berontak dari perasaan ini dan dengan cepat aku menyimpan bandul Hana di dalam sakuku. Akan kutanyakan pada Kaze lebih lanjut apa arti dari kalimat itu dan apa sebenarnya kekuatan batu Sapphire ini.
------
“Markas baru?”, Kaito mengalihkan pandangannya dari laba-laba yang sedang berusaha melengketkan mangsanya.
“Yeah, kau sudah dengar? Gedung sekolah lama ini akan segera dirobohkan.” Kata Daichi dengan tenang.
Hening.
“Kenapa?” aku mencoba memecahkan kesunyian diantara yang lain.
“Yang pasti karna gedung ini sudah tak terpakai tentunya, dan lagi sudah tak terawat, kemungkinan yang lain, mungkin…” Daichi memotong pembicaraannya.
“Mungkin apa?” Aku mengernyitkan alisku.
“Kau ingat Rokku kan? Apa yang pernah kita diskusikan, kalian masih ingat?” Daichi memutar matanya ke arahku dan Kaito.
“Ah… silsilah keluarga di sekolah ini? Dengan kata lain mereka ingin melihat kita menderita, kan?” Kaito mengungkapkan analisinya.
“Tepat seperti yang kupikirkan.” Daichi menggosok lehernya.
“Hanya butuh markas baru kan? Toh kukira itu takkan mempengaruhi kita.” Aku mencoba mengeluarkan aspirasiku, “Bukankah ini untung buat kita? Dengan begini Kaze tak perlu susah payah lagi menyelinap ke sekolah ini. Bagus kan?”
“Mungkin… tapi..” Kaito menatap kearahku. Rasanya sekelilingku membeku.
“Apa?” Aku mencoba tenang.
“Tahukah kau mengapa kami memilih gedung ini sebagai markas? Gedung yang sudah sangat usang ini?”
Daichi bergerak ke arah lemari. Laba-laba yang tadi sedang berusaha memintal mangsanya terpaksa sekarang harus mencari mangsa baru karna Daichi baru saja merusak sarangnya. Daichi mencoba membersihkan lemari yang sudah sangat berdebu itu dan mengumpulkan tenaganya untuk bisa menggesernya ke samping.
“Bantu aku sedikit, Kaito”
“Kau kan Earth, masa tidak kuat mendorong lemari?”
“Sudahlah cepat bantu aku. Kan ini berhubungan dengan Misi kita juga, kau tidak ingat?”
Kaito berjalan dengan malas kearah Daichi, dan sekarang mereka berdua mencoba untuk mendorong lemari kayu berdebu yang bahkan kupikir seharusnya tidak seberat itu untuk digeser. Mereka berdua bersusah payah menggeser dengan mengerahkan seluruh tenaga manusia mereka dan selang beberapa menit kemudian, dengan penuh keringat, mereka berhasil menggeser lemari berdebu si laba-laba itu. Pintu. Di belakang lemari itu ternyata ada sebuah pintu. Pintu dari kayu yang terukir gambar symbol-simbol yunani yang aku tidak mengerti tapi tetap menunjukkan keindahan buatku. Aku menelan ludah. Penasaran dengan apa yang ada di balik pintu tersebut.
Daichi melirik kearah Kaito, dan Kaito mengangguk seakan dia mengerti apa yang ada di pikiran Daichi. Daichi menggumamkan mantra, perlahan-lahan gambar naga yang tertempel di pintu yang bersimbolkan huruf Yunani itu bergerak. Naga itu seolah menjauh.
Klek.
Pintu itu pun terbuka. Angin dingin menyeruak keluar menghujam kulitku. Sebuah lorong yang panjang sekarang membentang di hadapanku.
“Apa.. ini?” Aku bertanya kepada Daichi dan Kaito.
“Lorong waktu. Cepat masuk ” Kaito menjawab. Dan dia mulai masuk kedalam lorong tersebut.
“What?” Aku tidak mengerti. Bagaimana bisa? aku mengikuti di belakang Daichi.
“Somehow, gedung sekolah lama ini menciptakan dimensi tertentu dimana semua aliran waktu melewati dan bergerak ke tempat ini. Kaze yang menemukan lorong ini.” Daichi berjaan di belakangku.
“Aku tetap tak mengerti.” Aku mengernyitkan dahiku. “Kalau ini adalah lorong waktu, berarti kita sekarang berjalan di tengah aliran waktu? Bagaimana bisa kita tidak bertabrakan dengan waktu yang lain?”
“Seperti yang kau lihat.” Daichi menyentuh dinding lorong tersebut. “Masa depan, masa lalu, dan masa kini. Lorong ini lah pembatasnya. Kita sedang berjalan diantara dimensi waktu dan alam astral kita. Ini membuat soul kita menciptakan proteksi tersendiri dari hentaman aliran waktu sehingga kita—para souler¬, bisa dengan mudah menembus waktu. Manusia biasa tentu tidak bisa melihat ini. Waktu, adalah benda abstrak. Seperti cinta.” Daichi menyeringai.
Aku semakin bingung dengan penjelasan Daichi. Jadi sekarang, aku sedang jalan-jalan diantara waktu? Diamanakah aku sekarang? Masa depan? Masa lalu? Masa kini?
“Lalu.. sekarang kita mau apa di lorong waktu ini?” aku mencoba mencari jawaban atas apa yang sedang kami perbuat.
“Kita harus menemukan tubuh Kaze. Ini misi kita. ” Kaito berjalan dengan cepat di depanku. Rasanya lorong ini begitu panjang dan aku merasa takut kalau tidak ada ujungnya. Napasku rasanya sedikit sesak.
“Tubuh Kaze? Dimana? Misi?” sekarang aku terengah-engah. Entah karna tekanan dari waktu yang mengalir di sekitarku atau karna aku yang mencoba mengejar Kaito. Dia punya kaki yang lebih panjang dariku, dan dia berjalan sangat cepat. Hell.
“Celestia.” Daichi bergumam.
Aku menghentikan langkahku tiba-tiba dan Daichi berhenti secara tiba-tiba sebelum menabrakku. Kaget akan apa yang baru saja diucapkan Daichi aku menoleh kearahnya.
“Celestia katamu? Tempat perang kita terakhir itu? Disana kan banyak Angel dan Kaze pun tidak ada, bagaimana kalau kita tertangkap?”
“Karna itulah kita punya mata-mata.” Kaito mulai bersemangat. “Dan teruslah berjalan, jangan berhenti disana atau kau akan kehilangan waktu mudamu!”
Aku berlari mengejar Kaito.
“Mata-mata? Siapa? Kenapa kalian tidak pernah memberi tahuku kalian punya mata-mata?”
“Kukira kau sudah pernah bertemu dengannya Miyu.” Daichi berjalan lagi dengan cepat di belakangku.
“Benarkah?” aku semakin bingung dengan semua ini.
“Ya, dan kita akan bertemu dengannya di ujung lorong ini.”
----
Kaze menguap. Ah, mereka mengunjungi Time Tunnel rupanya, pikir Kaze.
“Dasar Kaito. Aku sudah bilang akan lakukan sendiri. Yasudah lah, toh Sai juga disana.”
Kaze melompat keatas tempat tidur Miyu. Berbaring disana seolah tidak ada beban berat dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari misi mereka kali ini.
-----
Aku menghembuskan nafasku. Rasanya aku sudah berlari sekuat tenaga di lorong ini. tapi mana ujungnya?
“Kaito, perjalanan kita masih jauh kah?” aku mencoba mengatur nafasku.
“Sedikit lagi..” dan dia tiba-tiba berbelok. Aku pun mengikutinya.
Dan itu dia. Cahaya. Aku merasa paru-paruku melebar lagi.
“Lama sekali..”
Seseorang dengan memakai tudung transparan menunggu kami di ujung terowongan waktu. Dia sedang bertransformasi rupanya. Dan.. tunggu. Aku kenal dia..
“Gin? Kenapa kau ada disini?”
“Wah, Miyu, apa Daichi atau Kaito tidak memberitahumu? Kalian jahat sekali.” Gin merengut kearah Kaito. Kaito melengos tidak peduli.
Aku melihat seseorang yang lain disana. Seseorang yang tinggi dan sedikit berkulit hitam. Siapa?
“Ah, aku lupa memberitahumu. Dia Sai. Wind.” Kaito seakan bisa membaca pikiranku.
“Heeeeyyy! Kalian memperkenalkan Sai tapi tidak memperkenalkan diriku! Dasar! Padahal aku juga punya jabatan penting disini!” Gin menghardik.
Kaito menghela nafas. “Baiklah baiklah, ini dia sang mata-mata. Gin. Angel. Happy?” Kaito bersikap dingin. Gin masih cemberut.
Gin mata-mata?! Angel?
Aku seperti menerima pukulan di kepalaku. Gin seorang Angel?
“Tenang. Dia berpihak pada kita, yah.. saat ini.” Daichi mengusap kepalaku.
“Hai Miyu, Aku Sai, senang bertemu denganmu. Water eh? Terlihat jelas.” Sai terkikik.
“Baiklah cukup basa-basinya, kita punya misi penting sekarang.” Kaito bersiap bertransformasi.
“Jadi, adakah seseorang yang bisa menjelaskan apa yang sedang terjadi disini, apa yang kita lakukan, dan dimana ini?” Aku benar-benar depresi.
“Haha, Miyu. Kau lucu sekali.” Sai tertawa.
“Kita sedang kembali ke masa lalu Miyu, saat di Celestia. Sekarang, kita akan merebut kembali tubuh Kaze yang tersegel.” Daichi sudah bertransformasi rupanya.
“Miyu, cobalah bertransformasi.” Kaito menatapku
“A-aku? Aku belum bisa bertransformasi penuh.” Aku gugup.
“Kau bisa.” Sai menyentuh kepalaku.
Aku merasa seperti terlempar. Eirin muncul di hadapanku.
“Ayo ucapkan sama-sama.. Miyu..”
“Animus vinctus in aquam fluere, influit!”
Aliran energi berkumpul menyeruak ke dalam badanku. Eirin menyatu dengan jiwaku. Aku merasakan sensasi yang seperti merobek tulangku. Aku membuka mataku. Aku tampak seperti Eirin.
“Baik, mulai dari sini. Aku yang akan memimpin. Ingat untuk berjarak setidaknya 100 meter dariku, okay?” Gin maju.
“Hmph.” Kaito menyetujui.
“Kalian siap?” Sai mengerling kearahku dan Daichi. Aku mengangguk.
“Let’s go to Celestia..”
Gin menghentakan kakinya dan kami semua masuk kedalam lingkaran yang tampak seperti gerbang putih.
Tag :// novels
Chapter 12. New Breeze
Kuro bisa bicara? Aku bermimpi kan?
Kepalaku jadi pusing. Apa yang terjadi? Kuro masih berdiri di depanku dan menatapku dengan tajam.
“Kuro.. Kau.. kucing kan?”, aku masih tidak percaya dengan penglihatanku.
“Sudahlah, cepat ambil pakaianmu dan dengarkan aku”. Kuro melompat turun dari bathtubeku dan keluar dari kamar mandiku.
Apa ini? Aku memeriksa dahiku. Normal, aku tidak demam. Aku mencubit pipiku. Sakit. Aku tidak bermimpi. Berarti..
Hidupku memang sudah melebihi batas normal semenjak Eirin terlahir dari dalam diriku. Aku mulai banyak memasuki dunia yang memang susah untuk dijelaskan dengan logika. Tapi, tiba-tiba ada seekor kucing hitam yang bicara di depanku? Orang pikir aku pasti sudah gila.
Aku menarik handukku dan menyudahi mandikku, dengan cepat aku berpakaian dan keluar dari kamar mandi menuju kamarku. Kuro sudah duduk diatas kasur menungguku. Aku memeriksa sekeliling kamarku memastikan tidak ada yang mendengar. Kukunci pintu dan aku berjalan kearah Kuro dengan gemetar.
“Si-siapa kau, to-tolong jangan ganggu aku tuan jin”, aku terpaku beberapa langkah dari Kuro. Sengaja kubuat jarak diantara kami kalau-kalau terjadi sesuatu seperti.. sesuatu itu melompat keluar misalnya.
“Cih, tuan jin katamu? Jahat sekali, kau masih belum menyadarinya kah, Miyu-chan?”
Ah panggilan itu. Kata –chan terbayang-bayang dalam benakku. Yang selalu memanggilku dengan tambahan kata seperti itu semenjak kami bertemu..
“K-kaze?!”
“Dasar lambat.” Kaze menggeliat diatas kasurku.
Otakku berputar dengan cepat. Kenapa Kaze menjadi Kuro? Akankah Kaze masuk kedalam tubuh Kuro ataukah memang Kuro adalah Kaze?
“Kenapa kau masuk ke dalam tubuh Kuro?” aku mencoba dugaanku yang pertama.
“Masuk katamu? Hey, sejak awal namaku memang Kaze. Kau saja yang merubahnya seenaknya.”
“Maksudmu sejak awal Kaze adalah kucing yang bernama Kuro?”
“Sudahlah hentikan bermain detektif-detektifnya, kutegaskan sekali lagi aku memang Kaze, tapi sekarang sedang berwujud seekor kucing.”
Aku menelan ludahku. Kuro adalah Kaze?
“Tapi kenapa?”
“Kenapa aku menjadi kucing maksudmu? Yah, semenjak kejadian di Celestia itu aku sudah menghabiskan seluruh energiku. Dan juga aku sudah lagi bukan wind. Aku terlahir kembali sebagai dark. Aku menghancurkan badanku sendiri karna kekuatan dark yang kupakai melebihi batas saat itu untukku yang baru lahir. Aku kembali ke dunia ini karna aku tahu kau pasti akan terus-terusan menangis, tapi karna tubuh manusiaku sudah hancur jadi apa boleh buat, aku kembali dalam bentuk kucing sampai tubuh baruku nanti selesai dibuat.”
Lagi, otakku berputar. Ya, aku memang menunggu Kaze untuk kembali. Tapi aku tidak pernah menyangka dia akan kembali dalam bentuk kucing. Jadi semenjak awal Kuro itu adalah Kaze? Ah! Aku tersadar sesuatu. Pipiku memerah, aku malu sekali.
“Dasar kucing cabul!!” kulempar bantal kearah Kaze. “Kenapa kau tidak bilang dari awal, hah?! Kau sudah melihat tubuhku, argh! Aku tidak bisa menikah!”
“Cih, siapa yang mengajakku mandi bersama? Lagipula aku tidak tertarik pada tubuh anak SD”, Kaze melenggang pergi dengan santai.
“APA?!”, rasanya aku ingin sekali mencabuti seluruh bulu di tubuh kucing Kaze.
***
Aku masih kesal pada Kaze. dia apa-apaan sih? Kenapa dia tidak bicara dari awal kalau dia itu Kaze? aku menggenggam dasiku dengan kencang.
“Yo!”, seseorang menepuk bahuku dari belakang. Aku menoleh kearahnya.
“Kau sakit perut Miyu?”, Tanya Daichi yang mengira genggamanku yang kuat pada dasiku karna aku menahan sakit.
“Tidak kok,” jawabku.
kami berjalan beriringan kesekolah. Ini pertama kalinya bagiku berjalan disamping Daichi, aku merasa cemas. Bukan aku tak suka berjalan bersamanya, aku hanya takut akan fansnya.
“Sudah tenang saja Miyu,” Kata Daichi yang seakan bisa membaca pikiranku.
“Ah-ahahaha,” aku tertawa lemas.
“Syukurlah kau sudah tertawa lagi, kukira semalaman kau akan membuat banjir di daerah sini.”
“Maksudmu apa, hah?” aku menepuk kepala Daichi sambil terkekeh.
“Yah, siapa tau air matamu berubah menjadi lautan, kau kan Water,”
“Itu tidak mungkin! Kau berlebihan,” aku menepak kepala Daichi sekali lagi.
“Tapi mungkin lebih bagus kalau airmatamu dirubah saja menjadi Aquamarine, kalau dijual pasti laku mahal.”
Sekali lagi aku ingin menepak kepala Daichi tapi dia sudah berhasil menghindariku.
“Miyu!” Sakura berteriak dari arah gerbang kearahku. Sepertinya dia memang sengaja menunggu kedatanganku. Dia berlari kearahku seperti anak-anak yang ingin memamerkan mainan barunya kepada temannya.
“Ada apa?” aku dan Daichi keheranan melihat Sakura yang bertingkah lain dari biasanya. Sakura memang penuh rasa humor, tapi belakangan dia jadi pemurung karna sahabat baiknya koma.
“Hana! Dia sudah sadar.” Sakura tersenyum cerah padaku.
“Benarkah?” aku merasakan luapan kegembiraan yang luar biasa. Kaze kembali dan Hana sudah sadar dari komanya.
“Baiklah, bagaimana kalau kita semua nanti menjenguknya? Aku juga akan mengajak Kaito.” Kata Daichi.
“Ah.. itu..”
“Kenapa?” Daichi mengerutkan dahinya.
“Hey kalian menghalangi jalan masuk.” Kaito muncul dan berkata dengan acuhnya, disampingnya, Eari, menggenggam lengannya layaknya anak kecil yang takut kehilangan boneka teddynya. Aku menelan ludahku.
“Oh, Kaito.” Mata Daichi berputar kearah Eari, “Dia kenalanmu?”
“Ya.. bisa dibilang seperti itu.” Kaito seperti malas ingin menjelaskan.
Akhirnya kami memasuki sekolah bersama-sama. 5 orang berjalan beriringan layaknya membentuk barisan upacara, terlihat sangat aneh, bagiku paling tidak.
“Kita berpisah disini.” Kata Daichi yang hendak ke ruang OSIS terlebih dahulu, “Sampai jumpa nanti Miyu, Kaito.”
Dan Daichi melangkah meninggalkan kami.
Awkward situation. Kaito dan temannya yang selalu menggandeng lengannya berjalan di depanku dan Sakura. Rasanya seperti aku ingin membenamkan wajahku. Aku tidak mau melihat pemandangan seperti ini, Sakura menoleh ke arahku.
“Hey.. Miyu, dia itu siapa sih? Nempel-nempel terus dengan Kaito.” Sakura berbisik kepadaku. Aku mencoba untuk tersenyum pada Sakura tapi gagal. Senyumku malah terlihat seperti seringai.
“Baiklah Kaito, makan siang nanti bersamaku ya, aku sudah membuatkan bekal untukmu.” Eari melepaskan lengan Kaito, tersenyum, lalu menuju ke kelasnya sendiri.
Aku dan Sakura bergegas masuk ke kelas kami tanpa memperhatikan Kaito yang mencoba untuk tersenyum gagal sepertiku tadi.
________________
“Dasar Miyu, aku dikunci di kamar seperti ini, levelku kan lebih tinggi dari kucing biasa.” Kaze menggumam. Dia mencakar-cakar pintu berharap kalau pintunya bisa terbuka. “Sial, aku tidak bisa pakai kekuatanku.” Kaze menyerah.
“Haaahh.. Miyu bodoh, padahal aku mau memperkenalkan Wind baru penggantiku, Semoga mereka bisa bertemu.” Kaze menguap dan kembali tidur bak kucing.
“KLUB MAGIC”
Rasanya aku selalu lupa meminta Daichi untuk mengganti nama klub. Kenapa harus magic? Kita tidak berhubungan dengan sulap sama sekali. Tidak ada kosong.. kosong.. apalah. Memang sih, Kaze perah menjelaskan tentang arti dari Magic ini, tapi aku merasa aneh saja.
Aku membuka pintu ruang Klub. Yeah, sepi.. rasanya semenjak Kaze menghilang—jadi kucing maksudku, jarang member yang lain rajin memeriksa tempat ini.
Astaga! Aku teringat sesuatu, aku belum beritahu member yang lain kalau Kaze jadi kucing! Apa harus kuberitahu? Atau lebih baik mereka tahu sendiri?
Aku melangkah ke kursi di dekat jendela. Rasanya semuanya terjadi begitu cepat. Ada hal yang membuatku tidak bisa bernafas tenang. Kenapa harus Hana yang diculik? Mungkin karna dia sahabatku? Tapi Hana tidak tahu-menahu dan tidak ada hubungannya dengan masalah soul. Aku bahkan juga tidak tahu kalau Hana adalah seorang souler… tunggu,. Kaze pun tidak mengetahuinya. Hana seperti dipaksakan untuk menjadi seorang Angel, karna Frau tahu aku seorang Demon? Argh! Rasanya aku tidak bisa berpikir apa alasannya.
“Kau sedang memikirkan apa?”
Aku terkejut, lagi. Kenapa aku tidak pernah bisa merasakan keberadaannya?
“Ohh.. tidak… ” Aku menundukkan kepalaku. Entah kenapa aku tidak berani menatap Kaito.
“Aku tidak bisa menemukannya.. ini aneh.. di dunia sana pun tidak terdeteksi.”
“Maksudmu?”
“Kaze”
“Ah, itu...”
Daichi membuka pintu klub memotong pembicaraanku.
“Ah, kalian disini rupanya.”
“Ada apa?”, Aku berusaha mencari alasan untuk berjauhan dengan Kaito.
“Semalam, rasanya Kaze datang di mimpiku..”
“Hah?”
“Dia bilang, carilah ‘Wind’ penggantiku.”
“Maksudmu?” aku mengerutkan dahiku.
“Entahlah, dia hanya berkata seperti itu di dalam mimpiku dan menghilang.”
“Wind baru? Kenapa?”
Apa dia kehilangan kekuatannya? Dan menyuruh kami mencari penggantinya? Apa itu artinya dia tidak bisa lagi menjadi manusia?
“Begitukah? Kalau Kaze sudah bicara seperti itu, kita harus menurutinya.” Kaito berpikir.
“Tapi kenapa Wind? Kaze kan Wind. kenapa kita butuh Wind lagi?”
“Bodoh.” Daichi menepuk kepalaku, “Kau tidak ingat apa yang terjadi terakhir kali?”
Aku mencoba mengingat pertarungan Kaze dan Seraph terakhir kali. Ledakan hitam itu…
“Ya, Kaze telah menjadi Dark,” Daichi menjawabnya sebelum aku membuka mulutku.
“Eternal Darkness..” Kaito menambahkan.
“Jadi… dia adalah Dark… apa element seseorang bisa berubah?”
“Bukan.. aslinya dia memang Dark.”
“Aku… tidak mengerti.”
“Kita tunggu saja sampai Kaze kembali, biar dia sendiri yang akan menjelaskannya.” Daichi menepuk kepalaku lagi.
“Ah.. Kaze sebenarnya—“
Bel berbunyi. Waktu istirahat siang habis. Daichi dan Kaito beranjak pergi. Aku tidak punya kesempatan untuk berbicara? Menyebalkan.
_________________
“Hana…” Air mata Sakura berjatuhan. Sepertinya dia sangat merindukan sahabat baiknya.”
“Kau sudah merasa baikan?”, Aku menatap Hana yang tampak lebih kurus sekarang. Sakura duduk di sebelahku.
“Kau… apa kau sudah kembai normal?”, Aku melihatnya cemas
“Miyu.. maafkan aku.. tapi sungguh, aku tidak tahu kenapa aku bisa jadi begini.”, Hana mengusap kepalanya.
“Maksudmu, kau tidak ingat?”
“Bukan.. ada sesuatu.. yang membuatku tidak bisa tenang, aku ingat semuanya, tapi.. aku sungguh tidak ingin melakukan hal itu.” Hana menundukkan kepalanya.
Aku bingung.
“Kalian membicarakan apa?” Sakura menatapku bingung.
“Ah, tidak”, aku menyeringai. “Ini kami bawakan buah-buahan untukmu. Dimakan, ya!”
Sakura mengernyitkan dahinya, Aku merasa sesuatu berjalan tidak normal. Hana memakan jeruknya sambil seperti memikirkan sesuatu.
_________________
“Heh, bangun” Aku menendang tubuh kucing Kaze yang sedang tertidur di lantai.
“Miyu! Kau! Liat saja kalau aku kembali jadi manusia. Matilah kau!” Kaze berguling malas.
“Sudahlah, itu tidak penting. Ada yang ingin kutanyakan padamu.”
“Apa?”
“Aku merasa ada yang aneh dengan Hana.”
“Dengan tiba-tiba dia menjadi Angel karna tau kau Demon padahal kau tidak menyangka bahkan dia mengetahui semua tentang ini?”
Aku melongo menatap Kaze.
“Aku tau ada hal aneh. Ada seseorang di balik semua ini. Tapi buktiku belum cukup. Tinggal kita menunggu waktu saja dan semuanya akan jadi jelas.”
Otakku berpikir dengan kecepatan yang diatas normal. Semua ini sangat membingungkan.
“By the way, apa Daichi memberitahukan mu sesuatu?”, Kaze menguap.
“Daichi?” aku mencoba mengingat apa yang dia katakana di sekolah tadi, “Ah! Wind baru? Penggantimu, eh?”
“Aku tidak akan menjelaskan siapa dia. Tugas kalian lah untuk mencarinya. Anggap saja latihan untuk kalian merasakan setiap Element yang tertanam dalam dari seseorang”.
“Dasar pelit.” Cibirku, “Ayolah, Give me some clue!”
“Never.” Kaze kembali tidur.
Cih. Kutendang sekali lagi ekornya. Tapi dia tidak terusik.
____________
Hana meraba lehernya. Sesuatu mengganjal di bagian tengkuknya. Dia merasa ada sesuatu yang tertinggal disana. Dia merasakannya. Ada lengkungan sayap kecil di lehernya. Dia telah dicap. Hana bergidik. Mencoba mengingat kembali apa yang telah terjadi namun ingatannya sebelum berperang seperti telah dihapus. Dia hanya bisa mengingat ada orang yang telah menariknya ke dalam masalah ini. Dan dia yakin dia mengenalnya..
Aku harus menemukannya. Sesuatu itu..
Hana bangkit dari tempat tidurnya. Melempar selimut rumah sakit keatas kasurnya dan mencabut jarum infus di tangan kirinya. Dia keluar.
________
“Aku sudah tau kau yang akan menjadi penggantinya.” Kaito berbicara kepada seorang lelaki berperawakan tinggi. Kulitnya sedikit menghitam karna matahari. Tubuhnya yang tinggi menunjukkan setidaknya dia adalah pemain basket.
“Haha, jadi aku akan bergabung dengan kalian, eh?”
“Ya.. selamat bergabung.. Sai.”
“Yeah yeah.”
Dan mereka berdua bertransformasi, kemudian menghilang di kegelapan malam.
Tag :// novels
Chapter 12. New Breeze
Kuro bisa bicara? Aku bermimpi kan?
Kepalaku jadi pusing. Apa yang terjadi? Kuro masih berdiri di depanku dan menatapku dengan tajam.
“Kuro.. Kau.. kucing kan?”, aku masih tidak percaya dengan penglihatanku.
“Sudahlah, cepat ambil pakaianmu dan dengarkan aku”. Kuro melompat turun dari bathtubeku dan keluar dari kamar mandiku.
Apa ini? Aku memeriksa dahiku. Normal, aku tidak demam. Aku mencubit pipiku. Sakit. Aku tidak bermimpi. Berarti..
Hidupku memang sudah melebihi batas normal semenjak Eirin terlahir dari dalam diriku. Aku mulai banyak memasuki dunia yang memang susah untuk dijelaskan dengan logika. Tapi, tiba-tiba ada seekor kucing hitam yang bicara di depanku? Orang pikir aku pasti sudah gila.
Aku menarik handukku dan menyudahi mandikku, dengan cepat aku berpakaian dan keluar dari kamar mandi menuju kamarku. Kuro sudah duduk diatas kasur menungguku. Aku memeriksa sekeliling kamarku memastikan tidak ada yang mendengar. Kukunci pintu dan aku berjalan kearah Kuro dengan gemetar.
“Si-siapa kau, to-tolong jangan ganggu aku tuan jin”, aku terpaku beberapa langkah dari Kuro. Sengaja kubuat jarak diantara kami kalau-kalau terjadi sesuatu seperti.. sesuatu itu melompat keluar misalnya.
“Cih, tuan jin katamu? Jahat sekali, kau masih belum menyadarinya kah, Miyu-chan?”
Ah panggilan itu. Kata –chan terbayang-bayang dalam benakku. Yang selalu memanggilku dengan tambahan kata seperti itu semenjak kami bertemu..
“K-kaze?!”
“Dasar lambat.” Kaze menggeliat diatas kasurku.
Otakku berputar dengan cepat. Kenapa Kaze menjadi Kuro? Akankah Kaze masuk kedalam tubuh Kuro ataukah memang Kuro adalah Kaze?
“Kenapa kau masuk ke dalam tubuh Kuro?” aku mencoba dugaanku yang pertama.
“Masuk katamu? Hey, sejak awal namaku memang Kaze. Kau saja yang merubahnya seenaknya.”
“Maksudmu sejak awal Kaze adalah kucing yang bernama Kuro?”
“Sudahlah hentikan bermain detektif-detektifnya, kutegaskan sekali lagi aku memang Kaze, tapi sekarang sedang berwujud seekor kucing.”
Aku menelan ludahku. Kuro adalah Kaze?
“Tapi kenapa?”
“Kenapa aku menjadi kucing maksudmu? Yah, semenjak kejadian di Celestia itu aku sudah menghabiskan seluruh energiku. Dan juga aku sudah lagi bukan wind. Aku terlahir kembali sebagai dark. Aku menghancurkan badanku sendiri karna kekuatan dark yang kupakai melebihi batas saat itu untukku yang baru lahir. Aku kembali ke dunia ini karna aku tahu kau pasti akan terus-terusan menangis, tapi karna tubuh manusiaku sudah hancur jadi apa boleh buat, aku kembali dalam bentuk kucing sampai tubuh baruku nanti selesai dibuat.”
Lagi, otakku berputar. Ya, aku memang menunggu Kaze untuk kembali. Tapi aku tidak pernah menyangka dia akan kembali dalam bentuk kucing. Jadi semenjak awal Kuro itu adalah Kaze? Ah! Aku tersadar sesuatu. Pipiku memerah, aku malu sekali.
“Dasar kucing cabul!!” kulempar bantal kearah Kaze. “Kenapa kau tidak bilang dari awal, hah?! Kau sudah melihat tubuhku, argh! Aku tidak bisa menikah!”
“Cih, siapa yang mengajakku mandi bersama? Lagipula aku tidak tertarik pada tubuh anak SD”, Kaze melenggang pergi dengan santai.
“APA?!”, rasanya aku ingin sekali mencabuti seluruh bulu di tubuh kucing Kaze.
***
Aku masih kesal pada Kaze. dia apa-apaan sih? Kenapa dia tidak bicara dari awal kalau dia itu Kaze? aku menggenggam dasiku dengan kencang.
“Yo!”, seseorang menepuk bahuku dari belakang. Aku menoleh kearahnya.
“Kau sakit perut Miyu?”, Tanya Daichi yang mengira genggamanku yang kuat pada dasiku karna aku menahan sakit.
“Tidak kok,” jawabku.
kami berjalan beriringan kesekolah. Ini pertama kalinya bagiku berjalan disamping Daichi, aku merasa cemas. Bukan aku tak suka berjalan bersamanya, aku hanya takut akan fansnya.
“Sudah tenang saja Miyu,” Kata Daichi yang seakan bisa membaca pikiranku.
“Ah-ahahaha,” aku tertawa lemas.
“Syukurlah kau sudah tertawa lagi, kukira semalaman kau akan membuat banjir di daerah sini.”
“Maksudmu apa, hah?” aku menepuk kepala Daichi sambil terkekeh.
“Yah, siapa tau air matamu berubah menjadi lautan, kau kan Water,”
“Itu tidak mungkin! Kau berlebihan,” aku menepak kepala Daichi sekali lagi.
“Tapi mungkin lebih bagus kalau airmatamu dirubah saja menjadi Aquamarine, kalau dijual pasti laku mahal.”
Sekali lagi aku ingin menepak kepala Daichi tapi dia sudah berhasil menghindariku.
“Miyu!” Sakura berteriak dari arah gerbang kearahku. Sepertinya dia memang sengaja menunggu kedatanganku. Dia berlari kearahku seperti anak-anak yang ingin memamerkan mainan barunya kepada temannya.
“Ada apa?” aku dan Daichi keheranan melihat Sakura yang bertingkah lain dari biasanya. Sakura memang penuh rasa humor, tapi belakangan dia jadi pemurung karna sahabat baiknya koma.
“Hana! Dia sudah sadar.” Sakura tersenyum cerah padaku.
“Benarkah?” aku merasakan luapan kegembiraan yang luar biasa. Kaze kembali dan Hana sudah sadar dari komanya.
“Baiklah, bagaimana kalau kita semua nanti menjenguknya? Aku juga akan mengajak Kaito.” Kata Daichi.
“Ah.. itu..”
“Kenapa?” Daichi mengerutkan dahinya.
“Hey kalian menghalangi jalan masuk.” Kaito muncul dan berkata dengan acuhnya, disampingnya, Eari, menggenggam lengannya layaknya anak kecil yang takut kehilangan boneka teddynya. Aku menelan ludahku.
“Oh, Kaito.” Mata Daichi berputar kearah Eari, “Dia kenalanmu?”
“Ya.. bisa dibilang seperti itu.” Kaito seperti malas ingin menjelaskan.
Akhirnya kami memasuki sekolah bersama-sama. 5 orang berjalan beriringan layaknya membentuk barisan upacara, terlihat sangat aneh, bagiku paling tidak.
“Kita berpisah disini.” Kata Daichi yang hendak ke ruang OSIS terlebih dahulu, “Sampai jumpa nanti Miyu, Kaito.”
Dan Daichi melangkah meninggalkan kami.
Awkward situation. Kaito dan temannya yang selalu menggandeng lengannya berjalan di depanku dan Sakura. Rasanya seperti aku ingin membenamkan wajahku. Aku tidak mau melihat pemandangan seperti ini, Sakura menoleh ke arahku.
“Hey.. Miyu, dia itu siapa sih? Nempel-nempel terus dengan Kaito.” Sakura berbisik kepadaku. Aku mencoba untuk tersenyum pada Sakura tapi gagal. Senyumku malah terlihat seperti seringai.
“Baiklah Kaito, makan siang nanti bersamaku ya, aku sudah membuatkan bekal untukmu.” Eari melepaskan lengan Kaito, tersenyum, lalu menuju ke kelasnya sendiri.
Aku dan Sakura bergegas masuk ke kelas kami tanpa memperhatikan Kaito yang mencoba untuk tersenyum gagal sepertiku tadi.
________________
“Dasar Miyu, aku dikunci di kamar seperti ini, levelku kan lebih tinggi dari kucing biasa.” Kaze menggumam. Dia mencakar-cakar pintu berharap kalau pintunya bisa terbuka. “Sial, aku tidak bisa pakai kekuatanku.” Kaze menyerah.
“Haaahh.. Miyu bodoh, padahal aku mau memperkenalkan Wind baru penggantiku, Semoga mereka bisa bertemu.” Kaze menguap dan kembali tidur bak kucing.
“KLUB MAGIC”
Rasanya aku selalu lupa meminta Daichi untuk mengganti nama klub. Kenapa harus magic? Kita tidak berhubungan dengan sulap sama sekali. Tidak ada kosong.. kosong.. apalah. Memang sih, Kaze perah menjelaskan tentang arti dari Magic ini, tapi aku merasa aneh saja.
Aku membuka pintu ruang Klub. Yeah, sepi.. rasanya semenjak Kaze menghilang—jadi kucing maksudku, jarang member yang lain rajin memeriksa tempat ini.
Astaga! Aku teringat sesuatu, aku belum beritahu member yang lain kalau Kaze jadi kucing! Apa harus kuberitahu? Atau lebih baik mereka tahu sendiri?
Aku melangkah ke kursi di dekat jendela. Rasanya semuanya terjadi begitu cepat. Ada hal yang membuatku tidak bisa bernafas tenang. Kenapa harus Hana yang diculik? Mungkin karna dia sahabatku? Tapi Hana tidak tahu-menahu dan tidak ada hubungannya dengan masalah soul. Aku bahkan juga tidak tahu kalau Hana adalah seorang souler… tunggu,. Kaze pun tidak mengetahuinya. Hana seperti dipaksakan untuk menjadi seorang Angel, karna Frau tahu aku seorang Demon? Argh! Rasanya aku tidak bisa berpikir apa alasannya.
“Kau sedang memikirkan apa?”
Aku terkejut, lagi. Kenapa aku tidak pernah bisa merasakan keberadaannya?
“Ohh.. tidak… ” Aku menundukkan kepalaku. Entah kenapa aku tidak berani menatap Kaito.
“Aku tidak bisa menemukannya.. ini aneh.. di dunia sana pun tidak terdeteksi.”
“Maksudmu?”
“Kaze”
“Ah, itu...”
Daichi membuka pintu klub memotong pembicaraanku.
“Ah, kalian disini rupanya.”
“Ada apa?”, Aku berusaha mencari alasan untuk berjauhan dengan Kaito.
“Semalam, rasanya Kaze datang di mimpiku..”
“Hah?”
“Dia bilang, carilah ‘Wind’ penggantiku.”
“Maksudmu?” aku mengerutkan dahiku.
“Entahlah, dia hanya berkata seperti itu di dalam mimpiku dan menghilang.”
“Wind baru? Kenapa?”
Apa dia kehilangan kekuatannya? Dan menyuruh kami mencari penggantinya? Apa itu artinya dia tidak bisa lagi menjadi manusia?
“Begitukah? Kalau Kaze sudah bicara seperti itu, kita harus menurutinya.” Kaito berpikir.
“Tapi kenapa Wind? Kaze kan Wind. kenapa kita butuh Wind lagi?”
“Bodoh.” Daichi menepuk kepalaku, “Kau tidak ingat apa yang terjadi terakhir kali?”
Aku mencoba mengingat pertarungan Kaze dan Seraph terakhir kali. Ledakan hitam itu…
“Ya, Kaze telah menjadi Dark,” Daichi menjawabnya sebelum aku membuka mulutku.
“Eternal Darkness..” Kaito menambahkan.
“Jadi… dia adalah Dark… apa element seseorang bisa berubah?”
“Bukan.. aslinya dia memang Dark.”
“Aku… tidak mengerti.”
“Kita tunggu saja sampai Kaze kembali, biar dia sendiri yang akan menjelaskannya.” Daichi menepuk kepalaku lagi.
“Ah.. Kaze sebenarnya—“
Bel berbunyi. Waktu istirahat siang habis. Daichi dan Kaito beranjak pergi. Aku tidak punya kesempatan untuk berbicara? Menyebalkan.
_________________
“Hana…” Air mata Sakura berjatuhan. Sepertinya dia sangat merindukan sahabat baiknya.”
“Kau sudah merasa baikan?”, Aku menatap Hana yang tampak lebih kurus sekarang. Sakura duduk di sebelahku.
“Kau… apa kau sudah kembai normal?”, Aku melihatnya cemas
“Miyu.. maafkan aku.. tapi sungguh, aku tidak tahu kenapa aku bisa jadi begini.”, Hana mengusap kepalanya.
“Maksudmu, kau tidak ingat?”
“Bukan.. ada sesuatu.. yang membuatku tidak bisa tenang, aku ingat semuanya, tapi.. aku sungguh tidak ingin melakukan hal itu.” Hana menundukkan kepalanya.
Aku bingung.
“Kalian membicarakan apa?” Sakura menatapku bingung.
“Ah, tidak”, aku menyeringai. “Ini kami bawakan buah-buahan untukmu. Dimakan, ya!”
Sakura mengernyitkan dahinya, Aku merasa sesuatu berjalan tidak normal. Hana memakan jeruknya sambil seperti memikirkan sesuatu.
_________________
“Heh, bangun” Aku menendang tubuh kucing Kaze yang sedang tertidur di lantai.
“Miyu! Kau! Liat saja kalau aku kembali jadi manusia. Matilah kau!” Kaze berguling malas.
“Sudahlah, itu tidak penting. Ada yang ingin kutanyakan padamu.”
“Apa?”
“Aku merasa ada yang aneh dengan Hana.”
“Dengan tiba-tiba dia menjadi Angel karna tau kau Demon padahal kau tidak menyangka bahkan dia mengetahui semua tentang ini?”
Aku melongo menatap Kaze.
“Aku tau ada hal aneh. Ada seseorang di balik semua ini. Tapi buktiku belum cukup. Tinggal kita menunggu waktu saja dan semuanya akan jadi jelas.”
Otakku berpikir dengan kecepatan yang diatas normal. Semua ini sangat membingungkan.
“By the way, apa Daichi memberitahukan mu sesuatu?”, Kaze menguap.
“Daichi?” aku mencoba mengingat apa yang dia katakana di sekolah tadi, “Ah! Wind baru? Penggantimu, eh?”
“Aku tidak akan menjelaskan siapa dia. Tugas kalian lah untuk mencarinya. Anggap saja latihan untuk kalian merasakan setiap Element yang tertanam dalam dari seseorang”.
“Dasar pelit.” Cibirku, “Ayolah, Give me some clue!”
“Never.” Kaze kembali tidur.
Cih. Kutendang sekali lagi ekornya. Tapi dia tidak terusik.
____________
Hana meraba lehernya. Sesuatu mengganjal di bagian tengkuknya. Dia merasa ada sesuatu yang tertinggal disana. Dia merasakannya. Ada lengkungan sayap kecil di lehernya. Dia telah dicap. Hana bergidik. Mencoba mengingat kembali apa yang telah terjadi namun ingatannya sebelum berperang seperti telah dihapus. Dia hanya bisa mengingat ada orang yang telah menariknya ke dalam masalah ini. Dan dia yakin dia mengenalnya..
Aku harus menemukannya. Sesuatu itu..
Hana bangkit dari tempat tidurnya. Melempar selimut rumah sakit keatas kasurnya dan mencabut jarum infus di tangan kirinya. Dia keluar.
________
“Aku sudah tau kau yang akan menjadi penggantinya.” Kaito berbicara kepada seorang lelaki berperawakan tinggi. Kulitnya sedikit menghitam karna matahari. Tubuhnya yang tinggi menunjukkan setidaknya dia adalah pemain basket.
“Haha, jadi aku akan bergabung dengan kalian, eh?”
“Ya.. selamat bergabung.. Sai.”
“Yeah yeah.”
Dan mereka berdua bertransformasi, kemudian menghilang di kegelapan malam.
Tag :// novels
Chapter 11 : A Surprising Guest
“Aku gagal menjadi temannya, aku gagal melindunginya..”
“Miyu…”
Air mataku berjatuhan. Kaze pergi. Aku tidak bisa melindunginya. Teman macam apa aku ini. Eirin berjalan ke arahku. Dia memelukku. Rasa dingin menjalar di tubuhku. Kesedihanku yang tertahan mengalir di pundaknya.
“Aku sungguh tidak berguna..”
“Sudahlah, Miyu..”, Eirin mengusap airmataku.
“Aku telah membunuhnya.. hanya untuk keegoisanku.. aku telah membunuhnya..”
“Miyu, sadarlah,” Eirin menatap lurus mataku, “Tenang Miyu, Kaze.. tidak akan pernah mati.”
***
Tiga hari berlalu semenjak kejadian di Celestia. Hana masih di rumah sakit dan belum tersadar dari komanya. Walau akhirnya semuanya dapat kembali seperti semula, tapi aku tetap saja merasa terpukul atas hilangnya Kaze. Aku melangkahkan kakiku dengan berat ke ruangan klub. Aku membuka pintunya perlahan-lahan dan berharap kalau Kaze sedang berlatih pernafasan seperti biasanya. Kosong. Aku menghela nafasku.
Aku berjalan kearah meja di tengah ruangan yang biasa kami pakai untuk berdiskusi. Aku teringat pertama kali aku bertemu Kaze. Dia selalu menolongku. Aku menundukkan kepalaku, aku menangis dalam diam.
“Miyu?”,
“Kaito? Kenapa kau ada disini?”, aku terkejut.
“Kenapa katamu? Kita kan satu klub.”
Ahh. Bodohnya aku. Aku lupa hal itu.
Kaito duduk di sebelahku dan memperhatikan mataku yang basah. Dia menepuk kepalaku.
“Tenang saja, Kaze pasti kembali.”
***
Aku menatap langit. Jalan sendirian sepulang sekolah rasanya jadi lebih sepi dari sebelumnya. Sakura harus mengikuti klubnya sepulang sekolah, jadi kami tidak bisa pulang bersama. Aku merindukan Hana. Dia pasti akan cemas kalau melihatku bersedih begini. Ah kenapa langit rasanya luas sekali.
“Meow,”
Suara kucing? Aku menoleh ke asal suara tersebut. Seekor kucing hitam terduduk di atas kardus terbuka menatap ke arahku dengan memelas. Aku menatap sekelilingku. Aku merasa kasihan pada kucing itu. aku mengangkatnya dan menggendongnya.
“Kasihan sekali, apa kau dibuang oleh pemilikmu?” aku mengusap kepalanya.
“……”, kucing itu diam penuh misteri.
“Baiklah aku akan merawatmu.”
***
Aku berendam di bathtube kamar mandiku sambil memandikan Kuro yang kotor. Aku menamakannya Kuro sesuai dengan bulunya yang berwarna hitam. Aku mengusap-usapkan busa ke seluruh badannya dan dia kelihatan memberontak.
“Tenang Kuro, aku hanya ingin membersihkanmu.” , kataku sambil mengusap bahuku. Bekas luka dari serangan Seraph masih bisa kurasakan. Semuanya berlalu seperti mimpi buruk di hidupku.
“Kau tahu, kau mengingatkanku pada seseorang.” Aku membilas badan Kuro yang dipenuhi busa, “Seseorang yang gagal kulindungi. Seseorang yang selalu melindungiku.”
Air mataku menetes. Kuro melompat ke badanku, membuat busa-busa bercipratan ke wajahku. Dia mengusap kakinya di pipiku. Aku memandanginya. Dia seperti Kaze. Aku memeluknya sambil terus membilasnya.
“Kuro, apa kau tahu dimana Kaze sekarang?”
Aku memandangi vas bunga mawar yang terpampang di sudut kamar mandi tanpa tahu apa yang sedang kulihat. Kuro melompat keluar dari bathtubeku dan mengeringkan tubuhnya. Aku menatap langit-langit kamar mandiku. Kutenggelamkan seluruh badan sampai daguku di air busa dalam bathtubeku. Sekali saja aku ingin bertemu lagi..
***
Jam 05.45
Udara pagi yang dingin terasa menusuk tulangku. Hujan yang deras mengalir semalaman membasahi bum. Kuro menggeliat bangun dari tempat tidur keranjangnya yang kubuat dari parsel biskuit tahun lalu. Dia menguap dan memandangku. Aku memutuskan untuk membawanya ke sekolah, toh aku bisa menaruhnya di ruang klub selama pelajaran berlangsung.
Aku berjalan dengan gontai kearah sekolah, rasanya akhhir-akhir ini aku jadi malas untuk berangkat ke sekolah. Tanah yang masih basah karna hujan menguapkan aroma yang menyegarkan. Kuro berada di pelukanku, kali ini dia lebih tenang dari sebelumnya, mungkin juga karna masih terlalu pagi sehingga dia masih bermalas-malasan untuk menggerakkan ototnya.
Aku menghentikan langkahku. Aku melihat sosok seorang lelaki di depanku. Aku dan Kuro langsung mencari tempat untuk bersembunyi. Kaito? Sedang apa dia?
“Sudah lama.. Eari..”
“Sepertinya kau bertambah tinggi ya, Kaito”
Seorang gadis cantik berambut coklat lurus dengan sedikit keriting di bawahnya tersenyum kearah Kaito. Dia menepuk kepala Kaito. Kaito.. ekspresinya tidak bisa kutebak.
“Sssstt.. diam Kuro.” Aku berbisik kepada Kuro yang bergerak-gerak di pelukanku.
“Aku baru hari ini tiba dari London, ayahku bilang kau bersekolah di Rainen Gakuen, jadi aku memutuskan untuk pindah ke sekolah ini.” , Rambutnya yang halus tertiup angin.
“Oh..”
“Kaito.. kau tidak pernah berubah ya?”, sekali lagi gadis itu melempar senyumnya kepada Kaito. Aku yang perempuan saja melihatnya sungguh cantik, bagaimana kalau para lelaki yang melihatnya?
“Jangan selalu membahas masa lalu.” , Kaito beranjak pergi dari tempat itu.
“Ah, tunggu Kaito!”, Eari mengejarnya di belakangnya.
Aku terpaku. Gadis di masa lalunya? Mungkin dia…
”Auch!” ,Kuro mencakar lenganku dan memberontak dari pelukanku, dia melompat keatas gerbang sekolah. Aku mengejarnya.
“Kuro! Cepat turun!”, aku berteriak memanggilnya tapi dia pura-pura tidak mendengarku.
“Miyu? Ada apa?”
“Ah, Daichi”, Daichi mendadak muncul di belakangku, dia kelihatan lebih dewasa semenjak pertarungan terakhir di Celestia, ”Itu kucingmu?”
“Iya, namanya Kuro, err… kau bisa membantuku?”
“Tapi kita kan dilarang membawa hewan ke sekolah.”
“Kumohon Daichi, rahasiakan hal ini, kumohon”, aku menangkupkan kedua tanganku memohon kepada Daichi.
“Baiklah,” Daichi menghela nafas.
Dia memanjat gerbang sekolah, mengambil Kuro yang menggeliat, dan memanjat turun dengan perlahan. Para gadis penggemar Daichi yang kebetulan lewat berhenti menyaksikan adegan-penyelamatan-Kuro. Mereka berkerumun dan bersorak meneriaki kata “kyaa” dan “hebat”.
“Sial”, Daichi memberikan Kuro kepadaku, “Maaf Miyu, aku duluan ya.”,
Daichi kabur ke dalam sekolah. aku terkekeh. Dia selalu seperti itu saat para penggemarnya muncul.
“Kuro, kau dihukum tidak boleh ikut lagi besok kalau kau tetap seperti ini!”, Kuro memasukkan kepalanya ke dalam lenganku.
Aku melangkahkan kakiku ke kelas yang rasanya sudah lama sekali kutinggalkan. Kuro sudah aman di ruang klub. Aku melihat Kaito yang kembali melakukan aktifitasnya seperti saat aku pertama kali melihatnya. Memandang keluar jendela. Sakura tampak lebih kurus daripada yang pernah kuingat. Mungkin absennya Hana mempengaruhi mentalnya karna bagaimanapun juga mereka sudah berteman semenjak kecil.
“Pagi Miyu.” Sakura tersenyum lemah.
“Pagi.” Aku membalas senyumnya.
Aku duduk di kursiku. Aku gugup. Pemandangan yang barusan kulihat rasanya ingin kutanyakan pada Kaito namun rasanya aku takut.
“Kaito..” , aku menelan ludahku.
“Ya?” , dia berbalik menoleh ke arahku.
“Gadis yang kau temui tadi pagi..”
“Ah, Eari maksudmu? Dia.. bisa dibilang seseorang di masa laluku.”, Kaito kembali menoleh ke luar jendela.
Seseorang.. di masa lalu?
Aku terpaku di tempatku. Tenggelam di dalam pikiranku sendiri sampai pelajaran pun sudah dimulai.
***
Seseorang di masa lalu itu.. apakah seseorang yang dia sukai? Otakku masih terus berpikir. Aku mengulum roti melonku. Apa sih yang aku pikirkan! Aku mengacak-acak rambutku.
“Hey Kuro, menurutmu, seseorang di masa lalu itu, kalau kita terus mengingatnya, berarti apa?”
Kuro seperti tidak mendengarku. Dia sibuk memakan Whiskasnya. Aku kesal tapi aku tidak bisa marah kepadanya. Aku mengelus kepala Kuro. Otakku tidak bisa berpikir yang lain selain apa yang kulihat pagi ini. Kaito dan Eari..
Jam sekolah sudah selesai. Aku mengecek ruang klub sekali lagi. Tetap kosong tanpa adanya Kaze. Aku mengambil Kuro dan melangkahkan kakiku ke gerbang sekolah. Suara lembut yang kudengar tadi pagi tertangkap di telingaku. Aku dan Kuro bersembunyi di samping lemari loker, tempat terdekat dan tercepat yang masuk di otakku.
“Sayang sekali kita tidak sekelas. Padahal aku berharap sekali bisa duduk di sampingmu.”
Kaito terdiam. Dia sibuk menalikan sepatunya.
“Kaito, kau tidak melupakkan janjimu kan?” Eari mendekati Kaito.
“Aku tidak pernah lupa.”
“Kau tahu,” Eari memainkan jarinya,”5 tahun di London aku terus memikirkanmu. Aku selalu berharap saat ini datang. Aku terus memikirkan jawabanku yang terakhir itu. Sepertinya aku telah berbuat kesalahan.” Eari menatap sepatunya.
Aku memeluk erat Kuro. Rasanya udara mulai menipis di sekitarku. Entah karna posisiku yang terselip di loker sepatu atau karna memang adrenalinku yang terpacu dengan cepat.
“Bisakah, kita memulainya lagi.. dari awal?”
“Aku memang menyukaimu.”
Tenggorokanku rasanya tercekat. Tubuhku rasanya kelu. Kuro jatuh karna peganganku yang mengendur. Bodoh.. aku sungguh bodoh..
Aku berlari sejauh yang bisa kulakukan. Tidak pernah sekalipun aku memikirkan bahwa orang yang kusukai menyukai orang lain. Ah.. ternyata tidak ada celah dihatinya untukku bisa masuk. Rasanya aku bodoh sekali. Aku terus berlari menjauh sambil terisak.
“Tapi, perasaan itu cepat datang dan cepat hilang dengan waktu. Aku memang menyukaimu, tapi itu sekarang hanyalah masa laluku.” Kaito berangsur pergi meninggalkan Eari yang menatap punggungnya dengan lembut.
DUKK.
Aku tersungkur. Rasanya bahuku seperti tertimpa akan sesuatu. Aku memegang bahuku yang sekarang berdenyut nyeri. Bola basket berbouncing di belakangku. Sakit…
“Miyu! Maaf sekali! Aku tidak sengaja.” Daichi berlari ketempatku dan mengelus bahuku.
“Daichi…” aku terisak. Aku baru tersadar kalau aku berhenti di lapangan basket dan Daichi tengah berlatih basket.
“Eh?! Sakit sekali ya? Ah maaf Miyu, aku tidak melihatmu berlari.”, Daichi kebingungan melihatku menangis. Dia menyangka aku menangis karna kesakitan bola basketnya mengenai bahuku.
“Beritahu aku..”, aku berusaha berbicara ditengah isakanku,”Bagaimana melupakan apa yang kita sukai..”
“Eh?”
“Beritahu aku.. Daichi..”, air mataku terus mengalir.
“Melupakan yang kita sukai ya..” Daichi berpikir sejenak dan mengambil bola basketnya.” Aku suka bermain basket. Walau karna suatu kecelakaan yang menyebabkan satu kakiku tidak bisa digunakkan lagi, aku akan memakai kakiku yang lain untuk tetap bermain basket. Bagaimana bila yang satu lagi itu tetap tidak bisa digunakan? Aku akan tetap bermain basket walau dengan kursi roda.”
“Kalau tetap tidak mungkin?”
Daichi menspin bola basketnya di telunjuknya,”Kalau tidak bisa lagi, aku akan memohon kepada Tuhan agar dilahirkan kembali dan akan tetap bermain basket, habis aku suka basket. Perasaan suka itu karna kita tidak bisa melupakannya makannya kita suka, kan?”.
Aku tertegun menatap Daichi. Kata-katanya serasa melonggarkan kembali paru-paruku yang sedari tadi menyempit.
“Eh, salah ya?”, Daichi salah tingkah ketika aku tertegun menatapnya.
“Daichi.. sekarang aku tahu kenapa mereka mengidolakanmu.”, aku tersenyum tulus kepadanya.
“Err..”, Semburat merah tergaris di pipinya. Dia mengambil bola basketnya dan memberikannya padaku.
“Daripada kau menangis terus, Miyu. Lebih baik kau menyalurkannya... dengan basket”, Daichi berdiri, ”Ayo kita battle 1 on 1.” Daichi menantangku.
Aku menepuk bola basket Daichi dan tersenyum simpul, “Baik! Kalau aku menang kau traktir aku ice cream ya!”
Daichi menyeringai kepadaku. Aku berlari ke tengah lapangan. Aku melakukan shoot 3 point. Walau aku benci olahraga namun basket satu-satunya olahraga yang sedikit kugemari.
“Wah! Aku kira kau tidak bisa olahraga, Miyu” Daichi terkejut. Daichi mengambil bola.
“Jangan menghitung anak ayam sebelum menetas.” Aku menyeringai dan berusaha kembali merebut bolanya dari Daichi.
Aku belum pernah menikmati berolah raga seperti saat ini. Bermain basket dengan Daichi rasanya kembali melapangkan hatiku. Keluh kesah yang bergemuruh didadaku rasanya semuanya lenyap bersamaan dengan nafasku. Aku terus menggerakkan badanku sampai semua perasaan sedih yang berkecamuk di batinku beberapa hari ini hilang melebur dengan peluhku.
***
“Sial aku kalah!”, Daichi terengah-engah.
Aku duduk menatap langit yang sekarang berwarna oranye sambil mengatur nafasku. Aku terkekeh.
“Sudahlah Daichi, aku tahu kau sengaja mengalah untukku, kan?”
Daichi duduk di sampingku dan tertawa, ”Sial, aku benar-benar kalah.”
Dan kami berdua tertawa. Daichi terlentang menatap langit.
“Terima kasih, Daichi.”
“Eh? Untuk apa?”
“Rasanya semua kesedihanku menghilang karnamu, terima kasih sudah membangkitkan semangatku.”
“Ah, aku tidak melakukan apapun Miyu, aku hanya menantangmu bermain basket, itu saja,” Daichi menatap langit yang sekarang dipenuhi oleh para angsa yang sedang bermigrasi ke selatan.
“Mungkin sekarang aku memang masih berupa telur, tapi sang bebek yang buruk rupa pun suatu saat akan menjadi angsa yang cantik, kan?”, aku ikut memperhatikan kerumunan angsa yang sekarang terbang semakin menjauh.
“Yah, bagaimanapun, kita memang harus selalu melihat ke depan.”, Daichi bangun dan menyorongkan tangannya kepadaku.
“Yuk, aku akan mentraktirmu ice cream sebagai permintaan maafku juga sudah memukul bahumu tadi dengan bola basketku.”
“Jangan menyesal, makanku tidak sedikit.”, aku terkekeh dan meraih tangan Daichi yang membantuku berdiri.
***
Aku melemparkan badanku di atas tempat tidurku. Tiba-tiba berolahraga membuat badanku pegal-pegal. Aku senang Daichi bisa membuatku melupakan semua hal sedih yang terjadi belakangan ini. Rasanya aku bisa bergantung pada Daichi setelah Kaze menghilang, walau pun dia bukan orang yang kuharapkan sebagai pegangan
Aku melirik jam dinding bergambar humpty lock yang menempel di kamarku. Jam 06.30 sore atau lebih tepatnya 18.30. Seragamku basah karna keringatku. Ah! Aku melupakan sesuatu, Kuro!
Aku beranjak bangun dari tempat tidurku. Baru saja aku ingin meraih handphoneku, aku melihat bayangan Kuro dengan ekor mataku. Dia sedang tertidur di keranjang-parsel-biskuit-tahun lalunya. Aku bernafas lega.
“Hey Kuro, saatnya mandi.”
Aku menggendongnya dan dia tersentak di dalam pelukanku, seperti biasa Kuro selalu memberontak kalau kuajak mandi, sifat khas kucing.
Aku melepaskan seluruh pakaianku. Bahuku masih sedikit berdenyut nyeri karna tabrakan dengan bola basket Daichi tadi. Di samping itu, bolanya tepat mengenai bekas luka yang ditorehkan Seraph. Rasanya benar-benar sakit. Kuro berdiri di atas dinding ventilasi kamar mandiku. Aku memijat bahuku. Khh.. nyeri sekali rasanya. Kuro memperhatikanku dengan tajam. Aku berjalan masuk ke dalam bathtubeku. Kupejamkan mataku, kuingat kembali hal-hal yang pernah diucapkan Kaze untukku. Konsentrasi, rasakan energi dari air mengalir dalam badanku. Aku menghembuskan nafasku pelan. Aku memusatkan energiku pada tangan kananku, lalu memijat bahuku. Tangan kananku terasa hangat. Aliran energi yang terpusat perlahan memberikan rasa nyaman pada bahuku. Aku tidak sadar apa yang telah terjadi tapi aku merasa bahuku lebih ringan dari sebelumnya. Perlahan kubuka mataku dan menatap Kuro yang tengah berdiri di ujung bathtubeku.
“Kuro, cepat masuk ke dalam bathtube.”
Aku menenggelamkan seluruh badanku, Kaito.. Eari.. Daichi.. Kaze dan Hana.
Rasanya kehidupanku entah sejak kapan menjadi berat sekali. Beban fate yang sudah digariskan untukku rasanya membuatku ingin lari sejauh yang aku bisa. Aku tidak tahu apakah ini hukuman untukku karna aku pernah membunuh seseorang di masa laluku, ya.. yoshiki..seandainya dia tidak bunuh diri.. seandainya aku tidak pernah bertemu Kaito..
Aku mengeluarkan kepalaku dari dalam air. Aku tidak bisa menahan air mataku lagi. Yoshiki..
“Lagi-lagi menangis.”
Aku tersentak. Kuro berdiri di pinggir bathtube dan menatapku dengan tajam.
“Kau cengeng sekali, Miyu-chan”.
Aku terperangah menatap Kuro. D-d-dia bicara?!!
“K-Kuro.. kau.. kucing kan? Aku pasti berhalusinasi.”
“Bodoh. Masa tidak sadarkah? Sudahlah cepat keluar dari air, wajahmu sudah seperti mayat hidup”
Aku tidak bisa berkata-kata. Aku ternganga. Badanku rasanya bergetar. Aku pasti sudah sangat lelah sampai berhalusinasi. Kuro bisa bicara?! AKU BERMIMPI KAN?!
“Aku gagal menjadi temannya, aku gagal melindunginya..”
“Miyu…”
Air mataku berjatuhan. Kaze pergi. Aku tidak bisa melindunginya. Teman macam apa aku ini. Eirin berjalan ke arahku. Dia memelukku. Rasa dingin menjalar di tubuhku. Kesedihanku yang tertahan mengalir di pundaknya.
“Aku sungguh tidak berguna..”
“Sudahlah, Miyu..”, Eirin mengusap airmataku.
“Aku telah membunuhnya.. hanya untuk keegoisanku.. aku telah membunuhnya..”
“Miyu, sadarlah,” Eirin menatap lurus mataku, “Tenang Miyu, Kaze.. tidak akan pernah mati.”
***
Tiga hari berlalu semenjak kejadian di Celestia. Hana masih di rumah sakit dan belum tersadar dari komanya. Walau akhirnya semuanya dapat kembali seperti semula, tapi aku tetap saja merasa terpukul atas hilangnya Kaze. Aku melangkahkan kakiku dengan berat ke ruangan klub. Aku membuka pintunya perlahan-lahan dan berharap kalau Kaze sedang berlatih pernafasan seperti biasanya. Kosong. Aku menghela nafasku.
Aku berjalan kearah meja di tengah ruangan yang biasa kami pakai untuk berdiskusi. Aku teringat pertama kali aku bertemu Kaze. Dia selalu menolongku. Aku menundukkan kepalaku, aku menangis dalam diam.
“Miyu?”,
“Kaito? Kenapa kau ada disini?”, aku terkejut.
“Kenapa katamu? Kita kan satu klub.”
Ahh. Bodohnya aku. Aku lupa hal itu.
Kaito duduk di sebelahku dan memperhatikan mataku yang basah. Dia menepuk kepalaku.
“Tenang saja, Kaze pasti kembali.”
***
Aku menatap langit. Jalan sendirian sepulang sekolah rasanya jadi lebih sepi dari sebelumnya. Sakura harus mengikuti klubnya sepulang sekolah, jadi kami tidak bisa pulang bersama. Aku merindukan Hana. Dia pasti akan cemas kalau melihatku bersedih begini. Ah kenapa langit rasanya luas sekali.
“Meow,”
Suara kucing? Aku menoleh ke asal suara tersebut. Seekor kucing hitam terduduk di atas kardus terbuka menatap ke arahku dengan memelas. Aku menatap sekelilingku. Aku merasa kasihan pada kucing itu. aku mengangkatnya dan menggendongnya.
“Kasihan sekali, apa kau dibuang oleh pemilikmu?” aku mengusap kepalanya.
“……”, kucing itu diam penuh misteri.
“Baiklah aku akan merawatmu.”
***
Aku berendam di bathtube kamar mandiku sambil memandikan Kuro yang kotor. Aku menamakannya Kuro sesuai dengan bulunya yang berwarna hitam. Aku mengusap-usapkan busa ke seluruh badannya dan dia kelihatan memberontak.
“Tenang Kuro, aku hanya ingin membersihkanmu.” , kataku sambil mengusap bahuku. Bekas luka dari serangan Seraph masih bisa kurasakan. Semuanya berlalu seperti mimpi buruk di hidupku.
“Kau tahu, kau mengingatkanku pada seseorang.” Aku membilas badan Kuro yang dipenuhi busa, “Seseorang yang gagal kulindungi. Seseorang yang selalu melindungiku.”
Air mataku menetes. Kuro melompat ke badanku, membuat busa-busa bercipratan ke wajahku. Dia mengusap kakinya di pipiku. Aku memandanginya. Dia seperti Kaze. Aku memeluknya sambil terus membilasnya.
“Kuro, apa kau tahu dimana Kaze sekarang?”
Aku memandangi vas bunga mawar yang terpampang di sudut kamar mandi tanpa tahu apa yang sedang kulihat. Kuro melompat keluar dari bathtubeku dan mengeringkan tubuhnya. Aku menatap langit-langit kamar mandiku. Kutenggelamkan seluruh badan sampai daguku di air busa dalam bathtubeku. Sekali saja aku ingin bertemu lagi..
***
Jam 05.45
Udara pagi yang dingin terasa menusuk tulangku. Hujan yang deras mengalir semalaman membasahi bum. Kuro menggeliat bangun dari tempat tidur keranjangnya yang kubuat dari parsel biskuit tahun lalu. Dia menguap dan memandangku. Aku memutuskan untuk membawanya ke sekolah, toh aku bisa menaruhnya di ruang klub selama pelajaran berlangsung.
Aku berjalan dengan gontai kearah sekolah, rasanya akhhir-akhir ini aku jadi malas untuk berangkat ke sekolah. Tanah yang masih basah karna hujan menguapkan aroma yang menyegarkan. Kuro berada di pelukanku, kali ini dia lebih tenang dari sebelumnya, mungkin juga karna masih terlalu pagi sehingga dia masih bermalas-malasan untuk menggerakkan ototnya.
Aku menghentikan langkahku. Aku melihat sosok seorang lelaki di depanku. Aku dan Kuro langsung mencari tempat untuk bersembunyi. Kaito? Sedang apa dia?
“Sudah lama.. Eari..”
“Sepertinya kau bertambah tinggi ya, Kaito”
Seorang gadis cantik berambut coklat lurus dengan sedikit keriting di bawahnya tersenyum kearah Kaito. Dia menepuk kepala Kaito. Kaito.. ekspresinya tidak bisa kutebak.
“Sssstt.. diam Kuro.” Aku berbisik kepada Kuro yang bergerak-gerak di pelukanku.
“Aku baru hari ini tiba dari London, ayahku bilang kau bersekolah di Rainen Gakuen, jadi aku memutuskan untuk pindah ke sekolah ini.” , Rambutnya yang halus tertiup angin.
“Oh..”
“Kaito.. kau tidak pernah berubah ya?”, sekali lagi gadis itu melempar senyumnya kepada Kaito. Aku yang perempuan saja melihatnya sungguh cantik, bagaimana kalau para lelaki yang melihatnya?
“Jangan selalu membahas masa lalu.” , Kaito beranjak pergi dari tempat itu.
“Ah, tunggu Kaito!”, Eari mengejarnya di belakangnya.
Aku terpaku. Gadis di masa lalunya? Mungkin dia…
”Auch!” ,Kuro mencakar lenganku dan memberontak dari pelukanku, dia melompat keatas gerbang sekolah. Aku mengejarnya.
“Kuro! Cepat turun!”, aku berteriak memanggilnya tapi dia pura-pura tidak mendengarku.
“Miyu? Ada apa?”
“Ah, Daichi”, Daichi mendadak muncul di belakangku, dia kelihatan lebih dewasa semenjak pertarungan terakhir di Celestia, ”Itu kucingmu?”
“Iya, namanya Kuro, err… kau bisa membantuku?”
“Tapi kita kan dilarang membawa hewan ke sekolah.”
“Kumohon Daichi, rahasiakan hal ini, kumohon”, aku menangkupkan kedua tanganku memohon kepada Daichi.
“Baiklah,” Daichi menghela nafas.
Dia memanjat gerbang sekolah, mengambil Kuro yang menggeliat, dan memanjat turun dengan perlahan. Para gadis penggemar Daichi yang kebetulan lewat berhenti menyaksikan adegan-penyelamatan-Kuro. Mereka berkerumun dan bersorak meneriaki kata “kyaa” dan “hebat”.
“Sial”, Daichi memberikan Kuro kepadaku, “Maaf Miyu, aku duluan ya.”,
Daichi kabur ke dalam sekolah. aku terkekeh. Dia selalu seperti itu saat para penggemarnya muncul.
“Kuro, kau dihukum tidak boleh ikut lagi besok kalau kau tetap seperti ini!”, Kuro memasukkan kepalanya ke dalam lenganku.
Aku melangkahkan kakiku ke kelas yang rasanya sudah lama sekali kutinggalkan. Kuro sudah aman di ruang klub. Aku melihat Kaito yang kembali melakukan aktifitasnya seperti saat aku pertama kali melihatnya. Memandang keluar jendela. Sakura tampak lebih kurus daripada yang pernah kuingat. Mungkin absennya Hana mempengaruhi mentalnya karna bagaimanapun juga mereka sudah berteman semenjak kecil.
“Pagi Miyu.” Sakura tersenyum lemah.
“Pagi.” Aku membalas senyumnya.
Aku duduk di kursiku. Aku gugup. Pemandangan yang barusan kulihat rasanya ingin kutanyakan pada Kaito namun rasanya aku takut.
“Kaito..” , aku menelan ludahku.
“Ya?” , dia berbalik menoleh ke arahku.
“Gadis yang kau temui tadi pagi..”
“Ah, Eari maksudmu? Dia.. bisa dibilang seseorang di masa laluku.”, Kaito kembali menoleh ke luar jendela.
Seseorang.. di masa lalu?
Aku terpaku di tempatku. Tenggelam di dalam pikiranku sendiri sampai pelajaran pun sudah dimulai.
***
Seseorang di masa lalu itu.. apakah seseorang yang dia sukai? Otakku masih terus berpikir. Aku mengulum roti melonku. Apa sih yang aku pikirkan! Aku mengacak-acak rambutku.
“Hey Kuro, menurutmu, seseorang di masa lalu itu, kalau kita terus mengingatnya, berarti apa?”
Kuro seperti tidak mendengarku. Dia sibuk memakan Whiskasnya. Aku kesal tapi aku tidak bisa marah kepadanya. Aku mengelus kepala Kuro. Otakku tidak bisa berpikir yang lain selain apa yang kulihat pagi ini. Kaito dan Eari..
Jam sekolah sudah selesai. Aku mengecek ruang klub sekali lagi. Tetap kosong tanpa adanya Kaze. Aku mengambil Kuro dan melangkahkan kakiku ke gerbang sekolah. Suara lembut yang kudengar tadi pagi tertangkap di telingaku. Aku dan Kuro bersembunyi di samping lemari loker, tempat terdekat dan tercepat yang masuk di otakku.
“Sayang sekali kita tidak sekelas. Padahal aku berharap sekali bisa duduk di sampingmu.”
Kaito terdiam. Dia sibuk menalikan sepatunya.
“Kaito, kau tidak melupakkan janjimu kan?” Eari mendekati Kaito.
“Aku tidak pernah lupa.”
“Kau tahu,” Eari memainkan jarinya,”5 tahun di London aku terus memikirkanmu. Aku selalu berharap saat ini datang. Aku terus memikirkan jawabanku yang terakhir itu. Sepertinya aku telah berbuat kesalahan.” Eari menatap sepatunya.
Aku memeluk erat Kuro. Rasanya udara mulai menipis di sekitarku. Entah karna posisiku yang terselip di loker sepatu atau karna memang adrenalinku yang terpacu dengan cepat.
“Bisakah, kita memulainya lagi.. dari awal?”
“Aku memang menyukaimu.”
Tenggorokanku rasanya tercekat. Tubuhku rasanya kelu. Kuro jatuh karna peganganku yang mengendur. Bodoh.. aku sungguh bodoh..
Aku berlari sejauh yang bisa kulakukan. Tidak pernah sekalipun aku memikirkan bahwa orang yang kusukai menyukai orang lain. Ah.. ternyata tidak ada celah dihatinya untukku bisa masuk. Rasanya aku bodoh sekali. Aku terus berlari menjauh sambil terisak.
“Tapi, perasaan itu cepat datang dan cepat hilang dengan waktu. Aku memang menyukaimu, tapi itu sekarang hanyalah masa laluku.” Kaito berangsur pergi meninggalkan Eari yang menatap punggungnya dengan lembut.
DUKK.
Aku tersungkur. Rasanya bahuku seperti tertimpa akan sesuatu. Aku memegang bahuku yang sekarang berdenyut nyeri. Bola basket berbouncing di belakangku. Sakit…
“Miyu! Maaf sekali! Aku tidak sengaja.” Daichi berlari ketempatku dan mengelus bahuku.
“Daichi…” aku terisak. Aku baru tersadar kalau aku berhenti di lapangan basket dan Daichi tengah berlatih basket.
“Eh?! Sakit sekali ya? Ah maaf Miyu, aku tidak melihatmu berlari.”, Daichi kebingungan melihatku menangis. Dia menyangka aku menangis karna kesakitan bola basketnya mengenai bahuku.
“Beritahu aku..”, aku berusaha berbicara ditengah isakanku,”Bagaimana melupakan apa yang kita sukai..”
“Eh?”
“Beritahu aku.. Daichi..”, air mataku terus mengalir.
“Melupakan yang kita sukai ya..” Daichi berpikir sejenak dan mengambil bola basketnya.” Aku suka bermain basket. Walau karna suatu kecelakaan yang menyebabkan satu kakiku tidak bisa digunakkan lagi, aku akan memakai kakiku yang lain untuk tetap bermain basket. Bagaimana bila yang satu lagi itu tetap tidak bisa digunakan? Aku akan tetap bermain basket walau dengan kursi roda.”
“Kalau tetap tidak mungkin?”
Daichi menspin bola basketnya di telunjuknya,”Kalau tidak bisa lagi, aku akan memohon kepada Tuhan agar dilahirkan kembali dan akan tetap bermain basket, habis aku suka basket. Perasaan suka itu karna kita tidak bisa melupakannya makannya kita suka, kan?”.
Aku tertegun menatap Daichi. Kata-katanya serasa melonggarkan kembali paru-paruku yang sedari tadi menyempit.
“Eh, salah ya?”, Daichi salah tingkah ketika aku tertegun menatapnya.
“Daichi.. sekarang aku tahu kenapa mereka mengidolakanmu.”, aku tersenyum tulus kepadanya.
“Err..”, Semburat merah tergaris di pipinya. Dia mengambil bola basketnya dan memberikannya padaku.
“Daripada kau menangis terus, Miyu. Lebih baik kau menyalurkannya... dengan basket”, Daichi berdiri, ”Ayo kita battle 1 on 1.” Daichi menantangku.
Aku menepuk bola basket Daichi dan tersenyum simpul, “Baik! Kalau aku menang kau traktir aku ice cream ya!”
Daichi menyeringai kepadaku. Aku berlari ke tengah lapangan. Aku melakukan shoot 3 point. Walau aku benci olahraga namun basket satu-satunya olahraga yang sedikit kugemari.
“Wah! Aku kira kau tidak bisa olahraga, Miyu” Daichi terkejut. Daichi mengambil bola.
“Jangan menghitung anak ayam sebelum menetas.” Aku menyeringai dan berusaha kembali merebut bolanya dari Daichi.
Aku belum pernah menikmati berolah raga seperti saat ini. Bermain basket dengan Daichi rasanya kembali melapangkan hatiku. Keluh kesah yang bergemuruh didadaku rasanya semuanya lenyap bersamaan dengan nafasku. Aku terus menggerakkan badanku sampai semua perasaan sedih yang berkecamuk di batinku beberapa hari ini hilang melebur dengan peluhku.
***
“Sial aku kalah!”, Daichi terengah-engah.
Aku duduk menatap langit yang sekarang berwarna oranye sambil mengatur nafasku. Aku terkekeh.
“Sudahlah Daichi, aku tahu kau sengaja mengalah untukku, kan?”
Daichi duduk di sampingku dan tertawa, ”Sial, aku benar-benar kalah.”
Dan kami berdua tertawa. Daichi terlentang menatap langit.
“Terima kasih, Daichi.”
“Eh? Untuk apa?”
“Rasanya semua kesedihanku menghilang karnamu, terima kasih sudah membangkitkan semangatku.”
“Ah, aku tidak melakukan apapun Miyu, aku hanya menantangmu bermain basket, itu saja,” Daichi menatap langit yang sekarang dipenuhi oleh para angsa yang sedang bermigrasi ke selatan.
“Mungkin sekarang aku memang masih berupa telur, tapi sang bebek yang buruk rupa pun suatu saat akan menjadi angsa yang cantik, kan?”, aku ikut memperhatikan kerumunan angsa yang sekarang terbang semakin menjauh.
“Yah, bagaimanapun, kita memang harus selalu melihat ke depan.”, Daichi bangun dan menyorongkan tangannya kepadaku.
“Yuk, aku akan mentraktirmu ice cream sebagai permintaan maafku juga sudah memukul bahumu tadi dengan bola basketku.”
“Jangan menyesal, makanku tidak sedikit.”, aku terkekeh dan meraih tangan Daichi yang membantuku berdiri.
***
Aku melemparkan badanku di atas tempat tidurku. Tiba-tiba berolahraga membuat badanku pegal-pegal. Aku senang Daichi bisa membuatku melupakan semua hal sedih yang terjadi belakangan ini. Rasanya aku bisa bergantung pada Daichi setelah Kaze menghilang, walau pun dia bukan orang yang kuharapkan sebagai pegangan
Aku melirik jam dinding bergambar humpty lock yang menempel di kamarku. Jam 06.30 sore atau lebih tepatnya 18.30. Seragamku basah karna keringatku. Ah! Aku melupakan sesuatu, Kuro!
Aku beranjak bangun dari tempat tidurku. Baru saja aku ingin meraih handphoneku, aku melihat bayangan Kuro dengan ekor mataku. Dia sedang tertidur di keranjang-parsel-biskuit-tahun lalunya. Aku bernafas lega.
“Hey Kuro, saatnya mandi.”
Aku menggendongnya dan dia tersentak di dalam pelukanku, seperti biasa Kuro selalu memberontak kalau kuajak mandi, sifat khas kucing.
Aku melepaskan seluruh pakaianku. Bahuku masih sedikit berdenyut nyeri karna tabrakan dengan bola basket Daichi tadi. Di samping itu, bolanya tepat mengenai bekas luka yang ditorehkan Seraph. Rasanya benar-benar sakit. Kuro berdiri di atas dinding ventilasi kamar mandiku. Aku memijat bahuku. Khh.. nyeri sekali rasanya. Kuro memperhatikanku dengan tajam. Aku berjalan masuk ke dalam bathtubeku. Kupejamkan mataku, kuingat kembali hal-hal yang pernah diucapkan Kaze untukku. Konsentrasi, rasakan energi dari air mengalir dalam badanku. Aku menghembuskan nafasku pelan. Aku memusatkan energiku pada tangan kananku, lalu memijat bahuku. Tangan kananku terasa hangat. Aliran energi yang terpusat perlahan memberikan rasa nyaman pada bahuku. Aku tidak sadar apa yang telah terjadi tapi aku merasa bahuku lebih ringan dari sebelumnya. Perlahan kubuka mataku dan menatap Kuro yang tengah berdiri di ujung bathtubeku.
“Kuro, cepat masuk ke dalam bathtube.”
Aku menenggelamkan seluruh badanku, Kaito.. Eari.. Daichi.. Kaze dan Hana.
Rasanya kehidupanku entah sejak kapan menjadi berat sekali. Beban fate yang sudah digariskan untukku rasanya membuatku ingin lari sejauh yang aku bisa. Aku tidak tahu apakah ini hukuman untukku karna aku pernah membunuh seseorang di masa laluku, ya.. yoshiki..seandainya dia tidak bunuh diri.. seandainya aku tidak pernah bertemu Kaito..
Aku mengeluarkan kepalaku dari dalam air. Aku tidak bisa menahan air mataku lagi. Yoshiki..
“Lagi-lagi menangis.”
Aku tersentak. Kuro berdiri di pinggir bathtube dan menatapku dengan tajam.
“Kau cengeng sekali, Miyu-chan”.
Aku terperangah menatap Kuro. D-d-dia bicara?!!
“K-Kuro.. kau.. kucing kan? Aku pasti berhalusinasi.”
“Bodoh. Masa tidak sadarkah? Sudahlah cepat keluar dari air, wajahmu sudah seperti mayat hidup”
Aku tidak bisa berkata-kata. Aku ternganga. Badanku rasanya bergetar. Aku pasti sudah sangat lelah sampai berhalusinasi. Kuro bisa bicara?! AKU BERMIMPI KAN?!
Tag :// novels