Dini hari.
Aku terbangun dari tidurku dan bergegas ingin mengambil handuk yang berwarna biru itu, yang tergantung di sudut kamarku dekat dengan kamar mandi. Aku beranjak dari tempat tidurku tanpa memperdulikan keadaan rambutku yang sangat berantakan seperti sehabis ditabrak oleh angin kencang. Menguap sesaat, aku melangkahkan kakiku ke handuk itu, yang telah kupakai setahun ini. Aku memutuskan untuk mandi sepagi ini, walau udaranya membuat tanganku kebas.
Hari yang biasa. Keadaan yang biasa. Sarapan. Berangkat sekolah. Pulang. Hanya itu yang kulakukan dalam keseharianku. Aku melangkahkan kakiku menuju dapur, rasanya enggan untukku untuk menikmati sarapan untuk hari ini. Kuambil kotak bekal makananku. Hanya kotak bekal berwarna hijau yang biasa. Kumasukan apapun makanan yang tersedia ke dalamnya. Dan membawanya ke sekolah. Setelah berpamitan dengan orang tuaku, aku pergi menuju sekolah. Aku memang lebih suka berangkat pagi hari, jauh sebelum kebisingan pagi di ibukota negara ini dimulai. Selain itu, aku sangat suka menghirup udara pagi yang masih berbau embun. Aku menarik nafasku dalam-dalam. Ini tahun keduaku di sekolah ini.
Seperti biasa. Aku selalu menjadi orang pertama yang tiba di kelas. Kurapatkan tas punggungku di kursi kayu sekolah. Aku melangkah gontai keluar menuju balkon sekolah karna kelasku berada di lantai dua. Bengong. Ya, memang selalu seperti itu kegiatanku di pagi hari. Aku berdiri disini pun ada alasannya. Dia. Sudah setahun ini aku mengagumi sosoknya. Aku hanya bisa melihatnya dari balkon lantai dua kelasku saat dia melawati lapangan sekolah atau saat dia bermain basket di saat istirahat sekolah bersama teman-temannya. Aku sadar aku bukanlah apa-apa dibanding sosoknya. Aku bahkan tidak selalu terlihat oleh teman sekelasku sendiri. Sebenarnya aku tidak pernah memikirkan hal itu, toh aku lebih suka sendirian. Lebih sunyi. Yang jadi masalah adalah jikalau para guru itu memberikan tugas secara berkelompok. Disitu aku bingung dengan siapa akan menempatkan diri. Tidak ada seorang pun dari mereka yang repot-repot ingin mengajakku bergabung dengan kelompoknya. jika sudah terjadi hal semacam itu, maka saat suatu kelompok tertentu kekurangan orang dan disitulah aku dimasukkan. Biasanya mereka akan menunjukkan tampang apa boleh buatnya saat menerimaku.
Aku menghirup napas dalam-dalam. Memang aku lebih suka sendiri. Tapi terkadang saat aku merasa kesepian, aku ingin punya teman untuk bercerita. Aku ingin punya teman yang bisa berbagi. Tapi entahlah, menurut orang lain, aku ini terlalu aneh untuk menjadi teman mereka. Aku tidak suka apa yang disukai gadis pada umumnya, dan aku menyukai apa yang para gadis itu benci pada umumnya. Jadi sulit buatku untuk menemukan seorang teman wanita yang benar-benar cocok denganku.
Nafasku tertahan. Orang itu tiba di lapangan sekolah saat aku sedang asyik berbicara dalam kepalaku sendiri. Seperti biasa, seperti ada sinar yang menaunginya, dia selalu terlihat berkharisma di mataku. Bola mataku selalu melihat ke arahnya dimanapun dia berada. Saat di kantin, di perpustakaan, bahkan saat upacara mataku akan otomatis menemui sosoknya. Hanya bisa melihatnya dari kejauhan bagiku sudah menjadi ketenangan yang luar biasa untukku menjalani hariku yang membosankan. Aku masih ingat saat itu. Saat aku pertama kali melihatnya...
Kelanjutannya >>>>>CLICK!
Post a Comment